The Gorge adalah film aksi fiksi ilmiah yang diarahkan oleh sineas kawakan Scott Derrickson yang kita kenal dengan Doctor Strange hingga film-film horor berkualitas, Sinister dan The Black Phone. Satu hal yang mengejutkan adalah deretan kasting besarnya, yakni Milles Teller, Anya Taylor Joy, hingga Sigourney Weaver. Padahal film ini hanya dirilis streaming oleh platform Apple + pada pertengahan Februari lalu. Akankah film ini mampu memenuhi ekspektasi melalui deretan kasting besar dan sineasnya?

Levi Kane (Teller) seorang sniper tangguh menerima misi untuk menjaga sebuah menara di lokasi rahasia di pinggir jurang yang sangat dalam. Jauh beberapa ratus meter di seberangnya (wilayah blok timur), menara yang sama juga dijaga oleh seorang sniper perempuan bernama Drasa (Joy). Sesuai aturan, keduanya tidak boleh saling berkomunikasi, namun mereka melanggarnya karena rasa bosan yang hebat. Bahkan Levi pun nekad untuk menyeberang hanya untuk bertemu Drasa, dan keduanya pun saling jatuh hati. Siapa mengira, jauh di bawah sana, ratusan monster misterius mulai mengancam keduanya.

Siapa menyangka film ini memiliki premis yang begitu segar dan aroma romansa yang demikian kental. Siapa menyangka pula, dari set menara yang begitu dingin dan berjauhan, proses dan kehangatan hubungan keduanya bisa terjalin dengan manis. Sisi misteri, apa yang ada di bawah sana, seolah terlupakan karena performa dua bintangnya yang memiliki chemistry demikian menggemaskan. Siapa pun, pasti tak akan menolak jika keintiman mereka dipertontonkan lebih lama. Sepertiga durasi film adalah segmen terbaiknya, sebelum arah plotnya berubah drastis. Apa mau dikata, the show must go on.

Dengan kontras, kisahnya berubah menjadi plot Alien dengan kucing-kucingan antara dua jagoan kita dengan para mutan. Tak ada lagi sisi misteri, selain plotnya kini hanya murni bertahan hidup. Seperti sudah bisa ditebak, alur plotnya mulai mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi di bawah sana dan siapa sesungguhnya mutan-mutan tersebut. Apa pun itu, tidak lantas membuat plotnya lebih menarik selain hanya aksi rutin yang mudah diantisipasi. Ini sebuah penurunan dari sang sineas yang sebelumnya mampu menjaga intensitas misteri dan ketegangan hingga akhir film, seperti tampak dalam Sinister dan The Black Phone. Siapa pun tahu, tak bakal ada penonton yang suka jika kisahnya berakhir tragis melihat proses keintiman antara dua tokohnya.

Baca Juga  Alpha

The Gorge memiliki premis segar bagi genrenya dengan kehadiran dua bintang besarnya, sayangnya naskahnya tidak sepadan dengan level pemain, serta penurunan performa dari sang sineas. The Gorge jelas tak buruk, hanya eksekusinya yang buruk. Logika cerita pun dipertanyakan. Jika memang begitu berbahaya, mengapa hanya dijaga oleh dua orang? Jurang yang begitu panjang tentu memungkinkan para mutan untuk merangkak naik dari lokasi selain di bawah menara. Ah.. sudahlah. Dua kasting besarnya telah bermain maksimal tanpa harus menguras kemampuan mereka. Hanya disayangkan, chemistry yang telah terjalin demikian apik seolah terbuang percuma. Tak ada kesan membekas dari keseluruhan cerita kecuali nuansa romansanya. Saya bukan fans berat film roman, namun rasanya ingin melihat performa Milles Teller dan Anya Taylor bermain dalam film rom-com. Siapa tahu?

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaRahasia Rasa | REVIEW
Artikel BerikutnyaConclave | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.