Kraven The Hunter adalah upaya terbaru (dan terakhir?) dari Sony’s Spider-Man Universe (SSU) setelah belum lama merilis seri final Venom. Film ini terhitung sebagai film keenam dari SSU. Film ini diarahkan oleh J.C. Chandor dengan dibintangi oleh Aaron Taylor-Johnson, Ariana DeBose, Fred Hechinger, Alessandro Nivola, Christopher Abbott, hingga aktor kawakan Russell Crowe. Akankah film ini bernasib sama dengan film-film SSU sebelumnya?

Sejak kecil dua bersaudara Sergei dan Dmitri hidup di bawah didikan keras sang ayah Nikolai Kravinoff (Crowe) yang merupakan gangster kriminal asal Rusia yang ditakuti. Ketika mereka diajak ayahnya berburu ke Afrika, Sergei disergap oleh Singa dan terluka parah. Namun, nyawanya tertolong dan setelah kejadian ini justru Sergei memiliki kemampuan unik, yakni kekuatan fisik, pendengaran, penglihatan di atas rata-rata manusia. Sergei kabur dari rumah sang ayah dan menjadi seorang pemburu (kriminal kelas kakap) yang dikenal dengan julukan Kraven the Hunter (Johnson).

Filmnya yang ditunda rilisnya beberapa kali sejak awal tahun 2023 telah memberi gelagat adanya sesuatu yang tidak beres. Bahkan beberapa hari sebelum rilis resminya, clip opening sepanjang 8 menit dirilis di beragam platform. Ini tentu sudah menggambarkan rasa tidak percaya diri dari studio pembuatnya. Setelah menonton, rupanya semua gelagat buruk, tidak ada yang keliru. Kraven The Hunter adalah murni sebuah cerita yang sukses sebagai pengantar tidur.

Setelah opening 8 menit yang mengesankan, kisahnya menyajikan segmen kilas-balik yang bertempo relatif lambat dan tidak menarik. Plotnya pun sering kali terasa melompat dan bergerak tanpa alasan yang jelas. Penikmat film sejati rasanya juga tak sulit untuk memprediksi arah plotnya. Ini semua yang membuat kita seakan sulit untuk masuk ke dalam karakter-karakternya. Sulit pula untuk berpegang pada satu “moral value” karena nyaris semua karakternya adalah pembunuh.

Baca Juga  Army of Thieves

Melalui satu perspektif kecil di segmen awal, sosok Kraven terlihat bakal menyentuh ketika kelompok hewan/binatang seolah memiliki sosok pelindung kuat (mirip sosok Tarzan) yang kini bisa diandalkan. Rupanya karakter dan plotnya tidak mengarah ke sini dan aksinya sama seperti sosok super lainnya di ranah genrenya. Bedanya, Kraven melalui naluri binatangnya, tidak memiliki sisi humanis kuat dan selalu beraksi di luar batasan moral. Seperti Venom dan Morbius, Kraven adalah sosok antihero yang tidak patut diteladani.

Dengan segala upaya maksimal, Kraven The Hunter memiliki kualitas senada dengan film-film Sony’s Spider Universe sebelumnya: medioker. Selain aksi-aksinya, tidak banyak hal yang berkesan dalam kisahnya. Tak ada potensi dan urgensi sama sekali kisahnya bakal berlanjut. Sony mestinya sejak dulu menyadari bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk membuat naskah yang baik untuk karakter-karakter uniknya ini (Spider-Man villains). Marvel Cinematic Universe (MCU) pun kini mulai kedodoran. Situasi memang serba sulit, sampai kapan pun rasanya mustahil Sony bakal melepas Spider-Man plus puluhan villain-nya ke MCU.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaAll We Imagine as Light
Artikel BerikutnyaHutang Nyawa
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.