Film yang memberikan simbol semangat untuk membangun Indonesia menjadi negara yang lebih baik lagi dengan memperbaiki moral masyarakat memang sudah jarang kita temui. Film Mengejar Embun ke Eropa garapan sutradara Haryo Sentanu Murti ini mencoba untuk memberikan sesuatu yang berbeda melalui pendekatan budaya di bidang pendidikan di lingkungan kampus. Mengambil lokasi di Kendari dan Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, film ini menyajikan sebuah cerita yang kental dengan budaya daerah tersebut.
Bermula dari seorang anak bernama Puro (Rizky Hanggono) bersama anak-anak lainnya yang tinggal di Pulau Muna mengawali harinya dengan berlarian di antara tanaman singkong untuk “mandi” dengan mendapatkan embun pagi dari dedaunan. Kegiatan itu terus dilakukan hingga Puro dan anak-anak lainnya dewasa. Puro pada suatu ketika menghadiri acara adat bertemu dengan seorang gadis bernama Ani (Putri Ayudya). Benih-benih cinta muncul yang akhirnya membawa mereka menjadi sebuah keluarga bahagia dengan dikaruniai 3 orang anak. Puro berkerja di Universitas Delapan Penjuru Angin (UDPA) di Kendari dimana ia melihat adanya kesalahan dalam sistem pada kampusnya. Semangat Puro untuk memperbaiki kelemahan sitem tersebut tidak pernah surut walaupun harus menghadapi cobaan-cobaan berat. Bahkan dengan semangatnya ia bisa menimba ilmu ke Eropa yang kelak ia terapkan di tanah kelahirannya.
Cerita film ini berjalan dengan amat cepat dan cenderung datar. Setiap momen yang disajikan berganti dengan cepat sehingga berkesan memaksa untuk penceritaannya. Ketika Puro dicopot jabatannya sebagai Kepala Jurusan Sosial Ekonomi dengan cepat waktu berganti menggambarkan bahwa ia sudah di Eropa tanpa ada latar belakang yang jelas bagaimana prosesnya ia bisa sampai disana serta bagaimana secara mental ia menghadapi cobaan tersebut. Setiap momen dalam filmnya terlihat memaksa untuk menggambarkan sosok Puro yang selalu semangat dan pantang menyerah serta nyaris tak ada momen yang menunjukan sebaliknya. Semuanya dibangun seolah untuk memberikan motivasi kepada penonton bahwa jangan pernah menyerah dan patah semangat dengan cobaan yang kita alami. Sedikit kegalauan batin pada tokoh ini sebenarnya bisa memberikan warna serta sentuhan cerita yang lebih manusiawi.
Dari sisi visual, film ini juga kurang mengeskplor segala potensi keindahan wilayah Kendari dan Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Demikian pula beberapa lokasi di Eropa seperti Roma, Pompei, Vatikan, Leiden disajikan kurang menarik. Pengambilan gambar yang tanggung dan pergerakan kamera yang kasar membuat komposisi gambarnya kurang enak untuk dinikmati. Walaupun dalam beberapa adegan sajian beberapa tarian dan musik tradisional lokal mampu memberikan nilai tambah. Hampir keseluruhan ilustrasi musik pun menggunakan sentuhan alunan musik lokal. Acara adat dengan tarian tradisional juga disisipi dalam beberapa momen walau secara visual disajikan kurang menarik.
Mengejar Embun ke Eropa memiliki pesan-pesan yang secara gamblang diucapkan Puro pada setiap momen yang ia lewati. Pesan-pesan tersebut mengajarkan kita untuk tidak pantang menyerah, selalu semangat, serta bertanggung jawab dengan cara kita masing-masing untuk memperbaiki moral bangsa ini. “Ketika kita menanam pohon, lalu ada orang lain yang mencabutnya, kita tanam lagi pohon yang baru! Jika masih ada yang mencabut pohon tersebut, kita tanam lagi 2 pohon yang baru! Cabut 2 pohon tersebut, kita tanam 100 pohon baru, bahkan kita tanam 1000 pohon baru! Jangan pernah menyerah!”, ucap Puro dengan lantang. Setidaknya film ini dapat menjadi motivasi bagi film-film produksi kita lainnya untuk memasukan unsur budaya lokal untuk membangun negeri ini. Pesan sekuat apapun semestinya bisa tersaji dengan baik secara cerita maupun visual, sisi ini yang sepertinya masih menjadi kelemahan film-film kita.
WATCH TRAILER