Selain Hollywood, tercatat film pengusiran setan oleh pihak gereja yang diproduksi Asia terhitung langka. Dark Nuns merupakan film horor supernatural produksi Korea Selatan yang juga stand-alone sekuel (spin-off) dari The Priest (2015) yang digarap oleh Kwon Hyeok-jae. Film ini dibintangi nama-nama tenar, seperti Song Hye-kyo, Jeon Yeo-been, Lee Jin-wook, serta Moon Woo-jin. Bisa jadi tak banyak yang tahu film pertamanya, apakah Dark Nuns kini mampu mencuri perhatian dan menawarkan sesuatu yang baru?

Seorang bocah bernama Hee-joon (Woo-jin) diketahui kerasukan iblis jahat dan kini dalam pengawasan rumah sakit di lingkungan gereja. Seorang suster tangguh, Guinia (Hye-kyo), yang dijuluki Dark Nun, berniat untuk menyelamatkan sang bocah atas ijin gereja. Niat tersebut ditentang oleh pengawas sang bocah, Pastur Paolo (Jin-wook) yang menganggap Hee-joon bisa disembuhkan secara medik. Sementara asisten sang pastur, Suster Mikaela (Yeo-been) yang telah terbuka mata batinnya, sependapat dengan Guinia. Mereka berdua akhirnya mencoba cara alternatif tanpa diketahui pihak gereja.

Mungkin tak banyak yang menonton The Priest, namun inti plotnya senada dengan Dark Nuns. Bagaimana para protagonis bergelut dengan birokrasi gereja yang rumit, sementara mereka harus segera menyelamatkan sang korban sebelum terlambat. Kedua film sama-sama memiliki tempo yang lambat dan proses yang panjang sebelum segmen klimaksnya. Perbedaan yang mencolok adalah skala cerita dan sisi ketegangan di klimaks yang jauh lebih bertaji ketimbang sebelumnya. Satu hal lagi yang menarik adalah Dark Nuns membawa elemen lokal dalam aksi pengusiran setannya, seperti sudah sering kita temui dalam film-film horor Korea Selatan sebelumnya.

Sering kali kita temui dalam film eksorsisme gereja kebanyakan, kewenangan rupanya adalah isu penting untuk melakukan aksi ritual kuno ini. Dari sisi awam, tentu kita tidak habis pikir, tak terlihat adanya urgensi untuk segera menyelesaikan masalah yang jelas-jelas sudah terlihat di depan mata. Seorang pastur bisa berkilah dengan entengnya, tidak punya wewenang untuk melakukan eksorsisme. Bagaimana ini bisa terjadi? Ini membuat plot film-film sejenis, termasuk Dark Nuns, mudah diantisipasi dan cenderung melelahkan. Namun sedikit berbeda, Dark Nuns menyajikan ritual pengusiran roh tradisional sebagai opsi yang membawa sentuhan segar bagi subgenrenya.

Baca Juga  Choose or Die

Dark Nuns tidak seperti film-film horor lazimnya, sama sekali tidak menampilkan jump-scare bahkan sosok seram. Pendekatan ini rasanya tidak akan disukai bagi penonton yang menyukai tipikal genrenya dan selipan komedi di dalamnya. Intensitas cerita semakin lama terasa semakin genting. Tidak hingga segmen klimaks, tensi ketegangan memuncak dengan segala pesona visual dan dukungan back sound yang hingar bingar. Semua usaha keras, pengorbanan, dan susah payah, pada akhirnya hanya untuk satu sebutan singkat identitas sang iblis yang rupanya begitu penting dalam proses ini.

Dark Nuns adalah perbaikan besar dari film pertamanya melalui nyaris segala aspeknya, walau masih terjebak dalam tempo plot yang lambat dan panjang. Seperti film Korea Selatan kebanyakan, kastingnya nyaris sempurna untuk mendukung plotnya, khususnya penampilan dua bintang utamanya, Song Hye-kyo dan Jeon Yeo-been. Pada penghujung kisahnya, kejutan kecil muncul yang memberikan sinyal kelanjutan kisahnya kelak. Tidak banyak sesuatu yang baru dalam Dark Nuns, kecuali perpaduan antara aksi eksorsisme gereja dan dan tradisi setempat. Ini yang sesungguhnya membedakan tegas antara film horor Barat dengan horor Asia.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel Sebelumnya1 Kakak 7 Ponakan | REVIEW
Artikel BerikutnyaCompanion | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.