Godzilla x Kong: The New Empire

Godzilla x Kong: The New Empire merupakan sekuel dari Godzilla vs. Kong (2021) yang merupakan film kelima dari MonsterVerse sejak Godzilla (2014). New Empire masih digarap sineas seri sebelumnya, yakni Adam Wingard dengan bermodal USD 130 juta. Film ini masih mengkasting para pemain sebelumnya, yakni Rebecca Hall, Brian Tyree Henry, Kaylee Hottle, serta pendatang baru Dan Stevens. Akankah film ini mampu menjawab ekspektasi para fans dan sukses komersial seperti sebelumnya?

Kong yang kini tinggal di Hollow Earth mencoba mengeksplor wilayah baru ketika satu rekahan bumi membuka jalan ke dunia baru. Rupanya ini membawa Kong bertemu dengan sesama spesiesnya yang berada di bawah kendali seekor kera raksasa brutal dan monster peliharaannya. Sementara di permukaan, Monarch mendapat sinyal misterius yang berasal dari Hollow Earth. Satu tim kecil diberangkatkan, yakni Dr. Ilene (Hall), Bernie (Bryan), Jia (Hottle), serta Trapper (Stevens), dan di sana mereka pun menemukan sebuah peradaban kuno yang punya relasi dengan Jia. Sementara pula di permukaan, Godzilla masih memainkan perannya sebagai penjaga dunia manusia dari para Titan yang mangacau. Tidak hingga, dunia di bawah sana meminta bantuannya untuk menyelamatkan dunia dari kehancuran.

Dalam ulasan Godzilla vs Kong (2021), saya memberikan satu kesimpulan, “Seperti yang dijanjikan judulnya, film ini semata menyajikan aksi besar dengan gemerlap efek visual melalui konsep naskah yang sudah melenceng jauh dari seri pertamanya, tanpa sedikit pun human value di dalamnya.” Kini The New Empire, tidak memberikan suatu formula yang berbeda dengan masih menekankan pada sosok monsternya ketimbang sisi humanis seperti yang diperlihatkan dalam Godzilla (2014). Ibarat, plot kisahnya kini adalah para “preman” yang berebut wilayah.

Baca Juga  Flamin' Hot

Tidak ada yang peduli dengan Colloseum di Roma, Piramid Giza, hingga seluruh Kota Rio de Jeneiro yang diluluhlantakkan begitu saja. Mengapa pula kita harus peduli? Satu tokoh protagonisnya pun, tidak bisa ada yang kita pedulikan. Bahkan selipan komedi pun sama hambarnya dengan plotnya. Kita semua tahu, ini adalah panggung besar bagi para Titan untuk beraksi, dan kehancuran adalah konsekuensinya. Tapi setidaknya beri satu saja alasan kecil, mengapa dunia ini (manusia) layak untuk diselamatkan atau sebaliknya? Godzilla (2014) mampu menjawab ini dengan cara dan gaya yang berkelas.

Sesuai ekspektasi, Godzilla x Kong: The New Empire adalah hal yang memuaskan bagi fansnya, namun melelahkan bagi (penonton) lainnya. Jika kamu sekadar ingin melihat gebuk-gebukan antara satu titan dengan titan lainnya, kamu bakal mendapatkannya. Walau bicara efek visual (CGI), film ini nyaris selevel dengan Antman and the Wasp: Quantumania yang tidak mampu memberikan nuansa dunia yang natural melainkan rekayasa digital. Lalu bagaimana ke depannya jika film ini sukses komersial? Apa ada lagi musuh kuat di balik lapisan bumi di bawahnya, ataukah monster raksasa dari planet lain? Ini tentu mudah. Bahkan jika mau, masukkan konsep multiverse dan jagoan protagonis macam Transformers hingga robot-robot dalam Pacific Rim bisa ikut bertarung dengan para Titan (baca: Kaiju) jahat yang ingin menghancurkan bumi. Oh my. Rekan saya mungkin benar, bisa jadi saya sudah terlalu tua untuk film ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaRoad House
Artikel BerikutnyaKeluar Main 1994
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.