the substance

Menyitir judul novel terkenal milik Eka Kurniawan, Cantik Itu Luka, isu ini juga diketengahkan oleh Coralie Fargeat, lewat karya teranyarnya, The Substance. Dalam film ini Fargeat ‘menggila’ dan bereksplorasi tanpa batas untuk menuangkan segala gagasannya. Hasilnya, body horror yang mencengangkan namun juga memikat.

Cerita berfokus pada sosok Elisabeth Sparkle (Demi Moore). Ia begitu kesal ketika diberhentikan oleh Harvey (Dennis Quaid) dari acara televisi yang digelutinya bertahun-tahun karena dianggap sudah tua dan tidak lagi menarik. Merasa kecewa dan marah melihat audisi host untuk menggantikan dirinya, ia nekat mencoba serum ilegal bernama the substance yang disebut bisa membuat versi muda dari dirinya.  Proses transformasi setelah menyuntik serum itu ke tubuhnya begitu menyakitkan dan menyiksanya. Ia sampai pingsan. Lalu muncul versi muda yang keluar dari punggung tubuhnya.

Versi muda dirinya itu menyebut dirinya Sue (Margaret Qualley). Mereka akan berbagi kesadaran dan hidup bergantian setiap tujuh hari. Ada berbagai aturan lainnya yang harus mereka patuhi. Yang paling penting Elisabeth dan Sue harus ingat bahwa mereka adalah satu orang. Sue cepat melejit sebagai selebriti. Lama-kelamaan ia merasa aturan hidup bergantian itu menyusahkannya. Ia pun mencoba mencurangi sistem. Di satu sisi ulah Sue yang suka menambah hari seenaknya itu rupanya berdampak besar ke tubuh Elisabeth. Ia pun marah besar.

Pihak Lembaga Sensor Film (LSF) memberikan rating usia 21+ untuk The Substance karena ada unsur kekerasan (gore) dan nudity. Adegan-adegan nudity ini diburamkan agar tidak begitu vulgar untuk ditonton secara reguler di bioskop.

Dari segi cerita, naskah yang disusun oleh Fargeat ini memang fresh, meski konsep dua badan ini juga sebenarnya hadir dalam series animasi Korea berjudul Lookism (2022) dengan kemasan yang lebih ringan. Fargeat dalam The Substance berhasil menciptakan dunia Elisabeth dan Sue yang glamour bersanding dengan hal-hal di sekeliling the substance yang misterius.

Ya, Fargeat tak perlu menjelaskan secara detail sosok di balik ramuan the substance, cara kerja kloningannya, aturan untuk pergantian tubuh, serta tempat suplainya yang dari luar nampak seperti bangunan kumuh. Hal tersebut malah memperkuat nuansa misterius dalam film ini. Memang bisa jadi muncul pertanyaan dari para penonton, misalnya apakah organ dalam Elisabeth tidak hancur ketika Sue keluar dari dalam tubuhnya?  Apakah Sue dan Elisabeth punya satu kesadaran dan satu ingatan, karena mereka seperti dua orang yang berbeda? Dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan berkaitan dengan proses kloning dan aturan selama proses pertukaran.

Pertanyaan-pertanyaan di atas bisa jadi karena memang ada lubang dalam cerita Fargeat. Namun bisa jadi Fargeat membiarkannya dan tak ingin menjawabnya karena ia ingin menyisipkan unsur fantasi di samping unsur misteri dan horor dalam film ini.

Ya, nampaknya Fargeat ingin bersenang-senang dan bereksplorasi dengan maksimal dalam The Substance setelah sebelumnya menggarap Revenge (2017). Dan untungnya ia punya tim yang hebat dalam mengeksekusi gagasannya ini ke dalam adegan-adegan yang sinematik.

Sepertinya Fargeat menggunakan beberapa film klasik sebagai referensi karyanya ini. Adegan mandi di bawah shower mengingatkan pada adegan ikonik dalam Psycho (1960). Sedangkan kamera yang menyorot ruangan yang memanjang dan kosong mengingatkan pada adegan di The Shining (1980)

Dari segi visual, The Substance ibarat karya seni. Ini merupakan kerja sama yang solid dari tim artistik, sinematografi, editing, juga tim makeup, kostum, dan efek visual. Sejak awal penonton akan terkesan dengan bentuk bangunan apartemen Elisabeth yang megah namun juga minimalis. Ruang-ruang minimalis ini juga tersebar di mana-mana, dari kamar mandi milik Elisabeth, ruangan-ruangan di studio televisi, hingga ruang misterius yang berisi loker paket berisi paket the substance.

Selain itu juga ada konsistensi gambar yang seolah-olah menunjukkan sisi Elisabeth dan Sue. Ini sungguh menarik dan menunjukkan betapa detailnya film ini. Ini bisa dilihat dari cara Elisabeth dan Sue memasuki ruang studio, ketika masing-masing dari keduanya melihat poster besar yang menampilkan wajah mereka, juga ketika memberikan ciuman ke penonton.

Baca Juga  It's What's Inside

Setiap adegan dan setiap gambar seperti tak dibiarkan percuma. Semuanya memiliki makna. Pohon palem yang beberapa kali muncul, misalnya. Rupanya pohon tersebut memiliki makna yang berkaitan dengan penutup film.

Bagian editing juga cerdik dalam merangkai gambar sehingga begitu serasi dengan musik dan nafas yang ingin dihadirkan. Ibarat orkestra, kemunculan adegan demi adegan seperti diorkestrasi oleh konduktor, pas dengan ritme musik latar, sound, dan emosi dalam film.

Musik latar dikomandani oleh Raffertie, yang banyak menggunakan unsur elektronika dan musik eksperimental. Hasilnya, musiknya di beberapa bagian memberikan nuansa futuristik, di bagian lain nampak misterius dan mengintimidasi.

Bagian kostum, makeup, efek visual, dan efek spesial juga memberikan  kontribusi yang tidak sedikit. Adegan-adegan transformasi dalam film ini mendebarkan, ada kalanya menakjubkan, sementara di bagian lain terasa menyeramkan. Transformasi Elisabeth dari penampilan awal kemudian menua hingga seperti monster nampak menyakinkan dan terasa natural. Dari sisi kostum, bagian ketika Sue mengenakan kostum ketat beresleting dan kemudian menarik resletingnya dengan perlahan-lahan seperti memiliki nafas yang sama dengan ketika ia menjahit punggung Elisabeth yang terbuka. Bagian ini mungkin nampak sederhana, namun tetap berkesan.

Namun yang paling berhasil memberikan nyawa dalam film ini adalah tiga pemerannya, yakni Demi Moore, Margaret Qualley, dan Dennis Quaid. Ketiganya juga nampak ‘menggila’ dan keluar dari zona nyamannya.

Demi nampak meyakinkan sebagai sosok selebriti yang mengalami post power syndrome. Ia tak takut nampak jelek di film  ini. Emosi dan ekspresinya ketika ia cemburu kepada Sue dan mencoba merias wajahnya dengan berlebihan adalah salah satu bagian yang berkesan di film ini. Setiap pemeran utama tampil memikat baik saat muncul sendirian, maupun ketika berinteraksi dengan pemain lainnya.

Sedangkan Dennis Quaid nampak natural menjadi bos yang menyebalkan di sini. Biasanya ia berperan sebagai protagonis, namun di film ini ia membuat penonton membenci setiap kehadirannya. Yang menjadi bintangnya dan mencuri perhatian adalah Margaret Qualley. Ia yang tampil naif di series Maid (2021) berubah menjadi Sue yang seksi. Sosok Sue di sini memiliki banyak wajah. Ada kalanya ia nampak polos, namun di sisi lain ia juga begitu culas dan sadis.

Dari sisi produksi dan editingnya, film ini ibarat karya seni. Sementara dari sisi cerita, The Substance terasa fresh meski meninggalkan sejumlah pertanyaan bagi penonton. Oleh karena filmnya yang bersimbah darah dan di beberapa bagian terasa disturbing, maka penonton harus dipastikan telah berusia 21 tahun ke atas dan siap dengan adegan-adegan yang menyeramkan. Hati-hati bisa jadi kalian akan merasa mual dan enggan makan seusai menyaksikan The Substance.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaTebusan Dosa
Artikel BerikutnyaThe Shadow Strays
Dewi Puspasari akrab disapa Puspa atau Dewi. Minat menulis dengan topik film dimulai sejak tahun 2008. Ia pernah meraih dua kali nominasi Kompasiana Awards untuk best spesific interest karena sering menulis di rubrik film. Ia juga pernah menjadi salah satu pemenang di lomba ulas film Kemdikbud 2020, reviewer of the Month untuk penulis film di aplikasi Recome, dan pernah menjadi kontributor eksklusif untuk rubrik hiburan di UCNews. Ia juga punya beberapa buku tentang film yang dibuat keroyokan. Buku-buku tersebut adalah Sinema Indonesia Apa Kabar, Sejarah dan Perjuangan Bangsa dalam Bingkai Sinema, Antologi Skenario Film Pendek, juga Perempuan dan Sinema.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.