monster

Monster adalah film remake produksi lokal yang digarap oleh Rako Prijanto. Kisahnya diadaptasi dari film horor-thriller produksi AS, The Boy behind the Door yang diarahkan oleh David Charbonier and Justin Powell. Monster dibintangi oleh Marsha Timothy, Alex Abbad, serta dua bintang cilik, Anantya Kirana, serta Sulthan Hamonangan. Lantas bagaimana pencapaian versi remake Indonesianya ini, apakah mampu memberikan sisi ketegangan yang sama dengan film aslinya?

Ringkas kisahnya, dua bocah SD, Alana (Kirana) dan Rabin (Hamonangan) diculik oleh seorang pria tak dikenal (Abbad) yang membawa mereka ke daerah perbukitan terisolir. Rabin pun dibawa masuk ke rumah sementara Alana ditinggal dalam bagasi mobil. Alana dengan susah payah akhirnya berhasil keluar dari sana, dan selepasnya, ia pun menyelinap ke dalam rumah dengan maksud membebaskan Rabin. Namun, niat Alana tidak semudah yang ia bayangkan.

Saya tidak tahu secara pasti, apakah ini untuk pertama kalinya film Indonesia me-remake film horor barat? Beberapa film produksi Korea memang pernah kita remake sebelumnya. Bagi yang sudah menonton film aslinya, alur plot Monster terhitung loyal dengan sumbernya. Tercatat hanya beberapa momen memang berbeda, seperti di bagian awal dan ending. The Boy behind the Door adalah sebuah film thriller minim dialog dengan sisi ketegangan maksimal yang didominasi permainan “petak umpet” antara si penculik dan sang bocah. Monster pun sama dan rasanya film ini bakal bekerja maksimal bagi penonton yang belum melihat film aslinya. Untuk film horor Indonesia, Monster terhitung inovatif dengan segala pencapaiannya, namun jika disandingkan head to head, jelas film aslinya lebih superior.

Angka-anak yang hilang di AS memang menduduki peringkat puncak di dunia, di mana ada sekitar 460.000 anak hilang tiap tahunnya menurut catatan FBI (https://globalmissingkids.org/awareness/missing-children-statistics/). Isu ini menjadi salah satu masalah besar di sana, namun di Indonesia angkanya sangat jauh sekali dibandingkan di AS. Saya tidak mengatakan kisah Monster tidak mungkin terjadi di sini, namun urgensinya jelas berbeda. Dalam Monster juga mengesankan adanya penjualan organ tubuh (film aslinya tidak), namun tidak jelas organ mana yang diambil. Dalam adegannya hanya terlihat jasad seorang bocah dipotong-potong tubuhnya dan dimasukkan dalam box, lalu diserahkan begitu saja ke seorang penadah. Motif penculikan di sini menjadi terlihat sedikit memaksa.

Dalam beberapa adegan juga terlihat banyak hal mengganjal. Dalam film aslinya, kita pun sering dibuat gemas dengan polah sang bocah yang kadang terlalu ceroboh dan tidak berpikir panjang. Namanya juga bocah, tentu ini masih wajar. Apa yang dilakukan Alana pun tak jauh berbeda dan juga masih terhitung wajar. Namun, satu catatan, seberapa banyak anak sekarang yang tahu cara menggunakan telepon rumah jadul? Dalam film aslinya, si bocah pun mengaku pada rekannya ia tidak tahu cara pakainya. Ketika sang perempuan menghilang di tangga (setelah terjatuh dan pingsan), kita berpikir Alana dan Rabin bakal mendapat kejutan besar ketika sosok ini muncul kembali, namun apa yang terjadi selanjutnya, jauh di bawah ekspektasi. Di AS sana, rasanya wajar jika seorang polisi yang datang (kita melihat ini dalam banyak film), namun jika di Indonesia rasanya agak janggal, terlebih di daerah terisolir seperti itu.

Baca Juga  Canary Black

Dari sisi teknis pengadeganannya sama sekali tidak terlihat buruk. Petak umpet antara sang bocah dan penculik disajikannya nyaris sama intensnya dengan film aslinya. Lokasi rumah terisolir pun mirip film aslinya dan tak terlihat rumah tetangga di sekitarnya yang ini dapat membunuh kisah filmnya. Satu hal yang terlihat agak janggal adalah interiornya yang terlihat sekali sangat tertata rapi dengan lampu-lampu meja dan dinding yang menyala. Yah, untuk kebaikan tata artistiknya saya bisa memaklumi ini. Namun yang tak bisa saya maklumi adalah aspek musik. Entah mengapa musiknya dengan suara “kresek/noise” yang amat mengganggu, terasa lepas dan tidak mendukung adegannya. Saya bahkan sempat berpikir ini suara speaker yang rusak. Lantas soal minimnya penggunaan dialog, ada banyak momen yang terlihat dipaksakan diam. Ini jelas bukan kasus gaya penyutradaraan. Film aslinya pun terlihat natural yang cerita memang menuntut demikian dan tidak lantas semua harus serba diam (silent).

Monster merupakan sebuah remake horor langka (bagi film Indonesia) yang loyal dengan sumbernya sekalipun beberapa hal terasa mengganjal dalam eksekusinya. Semua kastingnya, khususnya Anantya Kirana bermain mengesankan sebagai Alana. Tidak mudah bermain konsisten dalam situasi tertekan seperti ini sepanjang filmnya. Walau kisahnya tidak orisinal, namun terhitung segar untuk film horor lokal yang kini didominasi beragam setan dan arwah penasaran. Titel filmnya yang berbeda dengan aslinya juga sedikit menjadi pertanyaan, Monster, apakah ini yang dimaksudkan sang penculik, sang perempuan, atau Alana? Untuk satu upaya remake, ini jelas bukan usaha yang buruk, sekalipun hasilnya belum maksimal.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Last Stop in Yuma County
Artikel BerikutnyaFuriosa: A Mad Max Saga
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.