Bad Times at the El Royale (2018)
141 min|Crime, Drama, Mystery|12 Oct 2018
7.1Rating: 7.1 / 10 from 167,280 usersMetascore: 60
1969. Four strangers check in at the El Royale Hotel. The hotel is deserted, staffed by a single desk clerk. Some of the new guests' reasons for being there are less than innocent and some are not who they appear to be.

Bad Times at the El Royale adalah film thriller kriminal unik yang ditulis dan digarap oleh Drew Goddard. Goddard terakhir menggarap film horor unik, The Cabin in The Woods (2012) yang juga sekaligus karya debutnya. Ia juga penulis naskah film-film berkualitas, yakni Cloverfield, World War Z, hingga The Martian. El Royale dibintangi sederetan kasting ternama,yakni Jeff Bridges, Jon Hamm, Dakota Johnson, hingga Chris Hemsworth. Film berdurasi 141 menit ini diproduksi dengan bujet US$ 32 juta.

Alkisah Hotel El Royale adalah sebuah hotel kecil dan sepi di wilayah perbatasan Nevada-California. Suatu ketika, El Royale kedatangan beberapa tamu unik, yakni Flynn seorang pendeta tua, Sullivan seorang salesman, Darlene seorang penyanyi latar, dan seorang gadis hippie bernama Emily. Mereka disambut satu-satunya karyawan hotel, pemuda bernama Miles. Mereka semua ternyata memiliki agenda tersembunyi yang secara tak sengaja terlibat konflik kepentingan satu sama lain hingga situasi berubah menjadi kacau balau.

Satu keunikan film ini adalah cara bertuturnya yang unik dengan menggunakan pembabakan setiap tokohnya. Babak pertengahan filmnya dituturkan melalui pola nonlinier dengan kombinasi segmen kilas-balik. Segmen pembuka filmnya, dibuka dengan sangat baik melalui montage mengesankan yang menggambarkan salah satu latar kisah tokohnya. Tokoh demi tokoh yang misterius diperkenalkan dan berjalannya cerita, latar belakang mereka mulai terungkap. Kisahnya pun dipenuhi kejutan demi kejutan walau secara simultan melalui segmen kilas baliknya, arah cerita mulai terlihat. Sebuah satu penuturan mengesankan yang mengingatkan pada film garapan Quentin Tarantino, The Hateful Eight. Walau demikian, banyak adegan di babak awal dan klimaks terasa seolah mengulur waktu dan sedikit membosankan sehingga durasi terasa begitu panjang dan melelahkan. Berbeda dengan Hateful Eight yang berdurasi lebih panjang (168 menit), namun dialog-dialognya yang cerdas serta para tokohnya yang eksentrik membuatnya lebih bergairah untuk dinikmati. Chris Hemsworth memang bermain di luar kebiasaan, namun sosoknya tetap terasa kurang meyakinkan sebagai dewa “hippie”.

Baca Juga  Bus 657

Tak dipungkiri, film ini memiliki setting dan tata sinematografi yang menawan. Entah mengapa, sejak adegan pembuka yang demikian mengesankan, filmnya tak mampu lagi melebihi pencapaian ini. Setting hotel yang demikian mengagumkan dengan lobi, kamar, hingga lorong rahasia di balik masing-masing kamar memang disajikan bagitu baik, namun terasa ada sesuatu yang hilang berjalannya cerita. Setting tidak lagi menjadi bagian cerita tapi hanya sekedar pengisi adegan yang tidak lagi memiliki jiwa dan tidak lagi terasa istimewa. Walau tak bisa disandingkan, El Royale banyak mengingatkan pada Psycho garapan sang master sinema yang memiliki kemiripan setting. Setting motel maupun rumah tinggal Norman Bates seolah mampu bercerita dan menjadi saksi dari kejadian mengerikan di sana. Tata sinematografi yang mengesankan di El Royale juga tak mampu banyak menolong ini.

Bad Times at the El Royale didukung penampilan para kastingnya dan setting yang apik dengan cara bertutur unik walau durasinya terasa begitu lama. Walau terhitung semua tokohnya bermain meyakinkan, namun Jon Hamm dan Jeff Bridges patut mendapat poin lebih. Saya justru mencari poin lebih filmnya melalui pesan terselubungnya. Sesuai latar cerita 1960-an, di mana AS kala itu penuh dengan masalah politik dan transisi budaya yang kompleks, seperti perang dingin, awal perang Vietnam, perlombaan roket ke Bulan, invasi budaya pop Eropa, maraknya budaya hippies di kalangan remaja, serta banyak lainnya. Film ini secara sederhana mungkin ingin menggambarkan ini semua dalam satu dunia kecil bernama Hotel El Royale, di mana segala sesuatunya serba abu-abu, tak ada yang benar dan salah, bobroknya moral dan nilai keluarga, dan semua orang tak lagi bisa dipercaya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaJaga Pocong
Artikel BerikutnyaBohemian Rhapsody
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.