“..the final battle would not be fought in the future. It would be fought here, in our present. Tonight…”

Seri Terminator merupakan salah satu diantara seri film fiksi ilmiah terlaris yang pernah ada. Sejak The Terminator (1984), tiga sekuelnya telah dibuat yakni, Terminator 2: The Judgement Day (1991), lalu Terminator 3: The Rise of the Machine (2003) dan Terminator Salvation (2009). Sayangnya, James Cameron hanya menggarap sekuel kedua. Kualitas dua sekuel yang terakhir jauh dibawah dua film pertamanya. T2 bahkan dianggap sebagai salah satu film aksi terbaik yang hingga kini pun masih sulit dicari tandingannya.

The Terminator mengambil kisah sang robot pembunuh (Arnold Schwarzenegger) dari masa depan dikirim ke masa kini hanya untuk satu tujuan, yakni melenyapkan Sarah Connor (Linda Hamilton), ibu kandung dari pimpinan pejuang umat manusia kelak melawan Skynet (mesin). Sebagai pelindung dikirim Letnan Kyle Reese (Michael Biehn) yang tugasnya hanya satu yakni, menyelamatkan Sarah. Nyaris sepanjang film menggambarkan bagaimana Sarah dan Kyle berusaha lari dari kejaran Terminator. Di situasi serba sulit yang penuh dengan ketidakpastian, Sarah dan Kyle justru saling jatuh hati.

Sementara T2 mengambil kisah sebelas tahun setelah peristiwa film pertama. Sarah kini telah memiliki bocah berusia sepuluh tahun, John Connor (Edward Furlong), hasil buah hatinya bersama Kyle. Skynet kembali mengirim robot pembunuh super canggih tipe T-1000 (Robert Patrick) untuk membunuh John. Namun kali ini sebagai penolong John adalah robot tipe T-800 (tipe robot dalam film pertama) yang diprogram ulang kali ini untuk melindungi dirinya. Seperti film pertama, hampir sepanjang film mengisahkan bagaimana mereka bertiga harus lari dari kejaran T-1000. Di lain pihak, Sarah mengincar Miles Dyson (Joe Morton), seorang ilmuwan yang mengembangkan teknologi berintelegensia tinggi, cikal bakal dari Skynet.

Dari sisi cerita, satu hal yang menjadi nilai lebih The Terminator adalah ide cerita yang orisinil. Dua sosok dari masa depan dengan level kekuatan yang berbeda (manusia vs robot) harus saling berkonfrontasi fisik di masa kini. Kita semua tahu jika tidak ada satu pun manusia di masa kini yang akan mampu melawan sang Terminator. Tentunya ini menjanjikan sebuah sajian aksi sangat seru, menegangkan, sekaligus menakutkan layaknya film horor. Anda bisa bayangkan, sang robot berjalan masuk sendirian tanpa rasa takut membantai habis satu kantor polisi hanya untuk mencari buruannya. Rasa penasaran penonton sepanjang film pasti akan terusik, bagaimana cara sang robot bisa terbunuh?

Dalam T2, Cameron masih menggunakan formula cerita yang sama dengan film pertamanya, lalu apa istimewanya? Seperti sekuel kebanyakan kini Cameron seolah telah mampu mengerti apa yang diinginkan penonton. More action! Untuk mendukung ini dua sosok dari masa depan masih dengan level kekuatan yang berbeda dibuat jauh lebih superior dari film pertamanya. Satu robot dan satu lagi robot super canggih. Lagi, tentunya ini menjanjikan sebuah aksi super seru dan menegangkan. Dan nyatanya memang begitu. Hampir sepanjang film, cerita film berjalan sangat menegangkan dan penuh dengan adegan aksi gila-gilaan yang belum pernah ada sebelumnya.

Walau tidak sehebat T2 namun unsur aksi dalam Terminator telah menunjukkan talenta Cameron sekalipun dengan bujet yang minim. Sekuen aksi masa datang yang menampilkan perang laser menggunakan tank dan pesawat skynet sudah tampak sangat meyakinkan untuk masanya. Lalu juga kejar-mengejar mobil yang sangat menegangkan di pertengahan dan menjelang akhir film. Namun satu adegan aksi yang paling dikenang (baca: shock) adalah ketika sang terminator menyerang ke kantor polisi dan menghabisi semua yang ada disana secara membabi buta. Menghibur jelas tidak namun adegan ini terasa begitu menegangkan sekaligus menakutkan.

Baca Juga  The Left Bank Cinema

Bicara soal unsur aksi dalam T2 sudah tidak perlu banyak komentar. Sekuen-sekuen aksi dalam film ini tercatat sebagai yang terbaik yang pernah ada. Bujet produksi yang besar kali ini sangat mendukung Cameron untuk membuat aksi-aksi yang gila dan heboh dengan menggunakan beragam kendaraan dari motor, mobil polisi, truk besar, hingga helikoper. Aksi kejar-mengejar sangat seru di saluran (kanal) kota Los Angeles hingga kini pun masih sulit dicari tandingannya. Dengan kepiawaiannya Cameron mampu memanfaatkan setting yang terbatas tersebut dengan sempurna melalui pergerakan dan sudut kamera, teknik editing, serta posisi pemain (kendaraan). Sekuen aksi yang lain pun tidak jauh beda. Hanya satu kata untuk memberi komentar, superior!

Dari sisi efek visual, Terminator tergolong sangat sederhana. Sang robot dalam bentuk aslinya di klimaks film tampak sekali menggunakan teknik stop-motion. Sekalipun begitu namun tetap tidak mengurangi unsur ketegangan karena mampu disajikan cukup meyakinkan. Sementara efek visual dalam T2 hingga kini pun tidak tampak jauh tertinggal. Satu pencapaian yang mengagumkan adalah karakter T-1000 yang mampu mencair dan merubah diri menjadi bentuk masif apapun. Seperti contohnya, dalam sebuah adegan di penjara, ketika T-1000 berubah menjadi lantai bermotif catur dan secara perlahan-lahan berubah menjadi penjaga penjara mampu divisualisasikan begitu mengagumkan seolah benar-benar nyata!

Satu lagi yang menjadi kekuatan dua film ini adalah ilustrasi musik yang dikomposisi Brad Fiedel. Tema musik Terminator yang menghentak dan begitu kuat mampu terbawa lama dalam ingatan jauh setelah menonton filmnya. Dalam Terminator, seperti film kelas B lazimnya, Fiedel hanya menggunakan instrumen yang sederhana namun mampu menambah nuansa ketegangan terutama sewaktu adegan aksi. Dalam T2, dengan bujet yang lebih besar, Fiedel menggunakan satu orkestra penuh untuk ilustrasi musiknya. Hasilnya, musik tema jauh lebih membahana dan megah dari sebelumnya. Adegan demi adegan khususnya aksi semakin bertambah dramatik dan menegangkan.

Arnold Schwarzenegger sebagai sang terminator tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu ikon sinema paling populer dalam sejarah sinema. Nilai jual terbesar dua film ini, khususnya T2 adalah sosok Arnold. Bisa jadi tidak ada aktor lain yang mampu menggantikan sosok Arnold untuk berperan sebagai robot pembunuh yang dingin. Arnold memang seperti terlahir untuk peran ini tanpa berakting sekalipun tubuh fisik serta mimiknya sudah cukup berbicara. Rasanya karena faktor inilah sang aktor sampai bermain dalam tiga film Terminator.

Terminator 1 & 2 adalah bukti kepiawaian Cameron dalam mengolah naskah serta mengemasnya menjadi sajian film aksi fiksi-ilmiah yang sangat menghibur. Cameron adalah sineas yang tahu persis bagaimana mengemas dan apa yang diinginkan penonton. Bujet yang besar sebanding dengan tontonan aksi berkualitas yang disajikan. Hanya bermodal dua film ini saja, Cameron rasanya sudah cukup mendapat predikat salah sineas terbaik di dunia.

PENILAIAN KAMI
Total
100 %
Artikel SebelumnyaSang Pemimpi
Artikel BerikutnyaJames Cameron
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.