Alice in Wonderland (2010)
108 min|Adventure, Family, Fantasy|05 Mar 2010
6.4Rating: 6.4 / 10 from 448,059 usersMetascore: 53
Nineteen-year-old Alice returns to the magical world from her childhood adventure, where she reunites with her old friends and learns of her true destiny: to end the Red Queen's reign of terror.

Alice in Wonderland adalah film fantasi petualangan garapan teranyar Tim Burton. Film ini merupakan lanjutan dari kisah novel klasik anak-anak, Alice’s Adventure in Wonderland karya Lewiss Caroll. Film ini dirilis dalam format 3D dan 2D yang merupakan pertama kali bagi Burton. Film berbujet $150 juta ini dibintangi kolaborator tetap Burton yakni Johnny Depp serta Helena Bonham Carter, Anne Hathaway, serta aktris muda pendatang baru, Mia Wasikowska sebagai Alice.

Alice Kingsley (Wasikowska) adalah seorang gadis remaja 19 tahun yang masih ragu dalam mengambil sikap. Suatu ketika di sebuah pesta, Alice melihat seekor kelinci yang menggunakan baju dan membawa jam saku. Saat tunangan Alice akan meminangnya, di luar dugaan Alice malah mengikuti kemana sang kelinci pergi. Alice lalu jatuh ke dalam lubang kelinci dan masuk ke sebuah dunia bernama Wonderland. Alice bertemu beberapa karakter aneh seperti Mad Hatter (Depp), Chesire Cat, Caterpillar, serta lainya. Misi Alice adalah membantu White Queen (Hathaway) dari teror Jabberwocky milik Red Queen (Carter) untuk membawa kedamaian di Wonderland.

Kembali Burton mengubah cerita aslinya menjadi versinya sendiri. Versi Burton ini bisa dibilang lanjutan dari kisah aslinya yang merupakan cerita anak-anak. Cerita filmnya jauh dari cerita anak-anak yang ringan dan sederhana, namun cenderung suram dan membingungkan. Satu adegan dengan adegan lain terkesan terpisah dan dipaksakan, tidak menyatu satu sama lain. Alur plotnya pun cenderung mengulur waktu dengan penyelesaian masalah yang terlalu mudah. Kunci cerita sebenarnya adalah tokoh Alice namun beberapa karakter “tak penting”, Mad Hatter misalnya, malah ditonjolkan (kita sudah tahu mengapa). Hal ini mengakibatkan hubungan batin antara Alice dengan Wonderland menjadi lemah. Tak ada motif yang kuat mengapa Alice harus mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah dunia yang sudah ia lupakan.

Baca Juga  Frankenweenie

Alur plotnya yang selalu berpindah-pindah di alam fantasi Wonderland memungkinkan Burton bermain-main dengan sentuhan artistiknya terutama unsur setting. Seperti lazimnya film-film Burton, unsur setting, kostum, dan make-up, semua pencapaiannya luar biasa. Setting-nya memang istimewa namun entah mengapa tampak terlalu artifisial untuk ukuran film-film Burton sebelumnya. Boleh jadi ini karena tuntutan format 3D. Seperti ketika Alice jatuh ke dalam lubang kelinci tampak sekali Burton berlama-lama dengan adegan ini, satu hal yang rasanya tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Setidaknya Burton masih tetap konsisten menjaga sentuhan ekspresionis pada filmnya kali ini.

Dari sisi pemain, selain Wasikowska, Depp dan Carter adalah yang paling menonjol. Sementara Depp bermain layaknya “Willy Wonka”, Carter bermain lugas sebagai Red Queen yang nyaris berteriak setiap saat. Ilustrasi musik Danny Elfman kali ini juga kurang memiliki “jiwa” seperti film-film Burton sebelumnya. Klimaks filmnya yang penuh sajian visual menawan tampak hambar karena ending-nya sangat mudah kita duga. Versi adaptasi Burton kali ini bukan terbilang gagal, tetapi memang gaya sang sineas seperti ini. Burton bisa dibilang kali ini kebablasan. Setidaknya seperti halnya Chocolate Factory yang masih bisa dinikmati penonton anak-anak, Alice in Wonderland mestinya juga sama karena spirit filmnya adalah untuk penonton anak-anak. Ibaratnya, Burton mencoba untuk membuat makanan orang dewasa dari bahan makanan bayi. It just won’t works!

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaRumah Dara, Film Horor-Thriller Indonesia Terbaik
Artikel BerikutnyaSleepy Hollow, Kisah Horor Klasik Versi Burton
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.