Jarang-jarang, genre sci-fi menawarkan kisah yang segar sekaligus menghibur semacam ini. It’s What’s Inside adalah film sci-fi thriller rilisan Netflix terbaru yang digarap dan ditulis naskahnya oleh Greg jardin. Film ini dibintangi beberapa nama muda, antara lain Brittany O’Grady, James Morosini, Gavin Leatherwood, Nina Bloomgarden, Alycia Debnam-Carey, Reina Hardesty, Devon Terrell, David W. Thompson, serta Madison Davenport. So, inovasi sci-fi apa yang ada dalam kisahnya?

Pasangan muda Shelby (O’Grady) dan Cyrus (Morosini) berkumpul dalam pesta pranikah rekan mereka, Reuben (Terrel) yang akan menikah, bersama beberapa sahabat mereka, Dennis (Gavin), Maya (Nina), Nikky (Carey), serta Brooke (Hardestry). Siapa sangka, Forbes (Thompson) rekan lama mereka yang punya masalah di masa lalu turut datang. Forbes membawa sebuah koper misterius yang rupanya berisi sebuah alat yang mampu memindah pikiran dan tubuh. Semuanya terusik dan permainan pun dimulai. Jiwa dan pikiran mereka pindah ke tubuh rekan mereka yang lain secara acak. Mereka pun harus menebak siapa yang ada di balik tubuh masing-masing.

Dari ringkasan plot di atas, telah tampak premisnya yang amat menarik. Kesampingkan logika akal sehat karena tentu mustahil sebuah alat atau teknologi mampu memindah tubuh dan pikiran dengan begitu mudahnya. Film sci-fi berkelas macam Inception garapan Nolan pun harus menjelaskan begitu rupa dengan rumit dan kompleks agar terlihat make sense. It’s What’s Inside memang bukan kisah sci-fi yang mengarah ke sana, melainkan sebuah gagasan tentang hidup menjadi orang lain. Sebuah topik hangat sejalan dengan perkembangan medsos yang makin menggila dan memberi efek yang luar biasa bagi mental generasi muda.

Bayangkan jika pikiran kita berada di dalam tubuh rekan kita yang lebih populer, atau secara fisik lebih cantik atau tampan, atau lebih kaya? Bukankah ini amat menggelitik? Ini yang terjadi dalam kisahnya. Plotnya menjadi observasi kecil dan studi manusia yang melihat respon psikologis seseorang dalam tubuh yang berbeda. Rasa penasaran pun makin menjadi ketika permainan ini diulang hingga ronde berikut. Sisi ketegangan meningkat ketika satu peristiwa tragis terjadi dan ditutup denggan satu kejutan besar. Rasanya, twist-nya tak sulit untuk diantisipasi karena plot macam ini mustahil berakhir “normal”. Sepanjang durasi, plotnya mampu memberikan sensasi menonton yang unik hingga akhir.

Baca Juga  Defending Jacob

Satu hal yang mencuri perhatian adalah kemasan estetiknya. Sejak awal teknik editing cepat digunakan senada dengan teknik dan gaya aplikasi medsos yang begitu rancak dan dinamis. Ilustrasi musik pun beberapa kali menggunakan nomor klasik yang diaransemen dengan nuansa kekinian. Perpindahan adegan ke adegan pun disusun begitu lincah hingga kadang kita pun melewatkan siapa ada di tubuh siapa. Rupanya ini bukan menjadi pokok masalah bagi plotnya karena resolusi telah cukup memberikan penjelasan yang gamblang. Overall, kemasan estetiknya sejiwa dengan topik dan pesannya tentang generasi kekinian yang serba glamor dan insecure.

It’s What’s Inside menampilkan premis sci-fi segar dan menggelitik dengan penampilan mengesankan para kasting mudanya, serta mengusung isu kekinian. Film ini adalah sebuah capaian cukup langka di luar premisnya yang terasa absurd. Bagi orang generasi lama, seperti saya, kehidupan kini memang terasa absurd dan makin tak terkontrol dengan teknologi yang tiap saat berkembang demikian pesat. Film ini merefleksikan semua yang kini terjadi melalui narasi dan pesannya. “Hiduplah menjadi diri sendiri dan menghargai apa yang kamu miliki”. Rasanya, frase ini sulit dipahami generasi masa sekarang.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Platform 2
Artikel BerikutnyaCanary Black
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.