Seri sekawanan pesulap tersohor Now You See Me, kini merilis seri ketiganya, Now You See Me: Now You Don’t. Film ini digarap sineas, Ruben Fleischer, dengan sederetan bintang-bintang regulernya, Jesse Eisenberg, Woody Harrelson, Dave Franco, Isla Fisher, Lizzy Caplan, dan Morgan Freeman. Kini bergabung bintang-bintang baru serinya, antara lain Justice Smith, Dominic Sessa, Ariana Greenblatt, dan Rosamund Pike. Akankah seri keduanya ini bakal melampaui sukses komersial film-film sebelumnya yang nyaris mencapai total USD 700 juta secara global?
Setelah sekian lama The Four Horsemen tak muncul, tiga orang pesulap muda, Charlie (Smith), Bosco (Sessa), dan June (Greenblatt), memalsukan pertunjukan mereka untuk menipu seorang pengusaha kripto yang licik. Setelah aksi tersebut, Daniel Atlas (Eisenberg) muncul dan mengajak mereka untuk melakukan aksi pencurian berlian terbesar di dunia milik Veronika Vandeeberg (Pike). Dalam aksi tersebut, rupanya mereka dibantu member Four Horsemen lainnya, yakni Merrit (Harrelson), Jack (Franco), dan Henlei (Fischer). Petualangan seru kembali dimulai.
Bagi yang telah akrab dengan Now You See Me, seri ini tak ubahnya seri aksi pencurian populer, Ocean. Seri ini juga terfokus bukan pada kisahnya, tetapi aksi penampilan sederet bintang besarnya. Now You See Me: Now You Don’t masih menggunakan formula yang sama. Poin kisahnya kembali merencanakan aksi pencurian besar, yang kini dilakukan kombinasi tim senior dan junior. Secara umum, tone kisahnya sederhana dan ringan, tanpa ada ancaman (antagonis) yang berarti. Hal ini yang membuat kita tidak terlalu peduli dengan kisahnya melainkan menanti aksi dan polah para karakternya. Dalam satu momen, mereka terperangkap dalam satu kubus kaca yang diisi oleh pasir. Adegan ini sama sekali tidak memiliki ketegangan berarti yang mampu membuat kita gelisah atau duduk tak nyaman.
Now You See Me: Now You Don’t bisa jadi masih menarik perhatian bagi fans serinya, tetapi kehilangan sisi magis yang menjadikan seri ini dulu begitu menghibur. Poin besar film ini sesungguhnya hanyalah memperkenalkan para pesulap muda yang kemungkinan bakal menggantikan seniornya. Medium film melalui sentuhan teknisnya, seperti editing, akting, hingga CGI, sejatinya adalah manipulasi visual sesuai tuntutan kisahnya. Sementara teknik sulap butuh sensasi “realisme” untuk mencapai keberhasilan serta meyakinkan penonton. Keduanya adalah sesuatu yang kontras. Ranah sulap menurut hemat saya, bukan konsep ideal bagi medium film. Ini adalah catatan kecil yang sudah saya rasakan sejak seri pertama. Sekuel? Tak butuh sentuhan magis agar seri keempat diproduksi, asalkan seri ketiganya ini sukses komersial.







