Setelah Dark Universe gagal total (The Mummy/2017), studio Universal bersama produser Jason Blum, beralih ke proyek “murah” setelah sukses komersial Invicible Man (2020) garapan Leigh Whannell. Whannell pun kembali didapuk untuk menangani Wolf Man yang dimaksudkan sebagai reboot seri klasiknya. Film ini dibintangi oleh Christopher Abbott, Julia Garner, Sam Jaeger, dan Mathilda Firth. Dengan bermodal USD 25 juta, akankah film ini bisa sebaik capaian Invicible Man yang juga digarap sang sineas?

Blake (Abbot) di masa ciliknya memiliki masa lalu suram bersama sang ayah. Setelah dewasa, ia begitu dekat dengan putrinya, Ginger (Firth), sementara Istrinya, Charlotte (Garner) menjadi penopang keluarga. Suatu hari, Blake mendapat informasi tentang ayahnya yang kini dianggap tewas setelah lama menghilang. Blake pun bersama istri dan putrinya akhirnya pergi ke rumah masa ciliknya yang berlokasi di tengah hutan terpencil. Sebuah insiden terjadi sesaat sebelum mereka tiba di lokasi dan Blake pun melihat sesosok monster menyeramkan. Blake sempat terluka oleh sang monster walau mereka akhirnya bisa berlindung di rumah sang ayah. Tanpa disadari, ancaman rupanya tidak hanya berasal dari sesuatu yang berada di luar, namun juga di dalam rumah.

Saya nyaris tak ingat, cerita The Wolf Man (1941) era klasik yang dibintangi Lon Chaney. Namun saya masih ingat betul, The Wolf Man (2010) yang dibintangi Anthony Hopskins merupakan remake loyal dari film klasiknya. Sementara versi terbarunya ini, sudah tidak lagi punya benang merah dengan plot film-film sebelumnya. Di teks prolog awal film, kisahnya justru mengambil mitos lokal dengan latar cerita di AS (bukan London). Rasanya “full reboot” adalah istilah yang tepat untuk versi terbarunya ini. Kasus senada juga terjadi pada Invicible Man. Bisa jadi, Blum ingin menjaga tradisi karirnya yang memproduksi film-film horor murah yang laris. Coba saja bandingkan The Mummy (2017) yang dibintangi aktor selevel Tom Cruise dengan bujet > USD 125 juta.

Plot Wolf Man pasti tidak asing bagi pecinta horor. Satu keluarga pergi ke lokasi terpencil dan terjebak di satu lokasi dengan ancaman dari sosok seram/monster. Sedikit bedanya, ancaman tidak hanya datang dari luar tapi juga dari dalam. Trailer-nya telah memberikan petunjuk arah plotnya ini dengan jelas. Kasus yang sama, sudah sering kita temui dalam film-film zombi. Alur plotnya mudah sekali diantisipasi, dari adegan ke adegan, bahkan hingga jump scare-nya. Satu-satunya elemen cerita yang membuat film ini menarik adalah kisahnya yang berjalan menerus (real time) hanya dalam satu malam saja. Setidaknya, ini membuat kita terus merasa penasaran, bagaimana upaya mereka keluar dari ancaman besar ini. Sisi teknis rasanya lebih menarik dibincangkan ketimbang plotnya.

Baca Juga  Exhuma

Beberapa teknik yang tak lazim digunakan, dari aspek kamera hingga tata cahaya. Beberapa kali gerak kamera melakukan rotasi hingga 180˚  sewaktu adegan kecelakaan serta sudut pandang sang monster. Beberapa kali kamera bergerak mengelilingi satu sosok ke sosok lainnya untuk memperlihatkan perspektif visual dari sudut manusia dan sang monster (bukan Point of View (POV) shot) dengan tone dan efek warna yang berbeda. Dalam beberapa momen, transisi adegan (shot) juga secara unik menggunakan permainan cahaya yang diredupkan ketimbang melakukan transisi gambar konvensional (dissolve, fade). Elemen suara juga menjadi poin penting dari kisahnya, yakni “POV sound”, di mana kita bisa mendengar suara-suara di sekeliling yang super sensitif di telinga sang monster. Satu lagi yang menarik perhatian tentunya adalah rias tubuh dan wajah saat berangsur-angsur berubah menjadi sosok monster. Sisi realismenya patut diacungi jempol, walau terhitung masih di bawah pencapaian The Substance.

Wolf Man tidak banyak menawarkan sesuatu yang baru bagi genrenya, kecuali eskplorasi penceritaan real time, perspektif (POV) sang monster, dan tata rias wajah yang meyakinkan. Akankah film ini sukses komersial? Melihat bujetnya, rasanya tak sulit mencapainya. Bujet film ini terhitung besar jika melihat bujet Invicible Man (USD 7 juta) yang sukses meraih USD 144 juta. Lantas bagaimana sang sineas? Jika melihat film-film sebelumnya, eksplorasi estetik yang dilakukannya kali ini memang lebih variatif, sekalipun ini bukan hal yang brilian. Bagi penikmat horor, rasanya film ini bukan yang bakal memuaskan adrenalin penonton. Menanti rilis streaming-nya adalah hal yang bijak.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
55 %
Artikel SebelumnyaThe Seed of the Sacred Fig
Artikel BerikutnyaRamen Akaneko
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.