Belum 3 minggu setelah rilisnya, media sosial memberitakan sukses Vina: Sebelum 7 Hari yang hingga kini telah melewati 5 juta penonton. Ini terhitung sebuah pencapaian fenomenal dan angka ini pun masih terus merayap naik. Tren horor masih menjadi magnet terbesar penonton lokal dan kini ditambah segala sensasi pemberitaan dengan beragam kontroversinya membuatnya makin menggila suksesnya.

Vina: Sebelum 7 Hari digarap oleh Anggie Umbara, sineas spesialis komedi yang beberapa tahun belakangan ini sering menggarap film-film horor, sebut saja, Si Manis Jembatan Ancol, Khanzab, Siksa Neraka, hingga Munkar. Seperti kita semua tahu, kisah Vina diambil dari kejadian nyata pada tahun 2016, di mana sepasang muda-mudi dianiaya dan dibunuh secara mengenaskan yang hingga kini kasusnya bahkan belum tuntas. Film ini dibintangi oleh Nayla Denny  Purnama, Fahad Haydra, Gisellma Firmansy, hingga pemain senior kawakan, Lidya Kandou dan Pritt Timothy. Lantas bagaimana kualitas filmnya sendiri, apakah seheboh pemberitaannya?

Vina (Purnama) dan Linda (Firmansy) menonton satu pertunjukan seni di alun-alun Cirebon. Mereka berdua diantar pulang oleh dua rekannya, dan Vina diantar oleh Eky. Rupanya naas pun menghampiri Vina dan Eky, mereka dianiaya dan dibunuh secara brutal oleh sekelompok geng motor. Anehnya, polisi di TKP menganggap peristiwa tersebut adalah kecelakaan tunggal. Keluarga Vina yang berduka mendalam hanya pasrah menyelesaikan perkara pada pihak kepolisian. Seorang jurnalis muda bernama Dani merasa ada yang janggal dengan peristiwa tersebut dan mulai melakukan investigasi secara mandiri. Sementara Linda membaca surat yang diberikan Vina sebelum meninggal dan dari isinya mengindikasikan adanya perundungan pada sahabatnya oleh rekan-rekan satu sekolahnya. Linda pun akhirnya memberikan semua informasi yang ia tahu pada Dani. Dalam satu momen, sang gadis pun kerasukan Arwah Vina dan fakta baru pun terkuak.

Film biografi atau dokudrama semacam ini lazimnya selalu ditengok dari aspek dramatisasi adegannya. Realita selalu datar dan membosankan, dan tuntutan penonton membuat para pembuat film terpaksa melakukan perubahan-perubahan yang dianggap bisa membuat kisahnya menjadi lebih intens dan menarik. Vina pun bernasib sama, terlebih unsur horor masuk di dalamnya. Kita pun tak tahu persis, apa yang sebenarnya ditambah dan dikurangi. Apakah benar peristiwa kesurupan roh Vina sungguh-sungguh terjadi dan sang arwah bisa menggambarkan semua peristiwa dan pelakunya dengan rinci? Apakah benar arwah Vina, bak film-film Suzzanna, menganiaya sang pelaku secara brutal seperti yang ditampilkan dalam satu adegannya?

Bicara soal kisahnya, sebenarnya Vina memiliki premis yang menarik di luar aspek horornya yang jelas terasa sedikit berlebihan. Misteri kematian Vina secara perlahan diungkap melalui aksi investigasi sang jurnalis, ditambah segmen kilas-balik melalui perspektif Linda makin menegaskan ini. Sayangnya, sisi horor justru merusak mood aksi investigasi yang berujung membuat segalanya menjadi sia-sia. Naskahnya memilih untuk memberatkan sisi horor dengan show spektakuler arwah Vina yang merasuki Linda. Konon pengadeganan ini didasari atas rekaman suara yang sungguhan terjadi. Entah ini sungguhan atau tidak, bukan masalahnya. Jika arwah Vina bisa membalaskan langsung dendamnya seperti tersaji di film, mengapa ia harus bersusah payah untuk merasuki Linda? Ini sungguh pilihan konyol yang semata untuk kepuasan penonton. Sisi supernatural sebenarnya bisa digunakan untuk menguatkan sisi investigasinya, bukan sebaliknya, walau ini pun sudah sering kita lihat dalam banyak film. Dimensi horor (arwah pendendam) dan investigasi yang sifatnya ilmiah dan nyata (dokudrama) bukanlah satu kombinasi yang tepat.

Baca Juga  Sekilas Sinematek Indonesia

Bicara aspek horornya pun tidak istimewa. Beberapa jump scare tipikal sudah mampu membuat seisi bioskop menjerit tidak karuan. Penonton sepertinya terlalu terbawa suasana. Sang sineas jelas sudah terbiasa melalui pengalamannya membuat beberapa film horor sebelumnya, namun tidak mampu membuat sesuatu yang segar seperti yang ia lakukan dalam Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (bersama Rocky Soraya). Suara gemeretak arwah Vina yang memakan es batu, justru lebih mengintimidasi ketimbang jump scare-nya. Poin besar sisi horornya jelas semua tertumpu pada adegan Linda yang kerasukan arwah Vina yang begitu emosional. Beberapa dialognya justru terasa menggelikan mengingat setelahnya, Vina sendiri yang beraksi membabi buta menghajar habis sang dalang. Sekilas ada penonton berbisik, “ habisi aja semua” (bahasa jawa). Itu yang penonton inginkan, bukan?

Di luar segala kontroversinya, Vina: Sebelum 7 Hari berhasil memaksimalkan kekuatan sensasi melalui pencapaian cerita dan teknik yang medioker. Seperti sudah disinggung di atas, horor dan dokudrama bukan satu perkara mudah untuk disilangkan. Beda jika kisahnya adalah murni fiksi (rekaan). Hasilnya adalah sebuah film “horor” yang tanggung, namun rupanya tidak untuk media massa. Sebuah tagline pun muncul di media, “Kisah Vina belum selesai”. Pemberitaan media menjadi asyik dikuntit seolah ini menjadi episode lanjutan dari filmnya. Desakan para netizen semakin menguat dan memanas. Kasus ini kembali diangkat pihak kepolisian dan masih ramai dibincangkan hingga detik ini.

Entah apa pun hasilnya, semoga polemik “Vina” bisa segera berakhir dan berharap ini adalah film yang pertama dan terakhir. Semoga para pembuat film tidak lantas latah mengikuti tren ini dengan membuat “Vina-Vina” lainnya diangkat ke layar lebar. Walau menilik sebelumnya rasanya mustahil. Ini adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah produk yang sukses dan ini bakal menjadi satu hal yang memilukan. Alangkah tidak eloknya jika industri film kita dikenang dengan menjual sebuah tragedi. Kita lihat saja dan biarkan waktu yang menjawab.

1
2
Artikel SebelumnyaTarot
Artikel BerikutnyaAtlas
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.