Nyaris sebulan sejak film melodrama produksi Thailand, How to Make Millions Before Grandma Dies tayang di Indonesia. Tidak ada yang menyangka, Grandma sangat laris di Indonesia dan hingga minggu lalu telah ditonton lebih dari 3 juta penonton. Film ini kini telah tercatat sebagai film produksi Asia paling laris di Indonesia. Angka ini belum ada tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat. Hingga sang sutradara Pat Boonnitipat dan pemeran Amah pun, Usha Seamkhum, datang ke Jakarta untuk melihat hype-nya. Film ini rupanya laris pula di Thailand dan sampai sejauh ini tercatat menjadi film terlaris tahun 2024. Rilis di Singapura pun tak jauh beda suksesnya yang ditayangkan lebih dari dua bulan sejak awal Juni lalu.

Omongan di mana-mana selalu sama, cerita Grandma begitu menyayat hati hingga menguras habis air mata penonton. Ketika saya kemarin menonton di bioskop, penonton terhitung masih lumayan. Selesai menonton, sesekali terdengar isak tangis penonton. Kisah dan setnya memang terasa akrab bagi masyarakat kita, terlebih sesama negara tetangga yang memiliki tradisi dan budaya yang relatif erat. Saya terhitung telat menonton film ini karena rekan penulis sudah mengulasnya di situs ini, sembari melihat seberapa jauh daya tahan pasarnya. Hingga kemarin (11-06-2024), tercatat seluruh jaringan dan lokasi bioskop di kota Jogja masih menayangkan Grandma. Ini terhitung anomali untuk film yang telah rilis 4 minggu, khususnya di masa-masa animo penonton yang kini cenderung menurun.

How to Make Millions Before Grandma Dies atau dalam bahasa aslinya Lahn Mah (bermakna: cucu sang nenek), digarap oleh sang sineas, Pat Boonnitipat, yang sebelumnya menggarap seri televisi. Film ini dibintangi aktor-aktor lokal, sebut saja Putthipong Assaratanakul, Usha Seamkhum, Tontawan Tantivejakul, Sarinrat Thomas, Sanya Kunakorn, serta Pongsatorn Jongwilas. Film berdurasi 125 menit ini diproduksi dan dipasarkan oleh salah satu studio besar di Thailand, GDH, yang dirilis pada bulan April lalu di negara asalnya.

Kebanyakan orang kemungkinan besar menonton karena pengaruh reaksi pemberitaan media sosial yang begitu heboh. Sampai sobat kuliah saya pun belum lama ini bertanya, apa bagus filmnya? Saya belum bisa menjawab ketika itu. Setelah menonton, rupanya Grandma jauh melebihi ekspektasi. Bagi penikmat film yang serius seperti saya, selain sisi melodramatik yang menguras emosi, rasanya banyak hal yang mustahil dipahami penonton awam, khususnya bungkus estetiknya.

Grandma ringkasnya berkisah tentang pemuda drop out, M (Assaratanakul) yang merawat sang Amah (Seamkhum) setelah divonis kanker stadium 4. M rupanya termotivasi oleh sepupunya, Mui (Tantivejakul) yang mendapat warisan rumah besar setelah merawat kakeknya. Merawat Amah di rumah tuanya, rupanya tidak semudah yang dipikir. M pun harus berbenturan dengan ibunya serta dua pamannya dengan masalah mereka masing-masing. M yang awalnya berharap materi, seiring waktu memiliki relasi khusus dan tulus dengan neneknya, tanpa disadari berubah menjadi orang yang lebih dewasa dan bijak. Plotnya sederhana, namun tidak demikian dengan prosesnya. Dimensi kisahnya begitu kompleks seperti kehidupan itu sendiri, di mana tiap orang punya kepentingan, tuntutan, dan ego yang berlainan. Isak tangis para tokohnya pada ending diiringi pula isak tangis penonton yang mengiringi perjalanan sang nenek ke rumah peristirahatan terakhirnya.

Baru beberapa menit menonton, hati kecil sudah menjerit, wow Ozu banget. Ozu? Siapa dia? Yasujiro Ozu adalah sineas Jepang klasik yang dikenal dengan film-film bertema keluarga dan gaya estetiknya yang unik. Grandma memiliki jiwa dan raga film-film karya sang sineas, atau boleh saya katakan, “Tokyo Story” versi modern. Tokyo Story (1953) adalah film karya Ozu yang boleh dibilang mewakili seluruh karyanya yang konsisten. Kita merujuk salah satu karya masterpiece Ozu ini agar mudah untuk melakukan komparasi, baik kisah, scene, dialog, shot, musik, dan lainnya. Memang tidak semua gaya sang sineas diselipkan di Grandma, namun Pat Boonnitipat mampu mengambil intisari dari film-film Ozu secara efektif dan brilian.

Tokyo Story berkisah sederhana tentang seorang pasangan tua yang kini hidup kesepian di desa. Mereka ditinggal putra dan putri tertua mereka yang telah berkeluarga dan hidup di Tokyo, serta putra termuda bekerja di Osaka. Seorang putra mereka tewas di medan perang, dan menyisakan istrinya yang bekerja sebagai pekerja kantoran. Sementara si putri bungsu tinggal bersama mereka dan berprofesi sebagai guru. Suatu ketika, mereka berkunjung ke Tokyo dan rupanya mendapat respon dingin dari putra dan putrinya yang sangat sibuk dengan pekerjaan mereka. Sementara sang menantu (istri dari putra mereka yang tewas) justru sangat berbaik hati dan mengantarkan mereka berjalan-jalan menikmati kota di tengah pekerjaan kantornya. Sesaat ketika akan bertolak ke Osaka, sang ibu mendadak sakit, dan mereka memutuskan untuk pulang. Sakit sang ibu pun bertambah parah dan tak lama meninggal. Semua anak dan menantu mereka datang ke desa untuk melayat.

Lalu di mana Grandma memiliki jiwa film-film Ozu?

Inti plot keduanya nyaris sama, yakni orang tua kesepian yang di hari-hari tuanya dan diabaikan anak-anaknya yang sibuk. Orang tua seakan menjadi beban bagi anak-anaknya. Kisah Grandma berbeda dengan Tokyo Story yang lebih sederhana. Grandma seolah menjawab masalah Tokyo Story dengan memberi solusi sang cucu yang merawat nenek. Grandma juga memiliki masalah lebih rumit akibat situasi sang nenek yang sakit keras. Situasi ekonomi selalu menjadi akar masalah. Warisan selalu diperdebatkan. Kedua film memiliki pesan senada bahwa ada sesuatu yang lebih bernilai ketimbang materi. Ini secara gamblang terselip dalam dialog-dialog di kedua filmnya.

Baca Juga  Avengers Infinity War, Is It a Masterpiece?

Ozu sering menggunakan dialog-dialog gamblang untuk menyampaikan pesannya sebagai kontemplasi dan perenungan karakternya, serta tentu kita sebagai penonton. Dalam Tokyo Story beberapa kali dialog macam ini terlontar, “Kami memiliki anak kandung sendiri tapi di antara semua, kamu (menantu) adalah yang terbaik”; “Tidak ada seorang pun (anak) yang bisa berbakti pada ibunya ketika ia sudah berada di tanah”; “Anak-anak akhirnya akan lepas dari orang tuanya, demikian pula sebaliknya, mereka punya urusan masing-masing”, “Lantas apa intinya membina sebuah keluarga? Tidakkah hidup begitu mengecewakan.”;“Jika saja saya tahu, situasi bakal seperti sekarang (kesepian), aku pasti akan memperlakukan dia (istriku) lebih baik semasa hidupnya”. Kalimat dialog Ozu begitu memukul dan tajam, dan seringkali melihat sisi gelap kehidupan untuk memberikan refleksi mendalam bagi kita.

Dalam Grandma dialog-dialog bernuansa “Ozu” juga sering terlontar. Kurang lebih beberapa dialognya antara lain, “Kita (cucu) bisa memberikan sesuatu yang anak-anaknya tidak bisa berikan, yakni waktu”; “Sejak kamu (M) tidak di sini, aku sekarang bisa memahami perasaan nenekmu yang kesepian”; “Dia (Paman M) ke sini jika punya masalah (minta uang), jika dia tidak ke sini, berarti semua baik-baik saja dan aku berharap dia tidak pernah datang ke sini”; “Semua sudah aku sediakan, biarkan putramu ini merawatmu di sini” (sang nenek hanya terdiam); “Jika ditanya siapa yang kamu paling sayangi, aku selalu bingung menjawabnya, tapi yang aku tahu, aku selalu nyaman jika bersamamu (ibu M)”. Masih banyak dialog lain yang senada dan semua ini mengingatkan betul film-film Ozu yang berujung pada pesan yang sama pula.

Apa penanda yang pertama kali terlihat dalam Grandma yang langsung merujuk pada Ozu? Itu adalah shot-shot transisinya yang diistilahkan pillow shot. Dalam pergantian adegan atau sekuen yang berbeda lokasi, sebelum masuk ke adegan berikutnya, Ozu selalu menggunakan shot-shot statis yang ditahan beberapa lama untuk menggambarkan suasana atau merujuk simbol-simbol tertentu. Jika kamu amati, Grandma juga sering kali menggunakan transisi shot senada. Jalan kereta api, jembatan, suasana rumah, gang, atau lingkungan, pelangi, detil obyek tertentu, serta lainnya. Pada adegan akhir, sang sineas mengkombinasi pillow shot secara mengesankan untuk memperlihatkan perjalanan terakhir sang nenek, dari kuil hingga ke makam. Ya, kita semua tahu, ini adalah momen paling dramatik dalam Grandma. Sang sineas sepanjang film menggunakan pillow shot dengan cara berkelas sehingga terlihat natural dan bagi saya, melampaui pencapaian Ozu.

Elemen sinematik lain yang dominan dalam filmnya senada dengan Ozu adalah ilustrasi musik. Ozu menggunakan score berupa alunan biola yang menyayat hati sementara Grandma menggunakan alunan piano yang melodramatik mengiringi banyak adegannya. Sang sineas memang cerdik memainkan perasaan dan emosi penonton dalam sebuah adegan, melalui iringan lembut dentingan piano makin membuat mata penonton berkaca-kaca. Puncaknya adalah adegan klimaks ketika mengiringi jenazah sang nenek dan intensitas musik pun meningkat. Rasanya tidak ada seorang pun yang mampu menahan emosi pada adegan ini. Ozu pun selalu melakukan hal sama menjelang credit penutup.

Satu elemen estetik lain yang tercatat punya motif kuat adalah kereta api. Dalam Tokyo Story, suara kereta maupun kereta api yang melintas menjadi semacam simbol kehidupan yang terus berjalan. Dalam adegan pembuka, kereta yang melintas selalu tampak dalam pillow shot. Namun ketika sang ibu wafat, dalam salah satu transisi shot hanya terlihat jalur rel tanpa ada kereta yang melintas. Pun ketika adegan akhir yang memperlihatkan kereta melintas menandakan kehidupan terus berjalan. Sementara dalam Grandma, kereta api yang melintas merujuk hal yang sama, yakni kehidupan/keseharian. Dalam satu momen menjelang penutup terlihat satu shot yang tak biasa, yakni ketika M berdiri terpaku karena mendengar informasi akun bank miliknya (berjumlah sangat besar) yang rupanya selama ini terus diisi sang nenek. Sesaat itu pula, kereta api melintas di dekat M secara mengangetkan hingga dua kali. Ini menggambarkan betapa kehidupan kadang mengejutkan kita dengan caranya yang misterius.

Baik secara cerita maupun estetik terlihat sekali bahwa pembuat film memahami betul Ozu. Sang sineas tidak mengadopsi style Ozu mentah-mentah, namun mengubahnya menjadi style sang sineas sendiri. Tidak semua gaya Ozu lantas ia terapkan, seperti pelanggaran aksis aksi dalam editing serta shot-shot close up yang khas. Ia mengambil gaya yang ia butuhkan sesuai dengan tuntutan naskahnya. Ozu juga tidak pernah menggunakan teknik kilas-balik, seperti halnya yang ia lakukan dalam satu adegan.

Pembahasan menyoal Ozu juga kerap dihubungkan dengan zen yang memengaruhi film-filmnya, khususnya naskahnya yang erat tentang tema kesendirian (loneliness) dan kekosongan jiwa (emptyness). Grandma juga tak lepas dari hal yang sama. Di atas semua, bukan dari mana seorang pencipta merujuk karyanya, namun adalah value dalam karyanya. Tokyo Story dan Grandma memiliki selisih waktu hampir 80 tahun, namun problema manusia dan kehidupan keluarga tetap sama. Mengutip Ozu, “Lantas apa intinya membina sebuah keluarga (jika nanti akan tercerai berai)? Tidakkah hidup begitu mengecewakan?”. Coba tanya M, ia pasti mampu menjawabnya dengan bijak. Hanya orang yang telah menjalani penderitaan hidup yang tahu betul esensi tentang kehidupan.

1
2
Artikel SebelumnyaInside Out 2
Artikel BerikutnyaThe Watchers
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.