Kisah legendaris sosok monster karya Mary Shelley, Frankenstein tercatat telah menginspirasi dan diadaptasi ratusan kali ke layar lebar sejak era silam. Kini, sineas kawakan Guillermo del Toro mencoba mengadaptasi dengan sentuhan uniknya dengan titel yang sama, Frankenstein. Film rilisan Netflix ini dibintangi oleh Oscar Isaac, Jacob Elordi, Mia Goth, Felix Kammerer, David Bradley, Lars Mikkelsen, Charles Dance, hingga Christoph Waltz. Akankah sang sineas mampu memberi sesuatu yang baru bagi kisah monster yang tak lekang waktu ini?
Pada tahun 1857, sebuah kapal penjelajah milik Denmark terjebak di es yang membeku dalam perjalanan ke Kutub Utara. Di sana, mereka menemukan seorang pria bernama Victor Frankenstein (Isaac) yang terluka dan membawanya ke kapal. Tanpa diduga, pria tersebut rupanya diincar oleh sosok monster brutal (Elordi) yang memiliki kekuatan fisik luar biasa. Pada sang kapten, Victor akhirnya menceritakan kisah dirinya dan sang monster yang rupanya adalah kreasinya.
Seperti halnya Pinocchio yang diadaptasi sang sineas menjadi versi “dark”, Frankenstein memiliki perlakuan serupa. Kisahnya diadaptasi lepas melalui versi kisah sang sineas yang lagi-lagi bersinggungan dengan tema “kematian” yang menjadi cirinya. Senada Pinocchio, Del Toro menyelipkan konsep eksistensialisme ke naskahnya yang memiliki kedalaman substansi cerita yang tidak dimiliki kisah aslinya. Sang monster yang hidup abadi berfungsi sebagai katalis untuk berbicara tentang perjalanan kehidupan yang tak lepas dari penderitaan, kematian, serta cinta. Kisah kali ini tidak bicara tentang sang pencipta yang menentang hukum alam, tetapi adalah perjalanan sang monster dalam memaknai hidup.
Plotnya secara umum dibagi menjadi dua segmen besar, yakni melalui perspektif sang pencipta, Victor, dan sang monster. Nyaris 90 menit, segmen pertama berfungsi bak eksposisi yang didominasi kilas balik. Bicara tentang keluarga, ambisi, hingga secuil kisah roman dari sang kreator. Plotnya berjalan lambat dan pada beberapa momen terasa melompat. Selain sosok Victor, kita agak sulit bersimpati dengan karakter lainnya karena muncul hanya selintas lalu. Beruntung, rasa bosan yang menghampiri tertutup oleh desain set artistik memukau yang menjadi tradisi dan gaya visual Del Toro.
Segmen kedua dituturkan melalui perspektif sang monster. Sejak momen inilah, kisahnya memiliki kedalaman yang menjadi kekuatan sisi moralnya. Relasinya dengan alam sekitar dan manusia menjadikan sang monster memahami bagaimana dunia ini bekerja. Yang kuat melawan yang lemah dan tidak ada sesuatu yang absolut, di mana kematian adalah satu hal yang tidak terelakkan. Satu hal yang ia impikan untuk bisa melepas semua penderitaannya. Momen klimaks bersama sang kreator justru membuatnya memahami bahwa terdapat sesuatu yang lebih bernilai dari kehidupan dan kematian. Sebuah sentuhan manusiawi dan wisdom yang tidak kita dapatkan dalam sumber aslinya.
Di luar kelaziman garapan Del Toro, nuansa teatrikal kini terasa kuat dalam Frankenstein. Penonton bak melihat satu opera panjang dengan set dan properti yang mengesankan. Para pemain seniornya tampil meyakinkan, yakni Isaac, Waltz, Dance (sang ayah), Bradley (orang tua buta), hingga Mikkelsen (sang kapten. Namun, dua bintang mencuri perhatian yakni Jacob Elordi dan Mia Goth. Goth tampil berkelas memerankan sosok Elizabeth dengan pesona dan paras klasiknya. Sementara Elordi mampu memberikan empati dan karisma bagi sosok sang monster, khususnya di segmen kedua.
Setelah Pinocchio, sang sineas kembali mengulang konsep dan formula senada dalam Frankenstein melalui adaptasi lepas dengan kedalaman kisah serta stempel visualnya yang unik. Del Toro adalah salah satu sineas yang paling konsisten menjaga tradisi estetiknya, sejak karya pertamanya. Film ini merefleksikan kedewasaannya sebagai seorang pembuat film dalam memandang kehidupan. Frankenstein bisa jadi film yang membosankan bagi sebagian, tetapi jika melihat dari perspektif perjalanan sang sineas, ini adalah salah satu karya terbaiknya.








Katanya Guilermo juga tertarik membuat Phantom of The Opera. Jadi penasaran bagaimana jika dia mengadaptasi semua kisah horror klasik seperti Hyde and Jekkyl, Invisible man dan lain-lain.