13 days 13 nights

13 Days, 13 Nights adalah film aksi thriller politik produksi Perancis garapan Martin Bourboulon. Beruntung film ini diputar sebagai pembuka dalam ajang Festival Sinema Perancis 2025 yang kini masih berlangsung di beberapa kota besar di Indonesia. Film ini adalah kejadian nyata yang diadaptasi dari novel yang ditulis sang tokoh utama, Mohamed Bida. Film ini dibintangi Roschdy Zem, Lyna Khoudri, serta Sidse Babett Knudsen. Evakuasi warga dari lokasi konflik bukanlah hal baru bagi medium film, akankah film ini mampu memberi sentuhan yang berbeda?

Pada tahun 2021, AS menarik pasukannya dari Kabul, Afganistan yang membuat pasukan Taliban mulai berani masuk ke dalam kota. Warga pun panik dan berbondong-bondong berusaha pergi dari Kabul karena ancaman potensi konflik dari rezim baru. Kedutaan Perancis yang terletak di tengah kota sontak didatangi ratusan warga yang berniat meminta suaka. Sementara sang Dubes dilarikan ke bandara, Komandan Mohamed Bida (Zem) mendapat ijin untuk memasukkan ratusan warga ke area kedutaan untuk keselamatan mereka. Masalah besarnya adalah bagaimana sang komandan membawa 300 ratus lebih warga sipil bersama personel kedutaan tersisa ke wilayah bandara di tengah area yang kini dikuasai Taliban.

Film tentang evakuasi warga di wilayah konflik bukan lagi hal baru bagi medium film. Beberapa contoh istimewa, sebut saja Hotel Rwanda, Argo, hingga Escape from Mogadishu (Korea Selatan). Argo (2012) bahkan meraih film terbaik dalam ajang Academy Awards ke-85. Semua film ini memberikan satu sajian thriller menegangkan yang memiliki kisah senada dengan 14 Days, 14 Nights. Semua film ini memiliki sajian lokasi set dan area “otentik” yang begitu meyakinkan dan menjadi salah satu kekuatan terbesar filmnya.

Plotnya sendiri nyaris berjalan nonstop dengan menekankan pada momen-momen menegangkan di masa-masa penantian sebelum evakuasi. Usaha untuk evakuasi udara gagal, sang komandan pun memutar otak untuk mencari solusi, yang ini membuat rasa penasaran penonton selalu terusik. Satu momen penting adalah negosiasi dengan pihak Taliban yang diwakili Bida dan Eva, sang penerjemah. Di jeda antara ini tak banyak momen yang intens, hingga proses evakuasi yang dinanti akhirnya berjalan. Aksi-aksinya berjalan intens, tetapi jika dibandingkan dengan film-film di atas, terasa kurang menggigit dan datar. Namun untuk penggunaan set dan lokasinya, rasanya 13 Days adalah salah satu yang terbaik.

Baca Juga  Jogi

Proses syutingnya (shot on location) konon mengambil lokasi di Maroko yang tentu mengambil sudut-sudut kota yang memiliki kemiripan dengan lokasi aslinya. Ini bukan pekerjaan mudah untuk memobilisi ratusan) figuran, baik di area kedutaan maupun kawasan bandara. Situasi Kota Kabul yang dilanda konflik bisa kita rasakan kuat sepanjang perjalanan dari kedubes Perancis hingga bandara. Pujian tinggi untuk segmen di bandara dengan properti militer, baik pesawat maupun kendaraan, lengkap dengan ratusan figurannya. Semua momennya terlihat sangat meyakinkan. Di era kini, jarang sekali kita melihat sajian kolosal macam ini di layar bioskop.

13 Days, 13 Night mengandalkan kekuatan set dan production value yang istimewa serta meyakinkan, dengan intensitas ketegangan yang konstan. Para kastingnya, khususnya Roschdy Zem dan Lyna Khoudry bermain sangat menawan dan konsisten di mana karakter yang mereka mainkan selalu terlihat dalam tekanan sepanjang filmnya. Sentuhan humanis selalu menjadi kartu as bagi kisah aksi thriller macam ini untuk menjaga keseimbangan plot dengan nilai moralnya. After all, semua kisahnya ini merefleksikan situasi genting global saat ini yang semakin jauh dari keberadaban dan kedamaian yang diidamkan seluruh umat manusia. Manusia tak berdosa akan selalu menjadi korbannya. Semoga film ini diputar di bioskop reguler kelak dan menjadi tontonan wajib bagi penikmat genrenya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaDopamin | REVIEW
Artikel BerikutnyaZootopia 2 | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses