Conclave adalah film drama thriller politik yang diarahkan oleh sineas asal Jerman Edward Berger. Ia adalah sineas yang menggarap film perang berkualitas produksi Jerman, All Quiet on the Western Front (2022) yang sukses meraih empat Piala Oscar. Conclave diadaptasi dari novel berjudul sama karya Robert Harris. Film ini dibintangi sederetan bintang senior, antara lain Ralph Fiennes, Stanley Tucci, John Lithgow, hingga Isabella Rosselini. Film ini telah meraih delapan nominasi dalam ajang Academy Awards tahun ini serta puluhan penghargaan lainnya, so, seberapa istimewakah film ini?
Sang Paus, pimpinan tertinggi Gereja Katolik meninggal mendadak karena serangan jantung. Gereja Vatican mengumpulkan para kardinal dari seluruh belahan bumi untuk melakukan conclave, pertemuan tertutup untuk memilih Paus yang baru. Thomas Lawrence (Fiennes) adalah dekan penanggung jawab pertemuan tersebut, yang sesungguhnya telah meminta pengunduran diri, namun ditolak mendiang Paus. Beberapa calon kuat bermunculan, yakni kardinal Aldo Bellini (Tucci) asal AS, kardinal Joseph Tremblay (Lithgow) asal Kanada, kardinal Joshua Adeyemi asal Nigeria, serta kardinal Tedesco asal Italia. Persaingan, intrik, dan kepentingan politik antar kelompok pun terjadi, bahkan beberapa oknum rela melakukan apa pun untuk menjadi pemimpin tertinggi.
Menonton Conclave, jauh dari ekspektasi ritual Vatican yang panjang dan melelahkan, namun di luar dugaan adalah sebuah thriller politik yang nonstop dan intens layaknya genre aksi spionase. Tidak ada satu detik pun rasa bosan menghampiri karena rasa penasaran kita yang selalu terusik. Informasi sejalan dengan pengembangan alut plotnya justru semakin memberi kejutan demi kejutan, walau kisahnya dibatasi ruang terbatas. Plotnya diakhiri sebuah resolusi yang terbilang isu sangat sensitif. Sebuah resolusi “fair” yang mewakili hiruk pikik dan kekacauan di dunia kini.
Penceritaan apik didukung pula pencapaian estetiknya yang gemilang. Sejak awal, aspek sinematografi berbicara kuat melalui komposisi tiap shot-nya yang amat terukur dan penuh makna. Pengambilan gambarnya didominasi oleh shot statis yang mewakili keteguhan sekaligus kebimbangan para tokoh utamanya melalui ekspresi ketegangan wajah para kardinal. Tempo editing yang lambat juga memberi waktu untuk menikmati pesona visualnya yang sering kali diselipkan shot-shot pengantar di antara adegan. Lokasi set utama, konon adalah set studio yang dibangun mirip dengan aslinya, memainkan peranan penting dalam membangun otentitas kisahnya. Lalu ilustrasi musik arahan komposer Volker Bertelmann secara konstan begitu mengintimidasi sepanjang filmnya, senada dengan gaya score All Quiet on the Western Front yang juga gubahannya. Namun, pencapaian istimewa tentu ada pada sederetan kastingnya yang mengusung kisahnya dengan dialog-dialog yang berisi dan lugas.
Sang bintang utama, Ralph Fiennes yang biasa tampil penuh percaya diri dari karakter yang diperankannya, kini mampu tampil ekspresif dengan selalu tampak bimbang dan gelisah, nyaris sepanjang filmnya. Sosoknya mengemban beban berat yang sesungguhnya sama sekali tidak ia inginkan. Tampil konstan dengan ekspresi ini jelas bukan satu hal yang mudah. Sementara Stanley Tucci, seperti biasanya, tampil sangat baik sebagai seorang kardinal liberal, walau yang sedikit mencuri perhatian adalah John Lithgow yang tampil meyakinkan sebagai seorang kardinal licik. Penampilan memikat justru ditampilkan oleh aktris senior Isabella Rosselini yang dalam satu adegan tampil ekspresif, walau karakter ini tidak dominan.
Detail, intens, dan penuh twist, Conclave adalah pencapaian langka untuk genrenya melalui penampilan menawan sederetan kasting seniornya dengan dukungan penuh semua elemen sinematiknya. Sebuah pencapaian istimewa beruntun bagi sang sineas setelah sukses All Quiet on the Western Front. Talenta dan keterampilan sang sineas jelas tidak bisa dianggap remeh. Kisah Conclave sendiri adalah representasi masalah global yang kita rasakan kini. Ini tercermin dalam pidato singkat seorang kardinal muda di penghujung film yang amat menyentuh. Conclave adalah contoh sempurna bagaimana medium film merespon gejolak dan keresahan global serta mencari solusi bijak bagi dunia yang terus berkembang dinamis dari masa ke masa. Film ini menjadi salah satu kandidat kuat best picture dalam ajang Academy Awards tahun ini.