1/

Apa film Indonesia pertama yang memperlihatkan orang Betawi? Dari telusuran di buku Katalog Film Indonesia 1926-2007[1] yang disusun JB Kristanto orang Betawi sudah muncul di layar perak sejak era film bisu. Ada Njai Dasima (1929), Si Ronda (1930) , Njai Dasima II (1930),  Nancy Bikin Pembalesan (Njai Dasima III) (1930),serta Si Pitung (1931).

Kala itu, akhir 1920-an dan awal 1930-an, film nasional dikuasai peranakan Tionghoa. Semula, film yang dibuat kebanyakan menyasar golongan ini pula. Namun belakangan, seiring popularitas film sebagai media hiburan baru, penonton kalangan pribumi juga jadi target pasar. Karena filmnya diputar di Batavia, nama Jakarta dahulu, maka penonton pribumi yang jadi target pasar adalah suku asli Jakarta alias orang Betawi.

Contoh paling jelas bisa dilihat di film layar lebar Njai Dasima. Ceritanya sudah populer kala itu. Produser Tan Koen Yaw dari Tan’s Film membikin film itu untuk menarik perhatian “penonton-penonton Boemipoetra dari klas moerah” (Dunia Film, Th. I, No. 10, 15/11, 1929).

Sesuai cerita darimana filmnya berdasar, orang Betawi di film itu jadi tokoh antagonis. Ada Samiun, pria beristri dan tukang delman langganan Dasima yang menaruh hati pada si nyai, yang berkat tipu muslihat akhirnya berhasil merayunya. Ada Hayati, istri Samiun yang gila judi, serta Puasa, jagoan dan pemadat, bersekongkol dengan Samiun untuk merampok Dasima. Puasa juga yang membunuh Dasima.[2]

Melompat ke tahun 1970-an orang Betawi kian mendapat tempat di film nasional. Namun sebelum membahasnya lebih jauh, ada baiknya kita baca bagian pembuka artikel majalah Tempo edisi 5  Juni 1971. Di edisi itu Tempo memasang Benyamin S. di sampul muka disertai headline “Betawi Bangkit Lagi”. Begini paragraf-paragraf awal isi tulisan laporan utamanya:

BETAWI kini sudah djadi sisa. Djakarta menggelembung, memadat, mengeras. Djakarta mengusir masa lalunja dalam proses metropolitanisasi ke pinggiran — dan ke kepunahan. Delman Saimun sudah praktis hilang. Helitjak mulai muntjul. Tukang pidjit buta diganti mandi uap dan massage. Warung mpok I’it menjelinap gelap ketika muntjrat tjahaja dari niteclub. Di djalanan kopiah mulai djadi minoritas dibandingkan rambut gondrong, sementara badju-badju komprang hitam tjuma dipakai pemain lenong dalam lakon-lakon “preman”. Kain dan kerudung tak terlihat lagi. Kini: mini atau tjutbrai. Meskipun demikian, setelah sekian puluh tahun berlangsung, meskipun “Djakarta mengalami perubahan” seperti dinjanjikan sebuah lagu populer tahun 50-an, restan-restan roh ke-Betawi-an nampaknja masih hidup terus. Paling sedikit itulah jang terdjadi di atas panggung dan di depan mikrofon.

Mula-mula adalah pertengahan bulan Nopember 1968. Di bawah langit di teater terbuka Pusat Kesenian Djakarta jang masih baru, berdjubel orang menonton lenong. Lakonnja Njai Dasima. Entah mengapa, tjerita tragis wanita “njai’ orang Inggeris itu tiba-tiba memikat orang lagi. Dan mereka bukan tjuma penonton-penonton dari pinggiran Ibu kota — jang masih menganggap lenong sebagian dari hidup, 12 djam dari 24 djam — tapi djuga orang-orang baru, jang hanja djadi orang Djakarta karena kartu penduduk. Sedjak itu, apa jang Betawi seakan-akan hidup kembali. Bukan sadja S.M. Ardan, pengarang jang terkenal karena tjerpen-tjerpennja jang berdialek Betawi itu, tapi djuga seniman dan peminat-peminat lain beramai-ramai datang mengerumuni lenong. Setelah Njai Dasima, sedjak 16 Nopember 1968 hampir tiap bulan teater rakjat Betawi itu mendjadi atraksi dengan kursi-kursi penuh terisi. Demikianlah sampai Mei tahun 1971, kurang lebih sudah 25 lakon dipentaskan. Dalam kata-kata Soemantri Sastrosuwondo, Sekretaris Lembaga Pendidikan Kesenian Djakarta jang djuga sebagaimana halnja D. Djajakusuma ikut aktif dalam menghidupkan kembali lenong: “Perhatian terus meningkat. Sekarang bukan sadja orang-orang di kampung jang djadi penonton tetap lenong, tapi djuga orang-orang terpeladjar”.

Pemburu & Benjamin. Sementara itu, pengaruhnjapun menjusup ke tempat-tempat lain. Teater modern Indonesia, jang selalu siap menampung segala pengaruh dan mentjari tjara-tjara pengutjapan baru, mendadak melihat teater-teater rakjat sebagai sumber inspirasi. Antara lain lenong. Begitulah drama terdjemahan “Pemburu Perkasa” oleh Arifin C. Noer pernah dimainkan dengan gaja lenong, dan berhasil. Lakon “Kapai-Kapai” djuga mengambil beberapa anasir Betawi itu ke dalamnja. Di samping itu menarik djuga apa jang terdjadi dalam film: tjerita-tjerita Betawi lama mendapatkan pasaran setjara menjolok — satu hal jang sebelumnja tak pernah terdjadi hingga Wim Umboh membikin Matjan Kemajoran ditahun 1967. Maka lahirlah Si Djampang oleh Lilik Sudjijo, lahir pula Dasima & Saimun oleh Hasmanan, dan tentu sadja Si Pitung oleh Nawi Ismail.

Di atas semua itu, lahir pula Benjamin. Namanja tjepat naik, meninggalkan landasan dengan sedjumlah besar p.h. dan kaset. Laki-laki berumur 31 tahun itu, Betawi tulen dalam arti ia dilahirkan di kampung Bugis Kemajoran, mungkin salah satu dari penjanji-penjanji penting di Indonesia kini. Modalnja: suara antara bariton dan bas jang tidak butut, lidah jang luwes, serta lagu-lagu jang kurang lebih bisa dikatakan sebagai lagu-lagu chas Betawi.[3]

Menarik bagaimana suasana kebatinan masa itu menggambarkan masyarakat Betawi: orang Betawi telah tersisih, tapi di saat bersamaan yang serba Betawi mulai ditengok dan diminati publik kembali. Yang lebih menarik ditelisik sebetulnya Betawi sudah tersisih padahal usia Republik masih muda. Ini artinya, Betawi sudah terpinggirkan sejak lama.

Baca Juga  Kritik Film: Kriteria dan Penilaian

Kenyataan ini memunculkan bagaimana orang Betawi menggambarkan dirinya (digambarkan) hingga hari ini. Sebelum membahas lebih jauh, kata kunci yang harus diingat: identitas sebagai orang Betawi, eksistensi, dan pembuktian diri.

Selepas Orde Lama, cerita film berlatar Betawi juga diminati kembali. Trennya dimulai Wim Umboh lewat Matjan Kemajoran (1967) yang lalu berlanjut dengan film Djampang  (1969), Dasima dan Samiun (1970), serta Si Pitung (1970) yang dibintangi Dicky Zulkarnaen. Berbeda dengan era 1930-an, orang Betawi di film-film rilisan pasca-Orde Lama ditempatkan sebagai tokoh utama.

Tren itu berlanjut ke dekade 1970-an, yang dipelopori mencuatnya Benyamin S.. Di laporan utama Tempo tahun 1971, kelarisan lagu-lagu Benyamin diprediksi hanya tren sesaat:.

Barangkali kelarisannja jang sekarang tjuma karena suatu musim di mana lagu-Iagu berdialek Betawi sedang disukai. Barangkali dua tiga tahun lagi dia akan surut dari peredaran, bahkan uzur dari dunia piringan hitam sebagaimana galibnja penjanji-penjanji jang laris.[4] 

Kita tahu, prediksi Tempo salah. Nama Benyamin tak berkibar hanya dua-tiga tahun, melainkan  ia jadi seniman legendaris Betawi. Popularitas Benyamin sepanjang 1970-an pula yang membuat tren “yang serba Betawi” tak surut. Film-film yang berkisah tentang orang Betawi terus dibuat di dekade itu.

1
2
3
4
Artikel SebelumnyaDora and The Lost City of Gold
Artikel BerikutnyaThe Divine Fury
Kontributor Montasefilm.com, bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Bukunya yang sudah terbit “Seandainya Saya Kritikus Film” (Homerian Pustaka, Yogyakarta), rilis 2009.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.