zootopia 2

Setelah sekian lama, akhirnya sekuel film animasi super laris Zootopia (2016/USD 1.025 miliar) dirilis dengan titel, Zootopia 2.  Film ini kembali diarahkan Byron Howard yang kini bertandem dengan Jared Bush yang juga menulis naskah keduanya. Film berdurasi 102 menit ini masih dibintangi regulernya, Ginnifer Goodwin, Jason Bateman, Shakira, Idris Elba, Alan Tudyk, serta kini ditambah Ke Huy Quan, Fortune Feimster, Andy Samberg, hingga David Strathairn. Akankah sekuelnya ini mampu bersaing secara komersial dan kritik seperti sebelumnya?

Setelah jasa besar dalam film pertama, Judi (Goodwin) dan Nick (Bateman) kini berpartner sebagai anggota Zootopia Police Departement (ZPD). Merasa di atas angin, mereka pun bertindak di luar perintah atasan, Bogo (Elba), untuk menangani satu kasus penyelundupan di pelabuhan. Buruan mereka lepas, yakni seekor ular, tetapi Judy mendapat petunjuk penting lain. Bogo mengancam memisahkan mereka, tetapi Judy dan Nick justru nekat untuk mendatangi malam gala karena Judy merasa ada pihak yang ingin mencuri buku antik yang berisi asal usul Zootopia.

Dugaan Judy benar, buku tersebut dicuri sang ular bernama Gary (Quan), tetapi situasi berubah dengan cepat, dan sang ular rupanya tidak sejahat seperti yang ia pikir. Judy dan Nick justru dituduh bersekongkol dengan sang ular hingga mereka menjadi buronan ZPD. Aksi kejar-mengejar seru pun tak terelakkan. Di saat bersamaan, Nick dan Judy juga berusaha menyelidiki, apa yang sesungguhnya dicari sang ular dari buku tersebut.

Zootopia adalah salah satu film animasi yang menghibur dengan humor segar dengan belasan karakter unik dan konyol. Namun, sewaktu dulu saya menontonnya terdapat satu hal yang menjadi kejanggalan “logika” kisahnya. Bagaimana mungkin binatang karnivora berdamai dengan herbivora? Lantas apa yang dimakan binatang-binatang buas di sana? Mengapa sosok karnivora buas seperti ular tidak disajikan? Walau memang terjawab dalam plotnya tetapi terasa ada sesuatu yang hilang. Ya, tentu ini semua tertutup dengan konsep tema “keberagaman dan toleransi” yang diusungnya. Setidaknya, keberadaan hewan reptil kini terjawab melalui sekuelnya.

Baca Juga  The Garfield Movie

Bicara kisahnya, sesungguhnya inti plot tak jauh berbeda dengan seri pertama. Sekuelnya juga masih menampilkan banyak karakter lawas, ditambah belasan karakter baru. Juga adanya plot kriminal terorganisir dan sisi investigasi yang kuat, walau kini Judy dan Nick menjadi buronan yang menambah intens plotnya. Kisahnya menjadi ujian bagi persahabatan mereka, di tengah situasi genting yang berdampak besar pada masa depan Zootopia. Seperti seri pertama, kisahnya memiliki keseimbangan kuat antara sisi drama, misteri, komedi, persahabatan, hingga konsep keberagaman yang diusung tema besarnya.

Aksi dan selera humornya pun tak berbeda jauh. Belasan karakter unik dengan segala polah mereka menjadi pemicu sisi komedinya yang dominan. Bagi penikmat film sejati juga bakal mendapat kejutan-kejutan kecil melalui homage beberapa film ikonik, sebut saja The Shining hingga Babe. Penonton juga diajak berpetualang ke lokasi-lokasi baru yang sebelumnya tidak terjamah, seperti pasar hutan rawa, gurun pasir, hingga area pegunungan bersalju. Dengan tone berwarna cerah, filmnya juga didominasi musik dan lagu yang bergairah. Shakira yang dulu sukses dengan nomor berkelas “Try Everything”, kini kembali menghentak dengan satu nomor bertajuk “Zoo”. Selintas di penghujung, terlihat beberapa penonton cilik ikut bergoyang mengikuti irama lagunya yang amat enerjik.

Walau Ide dan formula plotnya nyaris senada sebelumnya, Zootopia 2 mampu memberikan hiburan maksimal melalui aksi, polah, dan keragaman karakternya. Rasanya, sekuelnya ini sulit untuk tidak disukai banyak orang yang menjadikan film pertamanya begitu sukses. Karakter nonmanusia membuat cerita, humor, dan polah karakternya lebih mudah diterima sebagai tontonan universal tanpa terikat batasan apa pun. Zootopia adalah salah satu film tontonan keluarga yang paling menghibur dan berkelas tahun ini. Sulit dipercaya jika film ini tidak menjadi nominasi Oscar untuk kategori film animasi panjang terbaik tahun ini. Setelah beberapa agenda tersembunyi yang kontroversial dan gagal secara komersial, Disney kini bermain lebih aman, seperti yang dilakukan Lilo & Sticth sebelum ini.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel Sebelumnya13 Days, 13 Nights | Festival Sinema Perancis 2025
Artikel BerikutnyaKeadilan (The Verdict) | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses