Mungkin tidak ada yang menyangka, film aksi thriller kriminal macam Den of Thieves (2018) bakal diproduksi sekuelnya. Sekali pun film ini memang cukup sukses komersial (USD 80 juta secara global dari bujet USD 30 juta) dan filmnya pun secara kualitas, jauh dari buruk. Den of Thieves 2: Pantera masih diarahkan dan ditulis naskahnya oleh Christian Gudegast dengan mengusung kembali para pemain utamanya, yakni Gerard Butler dan O’Shea Jackson.

Kisahnya berlanjut beberapa waktu setelah peristiwa pada film pertama. Setelah mengetahui, bahwa sosok Donnie Wilson (Jackson) adalah otak dibalik aksi pencurian sebelumnya, Sang sherrif, Nick (Butler) rupanya masih mengincarnya. Satu aksi kriminal di Belgia mencuri perhatian Nick dan membuatnya pergi ke Eropa. Di sana, ia pun menemukan jejak buruannya. Donnie dan rekan-rekan barunya rupanya berniat untuk mencuri brankas berlian terbesar di dunia. Nick yang seorang diri dan berada jauh di luar wilayah juridiksinya, mengambil inisiatif berbeda, di mana ia justru mencoba bergabung dengan Donnie dan timnya untuk melakukan aksi kriminal tersebut.

Apakah sekuelnya ini bermasalah jika kita belum menonton film sebelumnya? Tidak juga, karena film pertama hanya berfungsi sebagai eksposisi dua tokoh utama. Jika belum menonton, kalian hanya kehilangan informasi sosok Nick dan Donnie, serta kemampuan apa yang mereka bisa lakukan. Problema terbesar plotnya, bukan di dua tokoh utamanya, namun durasi kisahnya (141 menit) yang terlampau panjang dan melelahkan.

Jika sudah menyimak trailer-nya, kemungkinan besar kamu telah tahu inti plotnya. Trailer-nya berisi full aksi dengan aksi-aksi pencurian tipikal film-film heist kebanyakan. Siapa pun tahu, trailer hanya sebagai promosi untuk menarik minat penonton. Faktanya, segmen aksi di sekuelnya ini boleh dibilang minim, hanya segmen pembuka dan segmen klimaks. Namun, dua segmen ini pula yang sesungguhnya mengangkat filmnya. Tidak seperti segmen klimaks yang menegangkan dan hingar bingar, segmen aksi dibuka dengan begitu elegan yang mengingatkan pada opening The Dark Knight.

Lalu bagaimana segmen lainnya? Di luar itu hanyalah proses yang teramat panjang, yakni aksi rekrutmen, pengamatan, perencanaan, persiapan, bonding antar member, dan lain-lainnya yang sudah sering kita lihat dalam subgenrenya. Banyak momen yang melelahkan karena temponya terhitung lambat. Dua pertiga durasi film (sekitar 80-90 menit) berisi momen-momen ini hingga mata pun mulai terasa berat, akibat didominasi dialog. Momen berubah secara drastis menjelang masuk ke babak ketiga.

Baca Juga  Game Night

Den of Thieves 2: Pantera memiliki pesona aksi dan sisi ketegangan senada dengan sebelumnya, khususnya sepertiga akhir, hanya durasi yang kelewat panjang membuat prosesnya begitu melelahkan. Kekuatan dan nilai lebih sekuelnya ini adalah setting lokasi eksotis yang mengambil tempat di Canary Islands, serta tentunya penampilan duo karismatik, Butler dan Jackson. Chemistry dua sosok ini adalah satu kekuatan utama yang bisa jadi bakal kita lihat lagi dalam sekuelnya jika film ini sukses. Butler hingga kini tercatat sebagai aktor yang selalu konsisten dengan genre aksi, selama lebih dari satu dekade terakhir.

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaZanna: Whisper of Volcano Isle
Artikel BerikutnyaDan Da Dan
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.