Garin Nugroho merupakan pelaku perfilman yang gemar bereksplorasi. Ia tak hanya puas mengeksplorasi budaya nusantara dan memasukkannya dalam karya filmnya. Melainkan juga, mencoba mengolaborasikannya dengan media seni lainnya seperti seni musik dan seni teater sehingga menghasilkan karya film yang sinematik dan memberikan pengalaman yang lebih. Setan Jawa (2016) adalah bukti dari pengembaraan sinematiknya tersebut, disusul dengan Samsara.
Film Samsara rilis reguler di bioskop mulai Kamis (20/11). Penulis sendiri beruntung menontonnya pada saat JAFF 2024 berlangsung, dalam bentuk pertunjukan musik live yang diberi tajuk Garin sebagai cine-concert. Film ini sendiri tayang perdana di Esplanade Singapura pada 10 Mei 2024.
Mengapa perlu pertunjukan musik secara langsung? Oleh karena film tersebut seperti halnya film Setan Jawa sebenarnya adalah film hitam putih dengan format bisu.
Cerita Samsara yang berlatar tahun 1930-an, berfokus pada seorang pria sederhana bernama Darta (Ario Bayu) yang ingin menikah dengan gadis pujaannya, Sinta (Juliet Widyasari Burnett) yang berasal dari keluarga bangsawan kaya raya.
Perbedaan strata sosial membuat lamarannya ditolak. Darta yang sangat marah kemudian memilih jalan pintas dengan melakukan ritual gelap demi kekayaan. Ia melakukan ritual semacam pesugihan dengan Raja Monyet (Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra)
Awalnya semuanya berlangsung seperti harapannya. Hingga semua proses yang dilalui Darta tersebut malah membuat orang-orang yang dicintainya menderita.
Samsara dan Extended Cinema
Samsara merujuk pada siklus kehidupan yang tak berujung, pengembaraan, penderitaan, dan karma. Dalam film Samsara, konsep ini lekat akibat dari proses ritual gelap yang dilakukan oleh Darta.
Pada saat pemutaran di Gedung Inovasi dan Kreativitas UGM tahun lalu, penonton memadati setiap area pertunjukan. Tak sedikit di antara mereka yang merupakan penonton dari mancanegara.
Suara musik dari gamelan dan seruling berpadu harmonis dengan electronic dance music (EDM) dari seorang DJ sekaligus penata musik Samsara, Wayan Sudirasana. Trio sinden, Thaly Kasih, Dina Rizkianti, dan Gusti. bernyanyi dengan merdu dan penuh penjiwaan sehingga memperkokoh suasana yang dramatis dan makin menghidupkan cerita. Ada kalanya Wayan menirukan suara monyet dan Gusti menampilkan suara Raja Monyet yang berwibawa sekaligus mengerikan.
Perhatian penonton bergantian ke layar dan ke penampilan para seniman musik tersebut. Permainan lampu juga berkontribusi mendramatisasi adegan.
Selama 80 menit, penonton terhipnotis oleh pertunjukan tersebut. Rasanya pertunjukan ini begitu magis berkat cerita film yang menarik dan aksi panggung live yang dramatis. Ketika film berakhir dan layar mengeluarkan daftar para pemain dan kru film, para penonton pun memberikan aplaus meriah.
Penonton bioskop yang tidak merasai pertunjukan live, tidak perlu kuatir hanya menyaksikan film dengan format hitam putih dan bisu. Sebenarnya menyaksikan film monokrom dan bisu akan memberikan pengalaman unik tersendiri. Ini sama halnya dengan suatu kondisi dimana satu unsur indera tak ada maka akan menajamkan unsur indera lainnya, dalam hal ini adalah visual.
Namun, sepertinya Garin masih kuatir karena pada saat ini film bisu tak umum bagi penonton awam. Oleh karena itu, ia menambahkan audio Dolby Atmos dari rekaman penampilan para musisi untuk format bioskop. Tujuannya, agar penonton awam dapat merasakan atmosfer dan kedalaman cerita.
Gambar-gambar yang direkam dan ditunjukkan oleh Batara Goempar di sini berhasil menunjukkan emosi dan bangunan dunia Samsara. Hal ini juga berkat akting para pemain yang prima. Ketika kamera menyorot mata Sinta secara perlahan-lahan, penonton akan bertanya-tanya dan mencari tahu apa yang sebenarnya dirasakan Sinta.
Begitu juga ketika kamera menampilkan Raja Monyet dan pasukannya yang mengerikan. Seperti magis, penonton akan terpikat dan seperti terhipnotis mengikuti tarian para pasukan Raja Monyet tersebut. Ekspres menakutkan para siluman tampil kontras dengan wajah-wajah ketakutan rakyat biasa yang bekerja dan tinggal di sekitaran rumah Darta.
Kemiripan Tema dengan Setan Jawa
Dari segi cerita, film yang mendapatkan empat piala Citra pada FFI 2024 (kategori sutradara, penata musik, penata busana, dan pengarah sinematografi) ini memiliki kemiripan tema dengan Setan Jawa. Penulis juga telah menyaksikan Setan Jawa dalam bentuk cine-concert plus aksi teatrikal meski hanya dalam bentuk rekaman video yang diputar hanya dalam waktu tertentu di YouTube.
Samsara dan Setan Jawa sama-sama tentang mistis pesugihan yang ditampilkan secara mixed media art. Bedanya, Setan Jawa tentang pesugihan kandang bubrah. Sedangkan Samsara merupakan pesugihan dengan melibatkan Raja Monyet.
Konflik ceritanya juga mirip meski beda waktu dan tempat. Setan Jawa seperti judulnya berlatar di Jawa pada tahun 1900-an. Sementara Samsara terjadi di Bali tahun 1930-an. Namun, konflik ceritanya sama, ritual gelap tersebut terjadi karena hubungan antara pria dan wanita tersebut tak direstui sampai di pelaminan karena beda strata sosial. Lamaran ditolak, pesugihan bertindak.
Garin juga menggunakan live music untuk memperkaya pengalaman menonton Setan Jawa. Ia juga menambahkan aksi teatrikal, tari, dan narasi oleh dalang yang di sini dimainkan oleh Gunawan Maryanto (alm). Dalam Samsara, ia hanya menambahkan elemen musik live, mungkin Garin kuatir penonton sulit membagi fokus jika terlalu banyak elemen media.
Yang terakhir, Garin juga menggunakan pembabakan dengan narasi di tiap awal babak sehingga penonton bisa memahami cerita meski tanpa dialog. Konsep seperti ini sering digunakan di film-film bisu awal abad ke-20 dan berhasil.
Meski selintas ada kemiripan tema antara Samsara dan Setan Jawa, tetapi Samsara tetap memiliki daya tarik tersendiri. Film ini memberikan pengalaman sinematik yang unik baik secara format bioskop maupun format cine-concert.





