*Disarankan kuat untuk menonton serinya terlebih dulu sebelum membaca ulasan ini.

Agatha All Along adalah miniseri ke-11 dari Marvel Cinematic Universe (MCU) yang merupakan rilisan pertama kali dari Marvel Television. Miniseri bertotal 9 episode ini merupakan sempalan dari miniseri WandaVision (2021) yang merupakan kreasi dari Jac Schaeffer. Dedengkot MCU, Kevin Feige masih duduk di bangku produser. Film ini dibintangi Kathryn Hahn sebagai Agatha Harkness, didampingi Joe Locke, Debra Jo Rupp, Aubrey Plaza, Sasheer Zamata, Ali Ahn, Okwui Okpokwasili, Patti LuPone, Evan Peters, Maria Dizzia, dan Paul Adelstein. Apakah tokoh antagonis utama dari seri WandaVision ini cukup memiliki nilai jual tinggi bagi semesta sinematiknya?

Tiga tahun setelah peristiwa dalam WandaVision, sosok penyihir jahat, Agatha Harkness (Hahn) rupanya terjebak dalam mantera Scarlett Witch, di mana ia hidup normal sebagai seorang detektif di kota West View. Agatha yang akhirnya sadar pun berniat untuk mengembalikan kekuatannya. Namun untuk itu, ia harus menyertakan beberapa penyihir secara sukarela untuk melakukan perjalanan di “jalan penyihir”. Di antaranya termasuk seorang remaja misterius bernama William Kaplan yang entah bagaimana juga mendapat mantera dari Wanda.

Miniseri ini memang memiliki perspektif kisah yang sama sekali belum pernah kita lihat dalam semesta sinematiknya. Nuansa “penyihir” begitu kental dalam tiap episodenya, sejak opening hingga ending credit-nya. Nyaris sepanjang serinya, setting didominasi nuansa suram dan gelap dengan selipan elemen horor, lengkap dengan kemunculan entitas seram. Seperti WandaVision, sisi komedi pun masih terasa kuat, walau tokoh-tokohnya selalu tampak serius. Bahkan terdapat pula dua segmen “musikal” segar dalam dua episodenya dengan berkedok “membaca mantera”.

Plotnya secara ringkas adalah petualangan menyusuri “jalan penyihir” yang dalam tiap segmennya diuji melalui “escape room (ruang teka-teki)” di mana mereka harus menemukan solusi dari teka-teki yang secara personal harus dipecahkan tiap individu untuk bisa membuka jalan keluar. Variasi bentuk ujian “escape room” ini  cukup intens dan sekaligus memberikan sisi misteri yang selalu mengusik rasa penasaran. Sepanjang perjalanan memang banyak hal masih belum terjelaskan. Banyak hal pun sesungguhnya masih dipertanyakan dan terlihat inkonsisten setelah selesai menonton serinya.

Dalam tiap episode terasa sekali adanya informasi cerita yang hilang sehingga kita banyak lepas dalam banyak momen. Saking banyak petunjuk yang tak jelas ini, memicu kita menjadi lelah dalam mengikuti kisahnya. Butuh perjuangan untuk melewati rasa kantuk dalam 3-4 episode awal karena begitu “rumitnya” cerita. Namun dalam perjalanan menuju klimaks, semua akhirnya terkuak dengan jelas melalui teknik kilas-balik, dan beberapa di antaranya terhitung sangat brilian. Saya bahkan berani mengatakan, selipan penempatan informasi cerita (planting information) dalam miniseri ini rasanya adalah yang terbaik dalam semesta sinematiknya.

Penonton memang harus jeli pada tiap episodenya karena hal yang terlihat sepele sekali pun bisa menjadi petunjuk penting kelak. Satu karakter unik yang memiliki pencapaian istimewa adalah sosok penyihir tua, Lilia Calderu yang mampu melihat masa depan. Dalam episode 7, semua misteri tentang karakter ini akhirnya terpecahkan. Dalam episode sebelumnya, sering kali kita melihat sosok ini berbicara sekenanya, seolah trans, dan mendadak kembali sadar. Akhirnya terkuak, bahwa ketika ia mengucapkan hal tersebut adalah karena “timeline” bagi Lilia adalah nonlinier. Melalui teknik montage panjang yang begitu mengesankan, urutan waktunya disajikan linier, hingga kita pun akhirnya bisa memahami betul bagaimana sang tokoh bisa melihat masa depan. Segmen montage ini pun diakhiri dengan “ending” yang memuaskan bagi sang karakter yang kembali ke siklus awal hidupnya. Montage ini adalah salah satu yang terbaik yang pernah saya lihat.

Baca Juga  Angel: Kami Semua Punya Mimpi

Keunikan kisahnya pun didukung penampilan kuat para kastingnya. Hahn sebagai Agatha jelas tampil amat dominan dalam semua episode dengan gayanya yang ekspresif. Juga untuk para pemain pendukung lainnya, khususnya para rekan penyihir Agatha, tampil sama sekali tidak buruk. Satu tokoh utama yang terasa mis-cast adalah sosok William Kaplan yang diperankan Joe Locke. Sosoknya mengingatkan saya pada tokoh Cesare dalam film horor bisu, The Cabinet of Dr. Caligari (1919). Wajahnya terasa gamang sepanjang cerita dan perannya tampak “statis”, serta tidak memiliki karisma kuat yang seharusnya ia miliki sebagai putra dari salah seorang seorang penyihir terkuat di semesta raya.

Seperti telah disinggung di atas, banyak hal mengganjal dan inkosisten dalam kisahnya. Satu tokohnya mampu melihat masa depan, mengapa ia tidak melihat semuanya dari awal jika berakhir seperti itu? Dalam banyak momen disebutkan dan diperlihatkan hubungan asmara antara Agatha dengan satu karakternya, namun pada segmen kilas-balik yang begitu panjang dan detail, hal ini justru tidak disinggung sama sekali. Lantas jika Agatha sudah mengetahui identitas William sejak awal, lalu apa motifnya dengan kisah yang telah dibangun begitu rumit dan hanya berakhir seperti itu? Seolah kita kena prank.

Dengan segala pencapaian estetik dan kisahnya, Agatha All Along menyajikan perspektif cerita segar bagi seri MCU, namun kelelahan franchise-nya, sudah tak terelakkan, terlebih ini adalah karakter minor.  Seri Agatha bersama seri Echo, tentu tidak seperti sosok Miss Marvel yang bakal menjadi bagian penting dari MCU. Sosok Miss Marvel yang bergabung dengan sosok superhero Captain Marvel dalam The Marvels pun ternyata flop. Apa yang ingin ditawarkan Agatha dan seri-seri tokoh minor lainnya bisa jadi hanya sekadar mengisi celah kekosongan di antara film feature-nya. Para petinggi Marvel Studios bersama Disney pasti sudah paham betul situasi “superhero fatigue” ini. Walau baru lalu, Deadpool vs. Wolverine sukses besar tapi ini tidak berarti sosok superhero lainnya bisa bernasib serupa.

Agatha bisa jadi sukses di platform streaming, namun kasus yang berbeda bakal dihadapi film-film feature-nya kelak. Seri Agatha memang terlihat bukan dimaksudkan untuk menjadi panggung besar dalam versi feature-nya kelak. Konflik yang dihadapi MCU jelas kini sudah semakin kompleks dan amat luas (multiverse) dengan melibatkan puluhan superhero besarnya. Tentu kontras dengan kasus yang terlihat pada seri Agatha yang sifatnya lokal dan personal. Selama pihak studio menyadari bahwa segmen penontonnya berbeda, ini menjadi sesuatu yang wajar. Menarik, menanti bagaimana strategi MCU untuk menjaga kemapanan semesta sinematiknya dalam beragam medium.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaApocalyse Z
Artikel BerikutnyaRed One
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.