The Seed of the Sacred Fig adalah film drama thriller produksi kolaborasi Jerman, Perancis, dan Iran yang digarap sineas Iran, Mohammad Rasoulof. Sang sineas sebelumnya telah malah melintang di berbagai ajang festival film bergengsi melalui tema filmnya yang berseberangan dengan ideologi negaranya. Film ini telah meraih apresiasi tinggi, di ajang Cannes Film Festival, Golden Globe, hingga berpeluang masuk nominasi di ajang Academy Awards tahun ini. Uniknya, setelah film ini masuk seleksi di Cannes Film Festival, sang sineas dihukum 8 tahun penjara, namun ia berhasil terbang dan bersembunyi di Jerman. Lantas, kontroversi apa yang diusung dan seberapa istimewakah film ini? Beruntung film ini diputar di ajang Jogja-Netpac Asian Film Festival 2024 bulan Desember baru lalu.
Alkisah seorang ayah yang juga loyalis pemerintah, Iman (Missagh Zareh) mendapatkan promosi jabatan menjadi hakim penyelidik. Profesi barunya membuatnya tertekan karena Iman sering kali dipaksa untuk mengambil keputusan di luar kendalinya. Situasi politik memang tengah memanas akibat gelombang protes di Iran sejak bulan September 2022, yang dipicu kematian Mahsa Amini (22 tahun), diduga tewas dianiaya polisi akibat hijabnya dianggap terlalu longgar. Aksi-aksi kekerasan polisi dipertegas pula melalui footage dari media sosial yang sering kali diselipkan dalam adegannya.
Sementara di rumah, istri Iman, Najmeh (Soheila Golestani), dan dua putrinya, Rezvan (Mahsa Rostami) dan Sana (Setareh Maleki), menghadapi situasi pelik yang sama rumitnya. Sadaf, rekan satu kampus Rezvan dianiaya polisi hingga cedera parah. Rezvan pun berhasil membawa Sadaf ke rumahnya, namun sang ibu tidak menghendaki sang tamu karena akan membahayakan karir suaminya. Konflik keluarga semakin memanas ketika Iman kehilangan senjata api yang diberikan oleh atasannya. Iman pun menuduh dua putrinya yang mengambil hingga membawa mereka termasuk istrinya ke meja interogasi. Situasi justru semakin memburuk, ketika identitas Iman terbuka di media sosial yang memaksanya untuk membawa keluarganya pergi dari Tehran.
Siapa menyangka, film berdurasi 168 menit (hampir 3 jam) ini tidak terasa lama seperti yang kita bayangkan. Apa sebab? Intensitas drama yang semakin meningkat dari momen ke momen hingga diakhiri segmen klimaks mencekam yang jarang kita temukan dalam film-film produksi Iran. Tema senada (opresi penguasa) memang bukan lagi satu hal yang baru, namun sisi thriller demikian menegangkan adalah satu perkara yang berbeda.
Suasana tak nyaman, sudah kita rasakan sejak awal, terutama sejak Sadaf diselundupkan Rezvan masuk ke rumah. Melalui naskah yang brilian, sang sineas mampu mengecoh penonton, di mana situasi ini seolah bakal menjadi konflik besarnya. Rasa penasaran penonton pun semakin terusik, apa yang bakal terjadi kemudian. Namun dalam perkembangan, masalah Sadaf rupanya hanya menjadi katalis untuk membawa masalah yang jauh lebih besar dan rumit, yakni trust antara ayah dan dua putrinya.
Kejutan tak terduga terjadi ketika Iman kehilangan senjata api (sebuah pistol) di laci kamarnya. Kecerobohan Iman meletakkan senjata sebelumnya sengaja diselipkan untuk mengaburkan pikiran kita. Trik ini sungguh berhasil memperlihatkan situasi emosional sang ayah yang makin labil. Apakah ada yang mengira senjata tersebut diambil dua putri atau bahkan istrinya? Tentu tidak. Sang sineas tidak hanya terampil memainkan ketegangan dalam ruang-ruang sempit di dalam rumah, namun dalam ruang terbuka yang luas. Simak bagaimana sang sineas dengan brilian menggunakan set perkampungan kosong bak labirin untuk meningkatkan intensitas aksi ketegangan, melalui pergerakan pemain, posisi kamera hingga editing. Segmen klimaksnya adalah momen yang amat membekas diakhiri dengan sebuah ending powerful.
The Seed of the Sacred Fig adalah film Iran terbaik sejak A Separation (2011) melalui perpaduan brilian elemen drama, politik, thriller hingga twist begitu intens yang didukung kuat oleh penampilan empat kasting utamanya. Semua pencapaian di atas memang mustahil dilakukan tanpa dukungan pemain seniornya, Zareh dan Golestani, serta secara khusus dua bintang muda, Rostami dan Maleki. Coba simak adegan mereka berempat berdialog panas di meja makan yang terasa begitu emosional. Peran Sana yang dimainkan oleh Maleki, seperti naskahnya juga mampu mengecoh kita. Maleki dalam separuh durasinya seolah bermain pasif dan selalu dianggap remeh, namun berjalannya waktu, terdapat perubahan sikap pada karakter ini dari momen ke momen hingga segmen klimaks yang menghebohkan.
“Fig” atau buah ara mengacu pada buah lokal yang banyak diproduksi di wilayah Iran yang konon telah dibudidayakan sejak ratusan tahun silam. “Seed” atau benih yang dimaksud bisa jadi adalah generasi kini atau dua sosok gadis muda dalam plotnya. Plotnya tentu saja tak bisa lepas dari nuansa politik yang kental dalam kisahnya. Bagi saya, film ini secara brilian menggambarkan situasi Iran dalam cakupan sempit. Sang ayah ibarat negara penguasa dan sosok dua putrinya adalah warga sipil. Warga yang semakin mendapat tekanan kuat, semakin hebat pula pukulan balik yang dihasilkan. Sosok Iman adalah representasi penguasa yang semakin panik dan kebingungan menghadapi warganya. Ketika situasi semakin tak terkontrol, penguasa semakin membabi buta bak kelakuan sang ayah. Segmen “labirin” (kampung halaman Iman) dengan latar rumah ibadah tua di belakangnya makin menegaskan kerumitan dan kebingungan yang kelak bakal mengubur diri mereka sendiri.
The Seed of the Sacred Fig adalah salah satu permata bernilai dalam sejarah Sinema Iran. Jika para voter belum bosan dengan tema tipikal film-film Iran, Piala Oscar bukan mustahil untuk diraih. Film ini tidak semata bicara menyoal Iran atau tema perempuan tapi adalah bagaimana kebebasan yang dikekang begitu hebat akan selalu mencari celah untuk keluar. Coba hitung, berapa banyak film yang bicara tentang ini sejak era silam?