What’s Up with Secretary Kim? rasanya bukanlah satu-satunya film yang berformulasikan adaptasi dari kesuksesan film/ serial pendahulunya. Film ini menjadi salah satu judul komedi romantis yang diproduksi Falcon Pictures dengan menggandeng sutradara Rako Prijanto dan dibintangi Mawar Eva de Jongh, Adipati Dolken, serta Dimas Beck. Film ini hadir sebagai versi “lokal” dari fenomena Korea dalam serial What’s Wrong with Secretary Kim? yang sebelumnya sukses sebagai webtoon, webnovel, hingga drama TV pada 2018. Dirilis eksklusif di Vidio pada 8 November 2025, film ini mencoba menawarkan dinamika hubungan antara atasan dan sekretaris yang bertahun-tahun terjalin dalam dunia korporasi modern, dibalur dengan nuansa budaya dan sensitivitas emosi khas Indonesia.

Di sisi naratif cerita, saya sendiri sedikit familiar dengan pola serupa yang diolah dalam menggambarkan karakter para tokohnya. Sebut saja film adaptasi lainnya seperti Sweet 20 (2017) atau Miracle in Cell No. 7 (2022). Film ini berpusat pada Kimberley Laksono (Mawar Eva de Jongh), sekretaris telaten yang bertalenta selama sembilan tahun menjadi pilar ketenangan dan ritme kerja bagi Rendra Prakasa (Adipati Dolken); wakil presiden perusahaan ritel ternama, Jambudwipa. Berjalannya cerita, keputusan besar diambil oleh Kim untuk resign dari pekerjaannya demi mencari kebebasan diri serta kesempatan merasakan cinta di luar ruang kantor; hal inilah pemicu gejolak emosional bagi Rendra. Keputusan ini kemudian menumbuhkan benih cintanya kala kepergian itu sudah di depan mata. Ketika ia mulai mengejar kembali Kim dengan segala cara dan upaya, muncullah sosok Willy (Dimas Beck): kakak Rendra yang lama tinggal di New Zealand, kembali membawa masa lalu yang belum selesai serta memiliki ketertarikan serupa pada Kim.

Kisah dramanya memang menggarap trauma penculikan masa kecil sebagai fondasi psikologis hubungan dua karakter utamanya, tentu saja ini lebih menekankan pergeseran emosi, kecanggungan romansa, dan tarik-ulur batin antara cinta, kontrol, dan pencarian ruang untuk tumbuh. Penggunaan pola flashback cukup efektif memunculkan friksi yang ada dalam kisahnya, baik ke masa kelam ketiga tokohnya, atau awal mula pertemuan antara Kim dengan Rendra di dunia kerja. Narasi yang bukan soal drama cinta murahan, tersalurkan dengan baik melalui akting para tokohnya; Rendra yang jaim dan maskulin, Willy dengan traumatik masa lalunya, serta Kim, yang didera gejolak diantara dua rasa dalam satu keluarga. Walaupun saya tidak mengikuti serial, webtoon, atau webnovel dari What’s Wrong with Secretary Kim?; rasanya tidak mengherankan jika semua tersusun rapi, namanya juga adaptasi.

Baca Juga  Killers of the Flower Moon

Secara sinematik, tidak diragukan lagi bahwa Falcon Picture selalu membuat nuansa film dibingkai dengan ciamik. Hadirnya atmosfer korporat yang bersih dan modern, membingkai hubungan kerja yang bergerak perlahan menjadi kedekatan personal. Tone warnanya bergantung pada energi yang dibawakan Kim sebagai sosok yang tenang namun tegas, serta Rendra yang mencoba menyeimbangkan antara citra bos perfeksionis dengan kerapuhan emosionalnya. Ritme cerita, penggunaan ruang kantor sebagai panggung interaksi, dan selipan humor menjadi mesin utama yang menggerakkan narasinya. Pada momen tertentu, film ini mengandalkan chemistry dan gesture halus ketimbang dialog berlebihan, sebuah pilihan cerdas ala drama Korea yang dibalut untuk menjaga romansa tetap ringan meski latar cerita menyimpan jejak konflik traumatis pada versi sumbernya.

Sebagai film adaptasi, What’s Up with Secretary Kim mencoba menerjemahkan pesona kisah aslinya ke dalam konteks lokal Indonesia dengan fokus pada dinamika profesional, loyalitas, dan keinginan untuk merdeka secara emosional. Meski eksekusi traumatik masa lalu What’s Up with Secretary Kim tidak digarap sedalam versi Korea, pilihan ini justru membuat film lebih mudah dinikmati sebagai tontonan akhir pekan: ringan, familiar, dan mengandalkan rasa manis hubungan kerja yang berkembang pelan-pelan.

Pada akhirnya, film ini menjadi refleksi tentang bagaimana kedekatan yang bertahun-tahun dibangun tidak selalu disadari nilainya: hingga seseorang bertekad pergi. Sebuah adaptasi yang berjalan di antara nostalgia fandom K-drama dan pencarian identitas rom-com Indonesia kontemporer.

Source: https://www.vidio.com/watch/8801429-what-s-up-with-secretary-kim (vidio.com, 2025)

Judul: What’s Up with Secretary Kim? | Tahun Produksi: 2025 | Tahun Rilis: 2025 | Durasi: 1 Jam 38 Menit | Sutradara: Rako Prijanto | Penulis: Fikra Fadilla | Produser: Frederica | Rumah Produksi: Falcon Pictures | Negara: Indonesia | Pemeran: Mawar Eva de Jongh, Adipati Dolken, Dimas Beck, Agnes Naomi, Tubagus Ali, Galabby Thahira, Willem Bevers, Elmayana Sabrenia.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaThe Running Man | REVIEW
Artikel BerikutnyaNow You See Me Now You Don’t | REVIEW
Purwoko Ajie, also known as Puralexdanu Patjingsung, was born in Ciamis, West Java, on 13 October 1995. He pursued his undergraduate studies in the Television and Film Study Programme at the Indonesian Institute of the Arts (ISI) Surakarta from 2015 to 2019; and from 2022 to 2024 continued his postgraduate studies in the Cultural Studies Programme at Sebelas Maret University (UNS), Surakarta. During his studies, he actively engaged in writing books, film scripts (fiction/ documentary), and scholarly articles, while deepening his research interest in cultural studies with a focus on cinema and media. His written works include the independently published novels "Cinta Piramida" (2015) and "From Something To Nothing" (2018), as well as his contribution as a co-author to the book "30 Film Indonesia Terlaris 2002-2018" (2019) published by Montase Press. Several of his articles have been published in national and international journals; all academic portfolios and publications can be accessed through Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=I6nkRJIAAAAJ. In the field of film criticism, he received national recognition through achievements at the Indonesian Film Festival (FFI), being selected as one of the Top 15 Best Film Criticism at FFI 2024 with his essay "Vina: Sebelum 7 Hari | Fenomena Spiritual, Viralitas, dan Pengungkapan Fakta Sosial," and later becoming a nominee for Best Film Criticism at FFI 2025 through his article "Tendangan, Pengkhianatan, dan Mimpi di Tengah Mafia: Alegori ‘Elang’ (2025) dalam Psiko-Politik Sepak Bola Nusantara." In addition to his writing activities, he also works in the field of directing short fiction and documentary films. His passion for cinema began in junior high school when he produced his first film "Salah Pelet" (2009). In 2016, he directed the short film "The Dakoen Doerang (Past & Now)", which was later screened at the International Children Film Festival 2018 in India as part of the World Cinema programme. He also produced the documentary "Teguh Between the Collapse of Gemstone" (2018), which received recognition at various international festivals. To this day, he continues to develop his cinematic works, both in screenwriting and short-film production, while deepening his cultural studies research related to film, media, and society. Besides his involvement in cinema, he also has experience in the field of information technology (IT), having worked as an IT staff member at several private companies and reputable websites. He is currently active in managing and writing for montasefilm.com and montase.org, as well as developing the mOntasefilm Android-based application: Indonesia’s first film-community application, currently undergoing technical refinement.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses