Oleh: Mohamad Ichsanudin Adnan

 

“Perlukah sinema kita mengebiri pengetahuan lokal

demi kebutuhan nasional?”

 

Lokalitas bukan hanya perkara tempat atau eksotisme yang dihasilkannya. Lebih dari itu, lokalitas mestilah dipahami sebagai lokus, di mana segala bentuk produksi pengetahuan berasal darinya. Di dalamnya, terdapat interaksi paling intim antara resep masakan ibu kepada anaknya, celotehan petani kecil kepada tengkulak, hingga aktivitas mengaji anak-anak menjelang sore hari.

Sehingga akan sangat kejam apabila upaya memproduksi pengetahuan mengenainya, justru secara sadar adalah upaya untuk melucuti, serta mencabut mereka dari pengetahuannya sendiri. Gejala semacam ini nampak menjadi penyakit yang tak pernah pulih dari sejarah sinema kita. Sebagaimana dalam sinema, upaya memproduksi film menjadi setara derajatnya dengan upaya memproduksi pengetahuan. Di mana setiap scene bahkan fragmen di dalam kamera adalah upaya untuk menciptakan teori kepada penonton.

***

Guna memahami paparan di atas, kiranya perlu terlebih dahulu memasuki cara film Autobiography disuguhkan. Film ini cukup cermat menghadirkan kembali memori kita terhadap cara rezim Soeharto melihat lokalitas. Hegemoni yang nampaknya masih berlangsung hingga hari ini, serta telah mewariskan trauma yang belum benar-benar berakhir.

Melalui sepetak catur yang dihadirkannya, film ini berupaya menampilkan betapa kuatnya relasi militer yang terjalin di ruang-ruang pinggiran. Bahkan telah menyusup ke ruang paling privat sekalipun, yakni rumah tangga. Meskipun disajikan dengan sederhana, melalui relasi antara Rakib dan majikannya yakni Purnawinata, serta pemilihan setting tempat di pinggiran Bojonegoro, Jawa Timur. Namun film ini berhasil melibatkan penontonnya untuk mengamati setiap petak demi petak pergulatan batin yang dialami oleh Rakib.

Melalui delapan baris serta kolom yang disajikannya, karakter Rakib berhasil diperlihatkan secara dinamis. Kedinamisan Rakib muncul sebagai akibat dari serangkaian konflik yang dihadapinya, sehingga memicu adanya perubahan karakter yang masuk akal. Sebagaimana mulanya ia hanya pion lokal yang naif terhadap kekuasaan, seketika dibebankan posisi penting sebagai pengawal Purnawinata. Di mana majikannya tersebut berambisi memenangkan kampanye di Bojonegoro. Alhasil, ia mesti dilibatkan dalam permainan catur yang nampak asing baginya, namun secara praktis telah meningkatkan derajat sosialnya. Alhasil, ia dibuat kegandrungan dengan permainan tersebut, meski pelan tapi pasti akan merusak dirinya sendiri.

Kerusakan tersebut akhirnya tiba, ketika Rakib dihadapkan pada kondisi di mana ia telah mengantarkan Agus pada kematian. Alhasil, pandangannya terhadap kekuasaan, serta iklim politik di dalamnya justru mengalami perubahan. Serangkaian konflik tersebut, turut mengantarkan pergulatan batin Rakib terhadap majikannya. Upayanya untuk keluar dari petak kekuasaan, justru mengalami kebuntuan ketika kuasa dan pengawasan milik Purnawinata, nampak bertebaran di mana-mana. Sehingga tidak ada pilihan bagi Rakib untuk terlibat permainan, kemudian memutuskan untuk melakukan penyerangan, dengan cara membunuh majikannya sendiri. Seorang pion kecil yang naif, berhasil membuat skak majikannya, bahkan telah menaklukan pion-pion prajurit disekitarnya.

Dalam film Autobiography, bidak catur adalah kata kunci di mana warisan mental terjajah dapat secara praktis menempatkan subjek berseragam sebagai pemegang kekuasaan. Pembacaan ini akan berlaku ketika menyimak kembali adegan Rakib dikenakan seragam militer. Seragam tersebut dapat secara praktis menempatkan posisinya sebagai sosok yang patut disegani, ketika pengunjung rumah hiburan bergerombol memintanya berswafoto, kemudian ketika Andri sahabatnya justru merasa terancam akan kehadiran Rakib mengenakan seragam militer.

Namun, bidak juga dapat digunakan untuk menyusuri kembali petak demi petak yang dirajut rapi oleh Orde Baru, hingga hari ini. Ketika kehadiran Purnawinata sebagai pensiunan militer, masih melihat desa sebagai lokus tertinggal yang perlu diperadabkan oleh seperangkat kapital modern. Maka tak heran jika pembangunan PLTA lebih penting, ketimbang celotehan pemuda naif yang terancam digusur akibat proyek pembangunan tersebut.

Melihat Autobiografi Sebelum Dirinya Diproduksi

Film Autobiografi diklaim berhasil mengupayakan produksi hingga pasca produksinya, namun bagaimana dengan serangkaian pra produksi yang telah beroperasi?

Melalui serangkaian penghargaan yang didapatinya, baik nasional maupun internasional, telah menegaskan keberhasilan dirinya dalam menyusun formasi produksi dan pascaproduksinya. Akan tetapi, bagaimana formasi tersebut dihadirkan? Kemudian siapa dan untuk siapakah film tersebut dihadirkan?

Baca Juga  Orang Betawi di Film dan Persoalan Identitas yang Tak Kelar-kelar

Maka tawarannya adalah melihat film Autobiography melalui petak praproduksi. Tawaran tersebut kiranya menjadi penting, lantaran ia dapat digunakan sebagai pembacaan, seberapa jauh proses praproduksi yang beroperasi dalam film tersebut. Proses di mana awal mula Makbul Mubarak memilah petak demi petak naskahnya, pemilihan bidak yang akan digunakannya, hingga kepada siapakah film tersebut ia persembahkan.

Sejauh pembacaan saya, rasanya film ini justru terjebak pada beban bahasa nasional. Bahasa yang kerap beroperasi sebagai modus utama menjalankan setiap bidak dalam sepetak film tersebut. Bahasa yang memerangkap dialog menjadi gagap menanggapi isu, hingga ritme masyarakat pinggiran di Bojonegoro.

Jebakan tersebut sangat bisa saya rasakan ketika menyimak interaksi yang terjadi antara Rakib, Andri, serta masyarakat desa lainnya. Interaksi yang mestinya dapat menawarkan peristiwa, justru berubah menjadi laku superfisial yang tunduk terhadap kungkungan bahasa. Celotehan serta umpatan yang keluar dari mulut masyarakat ketika genset mati, segera ditambal oleh respon gagap Andri seolah sedang berinteraksi dengan orang kota.

Beban bahasa juga menjalar ke setiap laku dan reaksi tubuh para bidak yang bermain di dalamnya. Ketika tubuh-tubuh masyarakat desa terinstruksi oleh bahasa yang berjarak dengan persinggungan mereka sendiri. Bahkan bahasa menjadi cukup berjarak dengan diri dan pengetahuan mereka sendiri. Akibatnya, seluruh aksi dan reaksi yang terjalin antar masyarakat, hingga sosok di dalamnya tidak lagi menjadi peristiwa, melainkan perabotan artistik yang sedang disodok oleh kamera. Bahkan keluputan tersebut justru dieksekusi oleh frame yang kerap menyisihkan keberadaan mereka.

Lebih jauhnya, baban penggunaan bahasa nasional juga menjadi beban untuk melibatkan masyarakat lokal. Alih-alih masyarakat lokal memiliki daya untuk berbicara mengenai daerahnya sendiri, justru Makbul Mubarak memilih bidak-bidak kondang berprivilege nasional untuk merepresentasi dan membicarakan mereka. Bagaimana bisa sebuah film dengan hibah dana ratusan juta serta sokongan investor internasional yang cukup besar, justru memilih aktor nasional seperti Kevin Ardilova, Arswendy, Rukman Rosadi, Yusuf Mahardika, dlsb. Alih-alih memberdayakan masyarakat lokal untuk membicarakan isu terkait daerahnya sendiri. Sebagaimana pengantar pada tulisan ini, sejatinya merekalah yang memiliki pengetahuan atas daerahnya sendiri.

Mungkin dalih yang beroperasi untuk membenarkan modus semacam ini, bahwa film ini membutuhkan perhatian dari penonton nasional. Wisatawan penonton hari ini sedang membutuhkan asupan universal, maka dihadirkanlah bahasa dan pemeran nasional pula agar dapat dipahami dan dinikmati oleh para wisatawan. Sekalipun berisiko mengebiri keterlibatan lokal, guna memenuhi kebutuhan nasional bahkan internasional.

Bila dalih semacam inilah yang beroperasi, maka pemilihan Bojonegoro tidak lebih hanya sekedar setting tempat yang terpaksa dipilih secara teknis. Bukan sebagai lokus di mana dari dan kepadanya pengetahuan dan gejala estetika berasal. Bahkan sekalipun pemilihan setting mesti digeser ke sembarang tempat di Indonesia, isu yang dibawa masih tetap berjalan. Konsekuensi yang mungkin terjadi, masyarakat setempat menggunakan basis pengetahuan yang diproduksi oleh film ini, sebagai bagian dari cara mereka membaca diri mereka sendiri.

Sebagaimana Ramon Grosfoguel ungkapkan bahwa, perlunya memproduksi pengetahuan dari dan bersama subaltern, bukan sekedar tentang subaltern. Disinilah partisipasi radikal perlu diupayakan, guna memecah sekat pemisah antara produsen film dengan subjek yang membersamainya.

Dari serangkaian gugatan di atas, pembacaan ini bukan melulu perihal pemilihan teknis yang tentu akan sangat membebani bila disajikan sebagai kritik film. Lebih dari itu, pembacaan ini mesti beroperasi sebagai sebilah papan baru, guna menawarkan serangkaian papan yang kerap beroperasi mengabaikan ritme lokal demi kebutuhan nasional. Bukan hanya Autobiography, namun serangkaian etalase film kita yang kadung terjebak pada kebutuhan nasional.

Apabila sinema kita masih bergantung dengan model pengucapan semacam ini, tidak ada bedanya dengan para raja dan bisak ksatria pembangunan di negeri ini yang melihat lokalitas sebagai representasi dari wacana nasional. Di mana segala ritme dan denyut nadi dari setiap lokus mesti dinasionalkan, guna kebutuhan industri dan wisata. Maka tawarannya, film mesti segera meresponnya dengan menyusun papan-papan alternatif, mulai dari tahap praproduksi hingga sampai bertemu dengan penonton.

Artikel SebelumnyaVina: Sebelum 7 Hari | Fenomena Spiritual, Viralitas, dan Pengungkapan Fakta Sosial
Artikel BerikutnyaThe Union

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.