alien earth

Seri ikonik Alien akhirnya merilis seri perdananya, Alien: Earth yang merupakan kreasi Noah Hawley. Film bertotal 8 episode ini berdurasi rata-rata 50 menit yang berakhir pada 23 September lalu. Bermain dalam serinya, antara lain Sydney Chandler, Alex Lawther, Essie Davis, Samuel Blenkin, Babou Ceesay, Adarsh Gourav, serta Timothy Olyphant. Film rilisan Disney + ini juga diproduseri Ridley Scott yang menggarap Alien (1979). Di luar franchise filmnya yang masih berdenyut, apa yang kini ingin ditawarkan oleh serinya?

Plot Alien: Earth berlatar waktu dua tahun sebelum peristiwa dalam Alien (1979) yang merupakan film pelopor seri besarnya. Pesawat angkasa USSCS Maginot milik Yutani Corps. membawa satu tim kru yang berhasil mengambil sampel beberapa alien berbahaya termasuk Xenomorp. Dalam perjalanan ke bumi, pesawat tersebut disabotase dan sebagian monster pun lepas. Maginot menghujam bumi persis di tengah gedung milik rival Yutani, Prodigy Corp. CEO Prodigy, Boy Kavalier (Blenkin) pun mengutus tim hybrid miliknya, dimotori Wendy (Chandler) untuk mengambil semua spesimen alien yang lepas.

Ringkasan kisah di atas seolah mengarah ke formula standar serinya, yakni cat-mouse antara alien dan manusia. Kalian salah besar. Seri ini jauh dari bayang-bayang kisah dan formula seri besarnya. Bukankah ini sesuatu yang segar? Ya, tetapi apa yang kita harapkan dari seri ini, semuanya nyaris tak masuk akal. Satu pernyataan besar. Apa relasi antara kisah Alien: Earth dengan kisah film-film sebelumnya? Nothing. Seri-seri sebelumnya justru ingin mencegah agar sang monster tidak datang ke bumi. Rupanya Xenomorp sudah ada di bumi jauh sebelum Ripley (Sigourney Weaver) bertemu dengan sang alien.

Plotnya justru bercampur aduk dalam beragam konflik internal dan eksternal dari Prodigy Corp. yang tak pernah eksis dalam seri sebelumnya. Tokoh sentral adalah Wendy seorang hybrid (robot AI super yang dimasukkan pikiran manusia) produksi Prodigy yang terus mencari identitas di antara bayang-bayang masa lalunya. Sang CEO Prodigy memanfaatkan tim hybrid dan semua ilmuwannya untuk mencapai tujuannya, yakni memiliki dan meneliti semua spesimen alien untuk kepentingannya.

Baca Juga  The Woman in Cabin 10 | REVIEW

Why oh why, sang CEO yang konon super jenius ini memasukkan pikiran anak-anak ke dalam hybrid-nya? Semua kebodohan plotnya berawal dari sini. Sekuat dan setangguh apa pun, mereka hanyalah seorang bocah. Semua serba tak jelas motifnya yang hingga akhir pun tidak terjawab. Sang hybrid (Wendy) bahkan bisa mengontrol Xenomorp? Apa-apaan ini? Ini memantik rasa frustasi sepanjang serinya. Nihil empati dan simpati pada semua karakter dan plotnya. Kisah utama seri ini adalah tentang hybrid bukan sang alien. Bisa dipahami jika para pembuat ingin membuat sesuatu yang segar bagi franchise-nya, tetapi menghilangkan tradisi serinya adalah sesuatu yang tak bisa dipahami.

Seri Alien: Earth adalah sebuah eksplorasi gagal dari semua aspeknya yang merusak semua tatanan dan formula thriller yang membuat seri Alien begitu menarik dan digemari fansnya. Segala memori tentang franchise ini ditendang jauh-jauh. Setelah Alien: Romulus yang jelas-jelas merujuk seri-seri sebelumnya dan sukses komersial pula, apa yang ingin diharapkan dari Alien: Earth? Entahlah. Bagi saya seri ini adalah sesuatu yang sejak awal tidak perlu diproduksi. Hanya satu episode (5) yang mampu membuat seri ini serasa kembali ke nature-nya, mengapa begitu? Seri Alien adalah tentang bertahan hidup (survival) dan bukan tentang dua perusahaan yang berebut sampel alien.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaMarvel Zombies | REVIEW
Artikel BerikutnyaThe Thing with the Feathers | Jakarta World Cinema 2025
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses