the lost bus

The Lost Bus adalah film bencana garapan sineas kawakan Paul Greengrass setelah sekian tahun lamanya absen. Naskahnya diadaptasi dari buku nonfiksi berjudul Paradise: One Town’s Struggle to Survive an American Wildfire karya Lizzie Johnson yang mengangkat bencana kebakaran hebat di California pada tahun 2018. Film ini dirilis secara global melalui platform Apple + beberapa hari lalu dan bulan lalu sempat rilis teater di negara asalnya. Film ini dibintangi oleh Matthew McConaughey, America Ferrera, Yul Vazquez, serta Ashlie Atkinson. Akankah film berdurasi 130 menit ini menambah deretan karya istimewa sang sineas?

Kevin (McConaughey) adalah seorang sopir bis sekolah di kota kecil Paradise, California. Kevin mengalami tekanan ekonomi sulit, ditambah lagi pernikahannya yang gagal, hingga putranya sendiri tidak menghormatinya. Suatu ketika di lokasi pinggir Kota Paradise dilanda kebakaran hutan hebat dan puluhan ribu warga pun dievakuasi. Kevin mendapat arahan untuk mengevakuasi puluhan siswa-siswi TK ke lokasi yang aman. Situasi bertambah rumit ketika bangunan lokasi tujuan telah habis dibakar api. Kevin dibantu sang guru, Mary (Ferrera), harus mencari jalur lain yang aman di tengah kobaran api yang makin hebat.

Setelah lima tahun absen, Paul Greengrass kini mencoba satu genre yang tidak biasa baginya, yakni bencana alam. Sang sineas, kita tahu, telah memproduksi film-film laris berkualitas, sebut saja dua seri Jason Bourne, United ’93, hingga Captain Phillips. Seperti film-film tersebut, The Lost Bus juga memiliki plot yang intens, plot nonstop, serta menegangkan, tetapi satu catatan besar yang belum pernah dilakukan genre bencana adalah visualisasi kebakaran hutan dan angin kencang yang begitu mengerikan dan nyata.

Sejak awal plotnya, kisahnya begitu detil menggambarkan asal muasal kobaran api. Dari percikan api yang membesar hingga badai api yang meluluhlantakkan apa pun yang dilaluinya. Sangat mengesankan bagaimana semuanya bisa terlihat begitu natural sehingga sungguh-sungguh meyakinkan penonton. Entah ini menggunakan efek visual atau pun footage (video rekaman sungguhan) yang sering kali disisipkan dalam banyak momennya. Kita bahkan sulit untuk membedakan, mana yang rekaman asli atau rekaan. Belum pernah sebuah film menggambarkan adegan kebakaran hutan senyata ini. Entah bagaimana pula, pembuat film bisa memperlihatkan angin yang begitu kencang nyaris sepanjang filmnya.

Baca Juga  John Wick: Chapter 2

Sementara formula plot yang digunakan adalah standar genre bencana yang tak sulit diantisipasi. Aksi bertahan hidup adalah poin besar plotnya. Walau dalam The Lost Bus, latar belakang protagonis yang kuat mampu memberikan simpati dan empati kita pada sosok Kevin. Satu poin yang jarang terlihat pada film-film tipikal genrenya adalah kedalaman sosok protagonisnya. The Lost Bus mampu menyeimbangkan antara sajian visual dengan kekuatan karakternya. Penampilan kuat McConaughey, membantu mengangkat perannya dengan meyakinkan. Sejak awal, sosoknya sudah tampak rapuh secara mental, jauh dari sosok tipikal protagonis genrenya yang lazimnya percaya diri dan jagoan.

Walau menggunakan format plot standar genrenya, The Lost Bus banyak terangkat berkat penampilan sang bintang, sentuhan sang sineas, serta visualisasi bencana kebakaran hutan yang memukau. Catatan besar tentunya adalah pada sang sineas yang begitu kuat memperlihatkan pendekatan estetiknya yang khas, yakni handheld camera dan editing cepat. Talenta sang sineas rupanya sama sekali belum memudar setelah gagal komersial dalam karya terakhirnya, News of the World (2020). Sayang, sajian sebaik ini tidak bisa kita nikmati di layar bioskop. Bagi fans genre bencana dan khususnya fans sang sineas, The Lost Bus adalah satu tontonan yang tidak bisa dilewatkan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaNo Other Choice | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses