Plot mesin waktu seperti tak ada habisnya diolah para pembuat film. Time Cut adalah film horor sci-fi rilisan Netflix yang digarap oleh Hannah MacPherson. Film ini dibintangi oleh Madison Bailey, Antonia Gentry, dan Griffin Gluck. Dengan nama-nama yang terhitung asing, apakah Time Cut mampu menyuguhkan variasi baru di subgenre “time travel”?

Lucy (Bailey) adalah gadis remaja cerdas yang hidup di bawah bayang-bayang peristiwa tewasnya sang kakak pada 20 tahun silam. Ini berujung pada ayah ibunya sangat protektif dalam segala hal sehingga membatasi kebebasannya. Suatu hari, saat peringatan 20 tahun sang kakak di lokasi kejadian, Lucy terlempar ke masa lalu melalui mesin waktu misterius. Lucy kini terjebak di masa lalu tepat sebelum serentetan pembunuhan dilakukan oleh sang pembunuh, termasuk kakaknya.

Kombinasi sci fi dan horor slasher, bukan lagi terhitung hal baru. Kisah Time Cut mengingatkan pada film senada bertitel Totally Killer (2023) rilisan Amazon Prime, di mana sang protagonis kembali ke masa lalu untuk mencegah serangkaian pembunuhan yang terjadi di kotanya. Plotnya tak jauh beda, hanya saja, Time Cut berada jauh di bawah kualitas Totally Killer, baik naskah maupun pencapaian teknisnya. Lupakan film-film time travel berkualitas tinggi di masa lalu karena mendekati pun tidak.

Ekspektasi tinggi muncul tentu karena platform streaming yang merilisnya, yakni Netflix. Akhir-akhir ini, Netflix banyak merilis film-film bagus dengan pencapaian visual yang tidak jauh berbeda dari film-film bioskop, contoh saja Don’t Move yang keluar minggu lalu. Poster dan trailer Time Cut pun dibuat menarik dan tak sulit menarik pecinta film yang mengandrungi subgenre slasher dan time travel. Namun siapa sangka, kualitas film ini justru sangat buruk, bahkan untuk dikatakan sebagai B-Movies pun terlalu jauh. Film ini babak belur dari aspek mana pun dan terkesan hanya diproduksi seadanya. Belum ada info tentang sukses film ini, selain The Shadow Strays yang justru menjadi tontonan Netflix nomor satu di banyak negara pada minggu ini.

Baca Juga  Here

Di luar naskahnya, Time Cut sudah terlihat lemah dari desain produksi, CGI, hingga penampilan akting para kasting mudanya. Baru 10 menit, gelagat buruk sudah terlihat melalui tone warna gambar yang mentah hingga pengadeganannya yang janggal. Kita telah melihat adegan aksi opening sang pembunuh beraksi macam ini ratusan kali, dan ini adalah salah satu yang terkonyol. Aksi brutal/sadis yang lekat dengan film slasher pun dikesampingkan sehingga tidak terasa adanya ancaman/teror kuat yang mengintimidasi. Plot hole sudah tak terhitung dan banyak diantaranya sungguh menggelikan. Banyak detil informasi cerita yang miss tanpa banyak penjelasan. Semua serba mengada-ada dan selipan isu LGBT dalam plotnya juga terasa menggelikan.

Time Cut adalah satu contoh sci-fi horor medioker dari segala aspeknya, tanpa tahu bagaimana harus bersenang-senang dengan permainan waktu dan genre slasher. Entah untuk alasan apa Netflix merilis film seburuk ini, walau bisa jadi sekadar hanya mengisi tema “halloween” pada penghujung Oktober ini. Bagi penikmat film horor dan sci fi, saya sarankan untuk melewati film ini. Bagi yang belum menonton Totally Killer, film ini lebih layak menjadi tontonan dengan premis cerita, desain produksi, hingga aksi-aksi yang lebih memikat.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaAku Jati, Aku Asperger
Artikel BerikutnyaApocalyse Z
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.