Kehidupan seorang agen spionase atau pembunuh bayaran telah dieksplorasi sedemikian masif dalam banyak seri maupun film dalam dua dekade terakhir. Kini, satu seri lagi menawarkan sebuah drama thriller yang memiliki sedikit sentuhan berbeda. Black Doves adalah seri rilisan Netflix yang merupakan kreasi dari Joe Barton. Seri bertotal 6 episode ini dibintangi oleh Keira Knightley, Ben Whishaw, serta Sarah Lancashire. Apa lagi yang coba ditawarkan seri Black Doves?

Dalam kesehariannya, Helen Webb (Knightley) adalah seorang istri sempurna bagi Menteri Pertahanan Inggris, Wallace Webb (Andrew Buchan). Cantik, pintar, dan seorang istri dan ibu yang baik. Namun di balik itu semua, Helen adalah seorang agen mata-mata tangguh bagi kelompok misterius, Black Doves yang berpihak pada siapa pun yang membeli informasi dengan harga tertinggi. Kelompok tersebut diwakili oleh sosok perempuan karismatik bernama Reed (Lancashire) yang juga atasan langsung Helen.

Masalah muncul, ketika pacar gelap Helen, Jason, tewas dibunuh oleh seorang sniper bersama dua orang lainnya. Ketiga korban ini rupanya merupakan rentetan peristiwa sejak tewasnya Dubes Tiongkok yang memicu konflik tingkat tinggi bagi pihak Inggris, AS, dan Tiongkok (Thank God, Rusia tidak ada dalam intrik plotnya). Helen pun bertekad membalas dendam pelakunya hingga Black Doves pun mengirim “triggerman”, rekan lama Helen, yakni Sam (Whishaw) untuk melindunginya.

Bagi penikmat genre agen rahasia hingga pembunuh bayaran, sentuhan manusiawi yang melibatkan sisi roman, persahabatan, serta keluarga, kini semakin sering muncul. Film-film spionase murni, macam seri Bond, Bourne, hingga Mission Impossible kini terhitung jarang. Masalah pribadi, internal, hingga asmara mulai mengaburkan antara misi dan keseharian protagonis, sebut saja Mr. & Mrs. Smith (feature dan seri), Ghosted, dan The Family Plan. Formula “hidden identity” dan batasan abu-abu ini makin diminati penonton.

Melalui ringkasan plot di atas, tampak seri Black Doves mencoba sesuatu yang baru melalui sosok Helen dan Sam. Helen adalah seorang agen lapangan sementara Sam adalah sosok pembunuh. Di sinilah kehidupan pribadi dua protagonis ini mulai bercampur aduk di tengah misi genting mereka. Beberapa saat setelah aksi yang mengancam nyawa, Helen beberapa kali terlihat bermain atau meninabobokkan putra dan putrinya. Di saat-saat genting, Sam masih saja sempat melakukan chat dengan pacarnya. Momen humor diselipkan begitu brilian dan berkelas, sekalipun seri ini bukanlah komedi melainkan film aksi dan drama thriller yang serius. Ini yang jarang sekali kita lihat dalam film-film senada.

Baca Juga  Bad Times at the El Royale

Sisi ketegangan pun juga disajikan dengan sangat baik. Dalam banyak momen, segmen hingga serangkaian shot kilas balik disajikan secara efektif untuk memberikan eksposisi bagi adegan-adegannya. Informasi ini tak jarang memberikan dampak hebat sekaligus memicu rasa penasaran. Penceritaan tak terbatas yang sering kali melompat dari satu karakter ke karakter lain memberikan efek ketegangan yang luar biasa. Satu contoh terbaik adalah ketika Helen menyusup ke kedutaan besar AS untuk bernegosiasi dengan satu saksi mata penting. Ya benar, aksi ini bukan hal baru bagi film-film spionase, hanya saja, Helen dan Sam melakukannya dengan spontan tanpa rencana matang. Aksi spontanitas yang tak terduga yang memang menjadi pembeda.

Naskah brilian di atas tak bakal ada artinya tanpa kasting para pemain yang pas. Siapa sangka, Kiera Knightley yang sering kita jumpai sebagai sosok feminim, mampu bermain dalam peran yang begitu fleksibel. Di satu momen, ia bermain sebagai istri yang suportif, hangat, dan ceria, sementara di sisi lain ia tampil garang, brutal, dan dingin sebagai sosok agen tangguh. Satu momen ini tercermin dalam satu adegan brilian ketika Helen harus berhadapan dengan satu pembunuh bayaran di rumah tinggalnya. Sementara Ben Wishaw yang kita kenal sebagai Q dalam seri Bond, lebih monoton karakternya ketimbang Helen. Problem internal masa kini dan trauma Sam menjadi penyebab, walau Wishaw bermain sangat baik. Karakter pendukung yang mencuri perhatian justru sosok atasan Helen, Reed, diperankan Sarah Lancashire, sekalipun ia hanya muncul sekilas-sekilas.

Didukung sederetan kasting yang tampil menawan, Black Doves mampu mengeksplorasi sisi humanis genrenya dengan memadukan intrik politik, sisi drama, aksi, unsur ketegangan, hingga selera humor berkelas. Ibarat plotnya semata olokan terhadap situasi politik global yang tengah memanas kini serta sisi humanis yang semakin meluntur di mana nyawa manusia sudah tidak lagi dihargai. Black Doves yang dianggap sukses, kabarnya akan berlanjut di musim kedua dengan potensi konflik yang lebih meluas (melihat ending musim pertama). Seri ini setidaknya mampu memberikan satu tontonan drama thriller spionase bermutu di antaranya membludaknya film-film senada dalam satu dekade belakangan ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaMufasa: The Lion King
Artikel BerikutnyaSorop
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.