Smile 2 adalah film horor supernatural yang juga merupakan sekuel Smile (2022), digarap dan ditulis sineas yang sama, Parker Finn. Hanya berselang 2 tahun, tak mengherankan jika sekuelnya diproduksi melihat sukses kritik dan komersial filmnya yang meraih USD 217 juta (bujet USD 17 juta) secara global. Film sekuelnya kini dibintangi oleh Naomi Scott, Rosemarie DeWitt, Lukas Gage, Miles Gutierrez-Riley, Peter Jacobson, Raúl Castillo, Dylan Gelula, Ray Nicholson, serta Kyle Gallner. Tanpa banyak ekspektasi, film sekuel lazimnya tak akan mampu mengimbangi kualitas film aslinya, apakah tradisi yang sama bakal terulang?
Seorang diva muda yang amat sukses, Skye Riley (Scott) memiliki masa lalu yang kelam dan traumatik akibat kedekatannya dengan obat terlarang. Semua itu dilalui dengan perjuangan keras dengan karirnya yang kini melangit, walau kondisi fisik tak lagi seperti dulu. Ketika ia mencoba mencari obat penghilang nyeri dari rekannya, mendadak Skye harus menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana rekannya membunuh dirinya sendiri dengan cara brutal. Sejak saat itulah sang diva mulai berhalusinasi dan melihat beberapa sosok yang menatapnya dengan senyuman tajam.
Satu catatan awal adalah plot sekuelnya ini tak akan mudah dipahami tanpa kita menonton film pertamanya. Plotnya bersinggungan dengan kutukan dari sebuah entitas jahat yang terus bergilir dengan merasuki seseorang yang berefek pada mental akibat halusinasi hebat. Akhirnya orang tersebut membunuh dirinya secara brutal dan sang entitas pun masuk ke dalam raga manusia yang melihatnya terakhir kali. Plot seri pertama mengisahkan proses ini dengan rinci hingga berujung ending yang mencengangkan.
Sementara plot sekuelnya kini adalah murni gangguan psikologis yang dialami sang diva dari momen ke momen tanpa jeda setelah kutukan terjadi. Antara realitas dan imajinasi nyaris mustahil untuk dibedakan. Jauh lebih absurd dari sebelumnya, di mana kita seolah sungguh-sungguh masuk dalam alam pikiran sang protagonis. Singkatnya, segala rasa sakit, frustasi, ketakutan, hingga trauma sang tokoh bisa kita rasakan sepenuhnya, sedikit banyak mengingatkan pada Midsommar. Penampilan begitu mengesankan dari Naomi Scott sebagai sang diva yang terganggu mentalnya jelas adalah kekuatan terbesar. Bagi saya, rasanya ini adalah penampilan akting terbaik dalam genre horor-populer. Uniknya pula, pencapaian estetiknya nyaris sama kuatnya, bahkan kalau boleh dibilang mendekati art movie.
Gelagat keunikannya sudah terlihat melalui opening scene-nya yang hanya menggunakan satu shot melalui teknik long take. Satu rangkaian adegan panjang mengesankan ini disajikan melalui follow shot mengikuti satu tokohnya dengan begitu intens hingga diakhiri sebuah aksi yang mengejutkan. Sisi sinematografi memang digarap apik sepanjang film dengan penggunaan jump scare rutin, namun terlihat segar tanpa banyak memotong shot-nya. Dalam beberapa adegan, kamera bahkan diputar terbalik untuk menggambarkan dunia halusinasi dalam perspektif Skye. Satu lagi yang berbeda dari film pertamanya adalah score mengintimidasi yang makin menambah kengerian filmnya. Poin pendekatan estetiknya adalah membuat penonton merasa tak jenak, persis seperti apa yang dirasakan sang karakter.
Smile 2 adalah pencapaian langka sebuah sekuel dengan memanfaatkan premis secara brilian untuk menyampaikan subteks dan pesannya, didukung kemasan estetik serta penampilan memukau sang bintang. Pesan bisa jadi senada dengan film pertama, namun kehadiran sosok sang diva dengan segala popularitasnya membuat lebih terasa powerful. Ibarat saja, “Ketenaran dapat membunuh hidupmu dan orang-orang disekelilingmu”. Beberapa poin dialog mengarah ke sini dan satu hal yang tidak terbantahkan adalah ending-nya yang mengejutkan. Sekuelnya kelak, jika ada, tidak akan lagi berurusan dengan satu problem personal, namun adalah satu generasi yang amat relate dengan dunia kita tinggali sekarang. Tidak ada yang lebih baik dari ini. Smile 2, sejauh ini adalah film horor terbaik tahun ini dan talenta sang sineas sama sekali tidak bisa dianggap sebelah mata.