Muncul kembalinya patriot super dalam arus sinema kita belakangan ini nampak memperlihatkan kegairahan baru. Pasalnya, kehadiran film patriot semacam ini telah menggeser dan merespon dominanya etalase film Hollywood dalam pasar domestik kita. Bahkan secara glorifikatif, ia dinilai mampu berperan mengharumkan nama bangsa.

Meskipun demikian, kemunculannya pun mesti dibaca sebagai efek ketergantungan kita terhadap asupan hiburan impor yang masif. Efek ketergantungan tersebutlah yang mendorong produsen film nasional untuk terlibat memproduksi sosok-sosok superhero lokal yang optimistik sekaligus tragik. Setidaknya kehadirannya mampu menadahi imajinasi kita akan sosok superhero Amerika yang hadir di tengah lanskap dan realitas lokal, serta awak kreatifnya dipegang oleh anak bangsa itu sendiri.

Dewasa ini, setelah Amerika berhasil menginfus dopamin kepada selera publik kita melalui film jagat superhero-nya. Industri film nasional nampak tak ingin ketinggalan untuk masuk ke dalam jagat yang sama. Masuknya kompetitor baru tersebut tidak diimbangi dengan iklim riset dan exercise yang matang. Alhasil, strategi dan basis wacana yang ditawarkan hanya menduplikasi cara arus utama yang berlangsung di Amerika.

Sebagaimana dalam film Gundala (2019) yang digarap dan naskahnya ditulis langsung oleh Joko Anwar. Dalam Jagat Sinema Bumilangit, ia dibebankan menjadi sosok penentu bagi hadirnya pahlawan-pahlawan lokal lainnya. Ia hadir ketika para pedagang pasar tidak kuasa menghadapi para preman yang kerap mengganggu mereka. Ia hadir ketika institusi kuasa menjalin relasi kuat dengan sosok pemegang kapital yang hendak mendegradasi moral anak bangsa. Maka kehadiran Gundala diperlukan untuk mengatasi segala bentuk ke-chaos-an yang hanya mampu ditangani melalui kekerasan dan kemampuan super.

Beralih dari Gundala munculah sosok patriot lain bernama Sri Asih (2022), dengan penggarap dan naskah yang ditulis oleh Upi. Berbeda dengan Gundala yang hadir di kalangan masyarakat pinggiran yang kehilangan harapan, Sri Asih hadir dengan modal kapital dan sosial yang menjanjikan. Modal yang matang tersebutlah yang membuat motivasi dan keberpihakan Sri Asih terhadap masyarakat pinggiran menjadi sangat angkuh sekaligus mentah. Selain itu, kehadirannya dalam Jagat Sinema Bumilangit membawa beban mulia, yakni sebagai satu-satunya yang mampu menyelamatkan 1000 jiwa dari praktik pertumbalan. Sebagaimana dalam film Gundala, hanya dialah yang mampu mengatasi segala bentuk ke-chaos-an yang diproduksi oleh institusi kuasa dan kapitalisme.

Representasi Manusia Idealis

Patriotisme super dalam arus sinema kita belakangan ini, muncul atas konsekuensi imaji bahwa individu adalah agen perubahan. Gelagat semacam ini dapat dibaca melalui proyek ambisius yang dipelopori oleh Jagat Sinema Bumilangit. Melalui spirit “Negeri Ini butuh patriot”, lanskap politik dan kapital kita yang khaostik, memicu hadirnya patriot super yang dengan kemampuannya sendiri dapat menangani segala bentuk ke-chaos-an di negeri ini.

Pun juga dasar hipotesis yang digunakan mengandaikan situasi di mana masyarakat kita hari ini adalah sarang kepalsuan. Di mana segala bentuk institusi dan tatanan kuasa yang bekerja di dalamnya, justru mengarah pada hipokrisi, serta masyarakatnya terancam mengalami dekadensi moral. Mungkin bagian dari rasa frustasi untuk merespon realitas hari ini yang nampak berlapis dan tak mungkin dapat diselesaikan.

Maka untuk mengupayakan adanya suatu perubahan tatanan, diperlukan peran sosok sebagai agen perubahan. Itulah sebabnya dalam sinema patriot super, kehidupan masyarakat yang terancam akan segera membusuk selalu menjadi dalih untuk memunculkan sosok individu pemberontak yang optimistik sekaligus tragis. Ia digambarkan optimis karena hanya dan oleh karena dialah perubahan dapat terjadi, ketika tatanan masyarakat dalam frame digambarkan secara biner—baik atau buruk—maka ia adalah tolak ukur dari kebaikan itu sendiri. Ia adalah individu yang bebas dan tidak lagi tercemari oleh kepentingan ideologis maupun institusi. Dan kebebasannya murni hanya ia pertaruhkan untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang kalah. Dengan kata lain, individu tersebut memiliki idealisme yang kuat, visi pribadi yang antihipokrisi, sekaligus berani mempertaruhkan risiko demi keadilan.

Sedangkan titik tragisnya terletak pada eksistensinya yang justru digambarkan begitu naif. Pertama, Ia terlampau naif merespon problem disekitarnya dengan hipotesis biner. Seolah realitas dunia ketiga seperti kita hanya berkubang pada tolak ukur baik atau jahat, benar atau salah, kaya atau miskin.

Baca Juga  Membaca Pengabdi Setan 2: Communion, KKN di Desa Penari, dan 5 Tahun Genre Horor Indonesia

Kedua, ia terlampau naif mengabaikan peran individu dalam masyarakat. Sebagaimana cara pandang sang patriot, individu lainnya tak memiliki kesadaran dan kemampuan yang setara dengan dirinya. Individu semacam ini cenderung digambarkan sebagai sosok protagonis yang akan menjadi ruler bagi para pasukannya. Di mana sang patriot akan memperjuangkan adanya suatu perubahan yang lebih adil, akan tetapi ia sendiri tak dapat menjamin bahwa perubahan tersebut akan lebih baik ketimbang kondisi mereka sekarang.

Konsekuensi dari cara berpikir sang patriot semacam ini cenderung mengabaikan peran manusia dan relasi masyarakat di sekitarnya. Mereka hanya dihadirkan sebatas pelengkap artistik atau perabotan berdarah daging yang kebetulan diberi frame. Mereka pun tak punya kendali untuk menggerakan cerita, bahkan tanpa kehadiran mereka cerita masih tetap berjalan. Selagi sang patriot sedang berjuang, mereka hanya perlu menyerahkan nasib mereka di tangan sang patriot. Sebagaimana kita ketahui bahwa gelagat semacam ini rentan memicu adanya otoritarianisme, karena tak ada lagi yang mampu menyaingi kuasa dan kemampuannya.

Patriotisme yang Latah

“Kita tak butuh patriot, kita butuh individu-kolektif yang berdaya”

Patriotisme dalam arus sinema kita di tengah desakan pasar film bertemakan superhero, tampaknya dapat dibaca sebagai gelombang baru yang meluber dan tak lagi mampu disaring. Meskipun individu-individu super yang ditampilkan, telah disesuaikan dengan latar konflik khas Indonesia. Akan tetapi, tesis dasar yang memantik kehadirannya cenderung menduplikasi model dan aksiologis individu-modernis yang muncul dari Amerika.

Model semacam ini mengandaikan suatu sosok yang dapat terbang melawan gravitasi, bergerak cepat seperti kilat, hingga mampu melempar lawannya ke udara. Sosok yang mampu menangani segala permasalahannya seorang diri, tanpa terlihat rapuh dan membutuhkan bantuan dari orang lain.

Mungkin beginilah resiko sebagai negara bagian ketiga seperti kita, selalu latah sebagai artikulator gagasan, dan cenderung menduplikasi selera dari dunia pertama. Maka ramuan wacana, kreativitas, spektrum permasalahan, hingga tujuan dari tatanan ideal yang diproduksi oleh dunia pertama, nampak tercampur dan nyaris tanpa disaring dengan baik. Upaya memproduksi film superhero lokal menjadi semata-mata hanya untuk memukau penonton melalui eksibisi visual yang megah, serta seperangkat teknologi yang canggih. Seperti halnya ketika kita terpukau menyaksikan eksibisi visual dan teknologi yang disajikan oleh film superhero Amerika.

Jika film bertemakan patriot-super masih optimis melanggengkan narasi individu sebagai agen perubahan. Konsekuensinya, ia rentan menjadi kebenaran publik bahwa tatanan di negara dunia ketiga hari ini hanya cukup menggantungkan nasib kepada seorang patriot. Mengabaikan peran manusia sebagai kolektif dan justru memicu hadirnya sebuah rezim baru yang sama sekali tak memberi tawaran dan tatanan yang lebih baik.

Maka untuk menawar gelagat semacam ini dibutuhkan individu dan kolektif yang berdaya. Keberdayaan mereka diungkapkan dengan menolak ketergantungannya terhadap sang patriot, serta mampu membangun basis kolektifnya untuk merespon dan mengupayakan tatanan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri.

Sejalan dengan itu, Otty Widasari dalam tulisannya “Menggugat Konstruksi Sejarah”, memaparkan tesis menarik bahwa jika media arus utama tidak memiliki tandingan, dia akan menguasai persepsi dan budaya masyarakat secara massif. Dengan pemahaman lain bahwa jika model sinema Amerika (yang individual dan optimistik) masih menjadi arus utama dan kita cukup bergantung terhadapnya, konsekuensinya masyarakat kita akan menerima segala bentuk tata nilai yang mereka suapi kepada kita sebagai kebenaran.

Sedangkan kebenaran yang mereka suapi, justru latah merespon lanskap realitas yang berlangsung di negara dunia ketiga seperti kita. Di mana segala bentuk permasalahan berlapis yang hadir di negara dunia ketiga, akan sangat rapuh jika mesti menunggu seorang patriot. Permasalahan berlapis tersebut mesti direspon dan diupayakan pula secara kolektif. Menunggu hadirnya seorang patriot seperti halnya rasa frustasi kita ketika menunggu janji-janji manis yang keluar dari mulut para pejabat.

 

Mohamad Ichsanudin Adnan

Lahir dan besar di Yogyakarta, saat ini sedang menjalani karir sebagai penulis di Tirto.id. Basis wacana dan kepenulisannya dibangun melalui kepenulisan lakon di teater kampus, serta sempat terlibat sebagai aktor dan sutradara film di kampusnya.

SUMBERBy Mohamad Ichsanudin Adnan
Artikel SebelumnyaThe Flash
Artikel BerikutnyaExtraction 2

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.