in the lost lands

In the Lost Lands adalah film sci-fi fantasi arahan Paul W.S. Anderson yang kita kenal dengan seri Resident Evil.  Seperti biasa, filmnya kembali menampilkan sang bintang yang juga istrinya, Milla Jovovich, didukung aktor laga kenamaan, Dave Bautista. Satu hal yang mengejutkan adalah bujet filmnya yang tercatat USD 55 juta. Rupanya sang sineas yang juga bertindak sebagai produser, belum kapok dengan kegagalan box-office Monster Hunter (2020) yang flop luar biasa. Akankan kali ini dengan membawa Bautista mampu mengangkat filmnya?

Di sebuah masa depan distopia, bumi telah hancur dan porak porando berganti menjadi negeri tandus yang kelam. Seorang penyihir bernama Gray Alys (Jovovich) yang diburu otoritas kerajaan, menyewa pemburu bayaran tangguh, Boyce (Bautista) untuk menempuh perjalanan berat mencari artifak tak ternilai sebelum bulan purnama yang konon bisa membuat seseorang memiliki kekuatan tanpa batas. Gray dan Boyce menghadapi rintangan berat sepanjang perjalanan, sementara di belakangnya pasukan kerajaan terus memburu mereka tanpa henti.

Jujur saja, melihat trailer-nya, film ini sudah tidak memiliki daya tarik dan ekspektasi yang rendah. Faktor sang sineas dan bujet yang besar, membuat saya sedikit tertarik, toh film-film sang sineas memang level menengah (medioker), namun setidaknya beberapa aksinya menghibur, catat saja seri Resident Evil, Death Race, hingga Monster Hunter. Ekspektasi yang rendah ternyata sesuai tidak sesuai kenyataan. In the Lost Lands di luar dugaan, sangat jauh di bawah ekspektasi.

Tak ada satu aspek pun yang menarik dalam film ini. Kisahnya tak jelas dan ancaman pun tidak bisa kita rasakan kuat. Semua serba rahasia dan dimaksudkan sebagai sebuah kejutan di akhir. Apakah twist-nya lantas menyengat? Sama sekali tidak. Belum ada setengah jam, dari bangku seberang sudah terdengar suara orang mendengkur keras. Saya pun sempat terlelap dalam beberapa momen karena memang tidak ada sesuatu yang menarik untuk diikuti. Di luar kisahnya yang membosankan, satu faktor besar adalah tone warna yang tak nyaman di mata, serta efek visual yang ala kadarnya. Bujet sebesar USD 55 juta sama sekali tidak terlihat dalam filmnya.

Baca Juga  Keluar Main 1994

Seperti titelnya, In the Lost Lands, sejauh ini adalah karya terburuk sang sineas yang mampu menyihir penonton hingga tertidur. Dengan segala pengalaman sang sineas memproduksi lusinan film-film aksi, hanya ini yang mampu ditawarkan? Apa yang dipikirkan Jovovich dan Bautista hingga mau bermain dalam film buruk seperti ini? Tentu saja uang, tapi setidaknya, tolong baca naskahnya dengan seksama. Film ini jelas-jelas bakal flop melebihi Monster Hunter. Jangan buang waktu dan uangmu untuk menonton film ini. Bagi yang punya masalah sulit tidur, In the Lost Lands adalah solusi yang efektif bagi Anda. Silahkan mencobanya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Artikel SebelumnyaNovocaine | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.