Film horor tengah berada di atas angin tahun ini. Sejak kemunculan fenomenal Pengabdi Setan (2017) lima tahun silam yang menggebrak kancah perfilman horor tanah air. Dua judul yang menduduki peringkat teratasnya sebagai peraih angka penonton terbesar kiwari adalah KKN di Desa Penari dengan 9.233.847 dan Pengabdi Setan 2: Communion dengan 6.390.970 (filmindonesia.or.id). Namun dengan angka-angka sebesar itu, apakah sepadan dengan kualitas masing-masing?

KKN memang terlaris, tetapi film ini bukanlah yang paling bagus di antara seluruh film Indonesia untuk setidaknya dua dekade ke belakang. Apalagi bila dikomparasikan dengan film lain sesama genrenya. Sangat tidak adil rasanya di satu sisi. Tetapi di sisi lain kompetisi film bagus dan film laris di Indonesia ini sudah bukan barang baru. Contohnya bahkan dapat kita jumpai dengan mudah. Tidak hanya dalam kasus genre horor.

Mempertimbangkan ihwal terlaris belum tentu paling bagus, mari kita buatkan pemeringkatan yang tidak didasarkan pada angka penonton, misalnya dalam kategori genre horor dalam lima tahun ke belakang.

Tinjauan Film

Diurutkan berdasarkan kualitas, bukan nominal angka penonton.

  1. Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Salah satu poin terpenting dari pencapaian sekuel Pengabdi Setan ini ialah pada aspek suasananya. Lagipula sang sineas telah kali ketiga ini menggarap genre horor maupun thriller dengan baik, selayaknya telah jadi ciri khasnya. Walau tak ada pengakuan resmi. Kita bisa lihat itu bersama selain dari Pengabdi Setan 2: Communion dan film pertamanya, juga ada Perempuan Tanah Jahanam.

Kendati demikian, Pengabdi Setan 2: Communion pun tak ubahnya semacam tribute berbagai film horor dari luar negeri. Ada banyak sekali trik-trik horor yang telah umum kita saksikan dalam beragam film horor dimasukkan oleh sang sineas ke dalam filmnya. Sebagaimana pembahasannya dalam Pengabdi Setan 2: Communion, Sebuah Tribute Horor untuk Horor?, dan salah satu yang paling kentara ialah trik horor dari Lights Out (2016). Walau bagaimanapun, tetap patut diakui jika dibandingkan dengan keseluruhan film horor Indonesia, Pengabdi Setan 2: Communion memang yang paling unggul untuk saat ini.

  1. Pengabdi Setan (2017)

Kita semua perlu menyetujui fakta ini terlebih dulu, bahwa Pengabdi Setan memuncaki klasemen sebagai film horor terlaris selama hampir lima tahun, sampai KKN melesat di atasnya. Sepanjang masa-masa pencapaian Pengabdi Setan tersebut –terutama pada awal-awal prestasinya, film horor serasa memiliki titik terang dengan keberadaannya. Rasanya sekian juta penonton yang film ini peroleh sepadan dengan kualitasnya yang memang bagus. Menjadi tidak perlu dipersoalkan, karena rasanya memang sudah sepantasnya didapatkan. Bahkan kerap kali film-film horor sesudahnya mengacu pada format Pengabdi Setan, meski kebanyakan tak berhasil.

Sampai hari ini pun, Pengabdi Setan masih menjadi film horor terbaik Indonesia –setidaknya sebelum sang sekuel muncul. Tanpa perlu kita pedulikan jumlah penontonnya (4.206.103) yang berada di bawah KKN di Desa Penari.

  1. Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018)

Setahun berselang usai sang budak setan (2018), salah seorang sutradara paling rajin yang kita punya, Anggy Umbara juga menjajal peruntungannya dalam mengarahkan genre horor. Tandem dengan Rocky Soraya. Film tribute atas sosok horor legendaris tanah air, Suzzanna, dan sederet film-filmnya ini menyusul capaian horor Pengabdi Setan dengan mengandalkan apapun yang dimilikinya. Mulai dari menggabungkan beberapa judul dari film-film terdahulu, memaksimalkan sosok horor Suzzanna melalui Luna Maya, hingga perkara setting-nya.

  1. Perempuan Tanah Jahanam (2019)

Dua tahun pasca-Pengabdi Setan tayang (2019), sineasnya kembali dengan judul baru dan masih membawakan genre serupa. Rilis film ini hampir dapat memastikan para sineas tanah air telah memegang dengan kuat dan menguasai nyawa genre horor dalam negeri. Setidaknya pada masa itu. Walau tanpa pengakuan publik sekalipun, boleh jadi sang sineas memang lebih cocok mengerjakan genre ini ketimbang yang lainnya. Melihat bagaimana capaian film dalam rekam jejaknya selama ini. Bahkan sang sekuel budak setannya, Pengabdi Setan 2: Communion pun mengungguli film-film Joko Anwar sebelum-sebelumnya. Terutama dari genre yang sama.

  1. Affliction (2021)

Affliction seakan menjadi konfirmasi atas film-film horor sebelumnya, bahwa penggunaan suasana horor yang maksimal mampu membuat film tersebut berhasil. Film yang notabenenya minim penampakan dan bahkan cenderung thriller misteri pembunuhan ini sudah mampu mengolah unsur horornya dengan baik, hanya dari suasana. Meski sineasnya bukanlah nama yang kerap kita dengar, khusus dalam kancah perfilman horor tanah air. Namun, setidaknya ia dapat memahami dengan baik, apa dasar dari sebuah film horor yang sesungguhnya.

Teddy sebagai sang sineas pada waktu itu pun bermain-main dengan salah satu disparitas pengetahuan dalam sebuah teknis penulisan cerita, yakni rasa penasaran atau keingintahuan. Salah seorang penulis skenario era lama, Elizabeth Lutters menyebutkan dalam bukunya, Kunci Sukses Menulis Skenario, sebagai Curiosity.

  1. Tiga Seri Danur (2017, 2018, 2019)

Serangkaian film-film Danur merupakan fenomena lain dalam sinema horor kita. Kita pun sudah melihat bagaimana semesta sinematiknya memosisikan diri masing-masing untuk mengukuhkan dunia cerita dari Danur itu sendiri melalui Asih, Asih 2, dan Ivanna. Bicara ihwal Danur sudah bukan lagi soal suasana horor sebagai media dasar, tetapi sudah melangkah ke ranah yang lebih jauh, yakni terbentuknya sebuah dunia cerita yang luas. Pengaruh film-film Danur dan setiap spin-off-nya terhadap perfilman horor tanah air terdapat dalam Asih 2: Cermin Horor Indonesia Kontemporer.

Kendati tak benar-benar melewati level lima film sebelumnya, seri Danur punya peran tersendiri yang cukup vital dalam perfilman bangsa. Bukan hanya sebagai bagian dari genre horor, melainkan pula untuk keseluruhan sinema secara luas karena bentuk semesta sinematiknya. Kini, konsep yang telah menjadi sangat umum terlebih dahulu di perfilman dunia tersebut mulai dipakai pula oleh judul-judul film lain dari dalam negeri. Sebut saja Gundala dan Sri Asih yang akan rilis tak lama lagi. Ada pula Satria Dewa: Gatotkaca yang telah rilis beberapa bulan lalu, namun malah berujung flop.

Sebentar lagi juga akan segera rilis Jagat Arwah dari produksi Visinema, dengan kisahnya yang hendak mempertemukan legenda rekaan, unsur kekuatan super, manusia pilihan, barisan penjaga, dengan hal-hal mistis dan supernatural. Tak jadi soal, selama grand design ceritanya solid dan tidak sekadar berambisi untuk mengimpresi penonton lewat film pembuka. Kita sudah lihat bagaimana ambisi semacam ini yang tidak didukung dengan kematangan naratif, malah merusak Gundala dan Satria Dewa: Gatotkaca.

  1. Pocong The Origin (2019)

Salah satu sosok hantu dengan kepopuleran setara dengan kuntilanak, yakni pocong, juga mendapat ruang eksplorasinya melalui tangan Monty Tiwa. Pada masa rilisnya, film ini boleh jadi merupakan satu di antara sedikitnya sinema genre horor dalam negeri yang cukup progresif, baik dari segi ide maupun cara pengemasannya. Lagipula ia pun telah beberapa kali bereksperimen dengan memadu-padankan genre yang tak umum disatukan. Misalnya komedi-thriller dari Reuni Z, horor-petualangan dalam Barakati, kemudian horor-road movie dalam Pocong The Origin.

Monty Tiwa, pada gilirannya, sadar atau tidak menambah bentuk lain dalam menghadirkan genre horor ke dalam khazanah perfilman horor Indonesia. Walau tidak semua dari ketiga eksperimennya tersebut berhasil. Salah satu unsur yang menjadikan Pocong The Origin terbilang berhasil pada waktu itu –yang juga telah berulang kali disinggung pula sebelumnya, yakni pemanfaatan setting dan memaksimalkan suasana horor di dalamnya. Walau keunggulan horor dalam film ini belumlah sepadan dengan lima film yang disebutkan pertama.

  1. Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018)

Film ini boleh jadi tidaklah seterkenal film-film horor lain yang rilis pada tahun yang sama, sebelum, atau sesudahnya. Meski hadir dengan konsep serupa Pengabdi Setan yang rilis setahun sebelumnya (2017), Kafir: Bersekutu dengan Setan nyatanya tidak bernasib sama. Kendati menawarkan kekuatan setting dan ketegangan cerita sebagai unsur horor alih-alih sosok-sosok hantu, tetap saja tak membuat namanya diingat hingga hari ini. Atensi yang datang padanya rupanya tidak sama besar. Bahkan, berapa persen dari penonton film horor tanah air yang masih mengingat sempat ada film ini pada tahun 2018 lalu? Lantas apa yang salah dari film ini? Mengapa meski nuansanya sama dengan Pengabdi Setan, nasibnya malah berbeda?

Apa yang dialami oleh Kafir: Bersekutu dengan Setan sedikit-banyak menunjukkan ketidakajegan formula, walau dalam ranah genre horor sekalipun. Sineas bisa saja memakai suasana seram, lokalitas, trik-trik horor umum, unsur klenik, hingga penampakan sosok hantu. Penulisnya pun sah-sah saja memadu-padankan beberapa genre yang tak umum atau bereksperimen dengan sejumlah format. Namun, film tetaplah film. Membaca formula paling cocok untuk sebuah judul agar berhasil secara komersial (menarik lebih dari satu juta penonton) di bioskop bukan hanya cukup dengan dua atau tiga cara. Boleh jadi, penyebab atensi minim terhadap film ini daripada Pengabdi Setan terletak pada kekuatan IP-nya. Kita akan bahas lebih jauh ihwal IP ini pada sub yang berbeda.

Pada Pengabdi Setan, kontan saja film remake ini sudah punya konsumennya terlebih dahulu. Terlepas dari bagaimana penampilan filmnya saat masa pemutaran, tetapi kemunculannya saja sudah menarik perhatian khalayak. Terutama dengan adanya nama sang sineas sebagai sutradaranya. Ia sendiri sudah mampu mendatangkan penonton ke bangku-bangku bioskop.

  1. Kuntilanak (2018)

Kuntilanak pernah dibahas tuntas dan mendetail dalam Asih 2: Cermin Horor Indonesia Kontemporer tahun lalu. Keberadaannya sebagai sosok hantu terpopuler di kalangan genre horor tanah air tak terbantahkan. Kedekatan mitologisnya dengan masyarakat kita tak terelakkan. Para sineas film horor dalam negeri pun seakan selalu melihat peluang untuk mengeksplorasi sosok ini lewat film-film arahan mereka. Kita pun sudah teramat sering melihat bentuk-bentuk filmnya. Misalnya dua film dari seri Danur, maupun seri Kuntilanak garapan Rizal Mantovani. Film-film dengan sosok hantu kuntilanak barangkali merupakan yang terlawas dibanding sosok-sosok hantu lainnya. Kita bisa lihat segi lawas tersebut berdasarkan trik dan alasan kemunculan sang hantu, pemicu dan perantara kehadirannya, faktor pembalasan dendamnya, hingga cara untuk mengalahkannya.

Beberapa bulan lalu, Rizal kembali dengan Kuntilanak 3 (2022)-nya untuk mencoba mengakhiri seri ini dengan cara yang berbeda. Alih-alih berkutat dengan lingkungan yang terlalu klenik, ia memadukan kuntilanak dengan unsur kekuatan super dalam diri anak-anak, dan sebuah sekolah yang dapat mendidik mereka tentang cara menggunakan kekuatan masing-masing. Sang sineas dan penulisnya menjajal kombinasi fantasi supernatural ke dalam unsur horor sosok kuntilanak. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya di atas, film horor dengan sosok lama seperti kuntilanak perlu digarap dengan gaya yang berbeda jika ingin menarik lebih banyak pemirsa. Kendati gagasan yang digunakan untuk menciptakan Kuntilanak 3 pada waktu itu tidak diimbangi dengan baik oleh olah naratif dan sinematik yang sepadan dam mumpuni. Sia-sia saja pada akhirnya ketika lokalitas hantu kuntilanak hendak dikerjakan dengan ide yang menarik, namun eksekusinya kurang matang.

  1. Silam (2018)

Silam barangkali merupakan salah satu film lain dengan nasib serupa Kafir: Bersekutu dengan Setan. Berapa banyak dari kita, penonton sinema horor tanah air yang mengingat film ini? Padahal cara pengemasannya yang memakai loop plot cukup bagus pada masanya (2018). Film ini pun mengadaptasi salah satu novel karya Risa Saraswati yang kita kenal bersama dari seri Danur. Walau Silam berdiri sendiri di luar semesta cerita Danur, pengemasannya yang baik layak dipertimbangkan sebagai satu di antara segelintir film-film horor layak tonton dari dalam negeri. Kehadirannya mestinya dapat menjadi khazanah dalam perfilman horor bangsa. Namun dewasa ini, agaknya judul Silam benar-benar telah tenggelam dalam kenangan dari masa silam.

Baca Juga  Film-Film Animasi Pendek, My French Film Festival

Sukar sekali rasanya jika ada sebuah film, terlepas sebagai genre horor atau bukan, untuk dikenang dalam waktu yang lama oleh penonton ketika kehadirannya tidak menggemparkan jagat sinema tanah air. Saat film tersebut hanya mampu menunjukkan hasil dengan kualitas rata-rata standar film dalam negeri dan berdiri sebagai medioker semata. Tidak booming sebagai film horor sukses komersial –alias laris di pasaran, tidak pula berdiri sebagai film horor terbaik dalam hal kualitas aspek filmis. Terlebih, ketika faktor-faktor penentu keberhasilan sebuah film kiwari ada banyak sekali ragamnya. Bahkan kerap kali tak sekadar hanya dari aspek filmisnya saja. Lihat saja bagaimana KKN di Desa Penari melakukan aksinya beberapa bulan lalu.

  1. Si Manis Jembatan Ancol (2019)

Setahun usai Suzzanna: Bernapas dalam Kubur, Anggy menggarap sosok hantu wanita ikonik lain, yakni si Manis dari Jembatan Ancol. Boleh jadi setelah tahu ada satu formula yang baik dalam mengerjakan sebuah film horor, ia menjajal peruntungannya kembali melalui sosok yang berbeda setahun kemudian. Padahal meski terdapat kemiripan antarsosok si Manis dan Suzzanna sebagai arwah pembalas dendam, keduanya punya perbedaan yang kentara dari segi asal peristiwa pula sosoknya. Serupa, tetapi tak sama. Si Manis adalah sosok dari urban legend di sekitar Jembatan Ancol, sementara Suzzanaa ialah bintang horor ikonik dari era sinema klasik Indonesia. Walau memang Si Manis Jembatan Ancol pernah memiliki serial televisinya, dan Suzzanna dengan film-filmnya.

Lagi-lagi sosok hantu wanita punya daya tawar yang cukup kuat dalam perfilman horor bangsa. Kendati tak terlalu jelas sosok hantu berjuluk si Manis ini adalah kuntilanak atau bukan. Namun satu hal pasti, santernya mitos mengenai kisahnya di seputaran Jembatan Ancol bukanlah hal yang remeh-temeh untuk tidak diangkat menjadi karya audiovisual, baik serial televisi pada masa itu maupun film. Anggy lantas melihat peluang ini dan tak segan mengerjakannya. Walau secara aspek filmis, hasil akhirnya rupanya tak sebesar ambisi sang sineas. Ini sekali lagi membuktikan, bahwa satu atau dua formula dalam mengerjakan sebuah film bergenre horor tidaklah cukup untuk menjadikannya sukses filmis maupun komersial. Butuh lebih banyak dari itu, dan Anggy hanya terpaku pada sebagian kecil di antaranya.

  1. KKN di Desa Penari (2022)

Film KKN di Desa Penari memang fenomenal pada Mei lalu. Perolehan angkanya bahkan mencapai 9.233.847. Melebihi film terlaris Indonesia sejak tahun 2016, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 dengan 6.858.616-nya (filmindonesia.or.id). Raihan angka ini pun dielu-elukan oleh banyak orang dari berbagai kalangan. Namun meski demikian, tidak sedikit pula pihak-pihak yang menilai rendah film ini berdasarkan sudut pandang dan standar aspek-aspek filmis.

Namun di samping semua fakta pencapaian KKN di Desa Penari dan rekor baru penonton yang ia dapatkan, film Indonesia tetap “masih” belum bisa dinilai bagus atau tidaknya berdasarkan angka penonton. Sampai dengan hari ini, film-film lokal kita yang dinilai laris karena bisa mendatangkan 1 juta penonton (baca: box office), tidak semuanya merupakan film-film dengan kualitas jempolan. Demikian pula sebaliknya. Film-film tanah air dengan kualitas filmis yang mapan tidak selalu mendapat antusias besar dari masyarakat.

Momentum Perilisan

Meledak atau tidaknya jumlah penonton untuk sebuah film di bioskop nyatanya dipengaruhi pula oleh faktor momentum perilisan. Pada momen atau masa apa film tersebut dirilis. KKN di Desa Penari misalnya. Rilis pada momentum hari lebaran, dan spirit dari banyak orang untuk kembali meramaikan bioskop seusai menahan diri karena pandemi selama dua tahun. Bukan waktu yang sebentar untuk tidak menikmati hiburan film di bioskop terlebih dulu.

Meski pergerakan film-film (terutama horor lokal) untuk kembali ke bioskop telah dilakukan oleh beberapa judul. Misalnya Makmum 2, Kuntilanak 3, maupun Ivanna. Namun ada satu perbedaan besar di antara ketiga judul ini dengan KKN di Desa Penari. Mereka sudah kalah terlebih dulu dari aspek “viral”-nya. Walau ketiganya sama-sama merupakan sekuel dari judul-judul yang telah tenar terlebih dulu. Nyatanya tetap tidak dapat menarik penonton sebanyak KKN.

Memang patut diakui, bagaimanapun, pemilihan momentum hari lebaran untuk merilis KKN amat jitu. Selain bertepatan dengan kabar ihwal pandemi yang tampak melandai, masa-masa lebaran adalah kesempatan liburan bagi khalayak umum. Jadi jika ada sebuah film dengan potensi kekuatan IP besar rilis pada masa-masa ini, maka peluangnya untuk menarik jutaan penonton ke bioskop pun pasti besar. Walau dua tahun seluruh penonton sinema di Indonesia telah berkutat dengan gawai masing-masing menonton film lewat platform OTT. Namun, menikmati film di bioskop sebagai hiburan dan kesempatan untuk refreshing memang tidak tergantikan bagi mereka.

Tingkat Viral dan Kekuatan IP/Judul

KKN di Desa Penari memiliki satu nilai lebih di luar ihwal horornya, yakni dari kekuatan judulnya sendiri. IP-nya telah lebih dulu viral dalam platform Twitter selama rentang waktu yang cukup lama. Banyaknya media yang pada waktu itu membicarakan tentang IP tersebut kian menaikkan pamor. Mulai dari media digital hingga kanal-kanal YouTube. Tidak sedikit pula yang melakukan penelusuran lokasi asli desa maupun kabupaten yang menjadi tempat KKN dalam cerita. Bahkan sampai film KKN di Desa Penari telah rilis di bioskop dan bertengger selama beberapa pekan, orang-orang tetap berupaya mencari lokasi aslinya. Melihat fakta di lapangan dengan antusiasme sebesar itu, terang saja KKN di Desa Penari menarik minat jutaan orang ke bioskop. Kendati kualitas dari aspek filmisnya sendiri tidaklah setinggi itu.

Aspek kekuatan IP tidak diragukan lagi amat penting. Banyak film yang kini menduduki 30 peringkat atas sebagai film terlaris sepanjang masa, bermula dari IP yang kuat (30 Film Indonesia Terlaris Sepanjang Masa). Sebut saja karya-karya adaptasi dari buku seperti ketiga seri Danur –yang kebetulan dikerjakan oleh sutradara KKN. Jarang sekali film-film tanpa modal cerita viral atau IP kuat menduduki peringkat teratas film-film laris. Khususnya untuk kasus genre horor. Jikapun bukan berangkat dari modal tersebut, nama sutradaranya lah yang mengundang banyak penonton. Misalnya Perempuan Tanah Jahanam.

Treatment Film Bergenre Horor

Lantas, seperti apa treatment terbaik dalam menggarap sebuah film dengan genre horror? Apa yang semestinya dilakukan para pembuat film tersebut? Baik dari segi cerita maupun teknis visualisasinya.

Ada batasan yang agaknya sukar ditembus oleh film-film horor kita hingga kiwari, yaitu kecenderungan untuk meromantisasi jumpscare. Jika seorang sineas telah tenggelam dalam godaan romantisme jumpscare, pada akhirnya ia bakal lebih sering terlalu mengandalkan trik tersebut dengan berlebihan, dan mengobralnya ke setiap bagian film. Sebuah tindakan yang primitif, kecuali jika yang tengah kita bahas saat ini adalah film-film horor klasik dari Indonesia masa lampau.

Nyatanya, dasar daripada sebuah film dengan genre horor sesungguhnya bukanlah jumpscare. Jauh di atas itu, ada satu kondisi yang mesti terlebih dahulu diciptakan dengan baik oleh sineas film horor, yakni suasananya. Sangat percuma bila sebuah film horor dengan jumpscare serta banyak penampakan setan bertebaran di mana-mana, tetapi tidak membangun suasananya agar terasa mencekam, menakutkan, dan mengerikan. Film-film horor tanah air rilisan beberapa tahun belakangan ada yang bisa menghadirkan suasana semacam itu dengan cukup baik. Misalnya Affliction, Pengabdi Setan 2: Communion, juga Perempuan Tanah Jahanam.

Hal yang masih sukar dipahami para sineas Indonesia dalam membuat film horor ialah ihwal suasana. Jika suasana (tanpa penampakan) dalam setiap film dengan genre horor sudah mampu menghadirkan perasaan seram atau bisa menciptakan impresi takut, maka minimal film tersebut sudah cukup bagus. Suasana horor dalam film horor adalah aspek yang paling mendasar. Kendati tidak sesederhana mengambil set di tengah hutan gelap atau di rumah tua.

Baru setelah syarat dasar berupa suasana sudah terpenuhi, maka langkah berikutnya ialah memasukkan penampakan-penampakan, musik-musik klasik era lawas, teror-teror gaib, gangguan-gangguan tak kasat mata, suara-suara mistis, hingga kemunculan-kemunculan sosok astral lainnya. Apabila faktor suasananya saja tidak berhasil menciptakan impresi horor, obral penampakan macam apapun tidak akan berpengaruh.

Film-film dalam kolam genre horor masihlah satu bagian di antara genre lain dalam ceruk yang lebih besar. Namun cukup dengan menjadikan film-film horor dalam negeri sebagai parameter, kita sudah bisa melihat berada di level mana perkembangan perfilman bangsa saat ini. Sebab film-film dalam genre lain pun tak jauh berbeda. Baik dua genre populer selain horor, drama dan komedi, maupun segala campuran untuk keduanya, seperti roman, keluarga, remaja populer, religi, laga, kriminal, thriller, bencana, fiksi ilmiah, hingga fantasi. Bukan hanya gaya khas yang masih meraba-raba, tetapi juga kiblat yang masih abu-abu adalah sebagian penyebabnya.

Faktanya, kita pun masih terjebak dengan embel-embel box office Indonesia (lebih dari satu juta penonton) yang berhasil diperoleh film-film dalam negeri, dan melupakan penilaian terhadap aspek filmis mereka. Apakah film-film (dalam hal ini genre horor) Indonesia sudah “boleh” dikategorikan bagus, cukup hanya dengan raihan penontonnya saja? Tidakkah aspek kualitas filmis juga penting demi kemajuan perfilman bangsa? Kita bahkan hingga detik ini belum pernah menjebol dinding Oscar dan “minimal” menjadi salah satu nominatornya. Kendati setiap tahun telah mengirim beberapa film untuk didaftarkan ke sana. Film-film yang dianggap terbaik dari bangsa. Padahal bila dibandingkan dengan para nominator Oscar selama ini, mereka belumlah seberapa kuat.

 

Sumber data dan referensi bacaan:

Elizabeth Lutters, Kunci Sukses Menulis Skenario, Jakarta: Grasindo, 2010.

Himawan Pratista, Memahami Film Edisi 2, Montase Press, 2017.

 

Filmindonesia.or.id

 

Agustinus Dwi Nugroho dan Miftachul Arifin, “Asih 2: Cermin Horor Indonesia Kontemporer”, montasefilm.com, 10 Agustus 2021.

Himawan Pratista, “Pengabdi Setan 2: Communion, Sebuah Tribute Horor untuk Horor?”, montasefilm.com, 18 Agustus 2022.

Himawan Pratista, “30 Film Indonesia Terlaris Sepanjang Masa”, montasefilm.com, 1 Februari 2022.

 

Agustinus Dwi Nugroho, “Kafir: Bersekutu dengan Setan”, montasefilm.com, 3 Agustus 2018.

Agustinus Dwi Nugroho, “KKN di Desa Penari”, montasefilm.com, 1 Mei 2022.

Agustinus Dwi Nugroho, “Kuntilanak”, montasefilm.com, 19 Juni 2018.

Agustinus Dwi Nugroho, “Pengabdi Setan 2: Communion”, montasefilm.com, 5 Agustus 2022.

Agustinus Dwi Nugroho, “Perempuan Tanah Jahanam”, montasefilm.com, 19 Oktober 2019.

Agustinus Dwi Nugroho, “Pocong The Origin”, montasefilm.com, 19 April 2019.

Febrian Andhika, “Pengabdi Setan”, montasefilm.com, 30 September 2017.

Kevin Sulistyo dan Afrizal Kurniawan, “Si Manis Jembatan Ancol”, montasefilm.com, 30 Desember 2019.

Miftachul Arifin, “Affliction”, montasefilm.com, 25 Mei 2021.

Miftachul Arifin, “Kuntilanak 3”, montasefilm.com, 3 Mei 2022.

Muhammad Aryodhia Shofiantoro, “Silam”, montasefilm.com, 13 Desember 2018.

Purwoko Ajie, Wahyu Sri Palupi Ningsih, Eka Puspita Sari, “Suzzanna: Bernapas dalam Kubur”, montasefilm.com, 15 November 2018.

 

Referensi Film:

Affliction (2021)

Asih (2018)

Asih 2 (2020)

Barakati (2016)

Danur: I Can See Ghosts (2017)

Danur 2: Maddah (2018)

Danur 3: Sunyaruri (2019)

Gundala (2019)

Ivanna (2022)

Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018)

KKN di Desa Penari (2022)

Kuntilanak (2018)

Kuntilanak 2 (2019)

Kuntilanak 3 (2022)

Lights Out (2016)

Pengabdi Setan (2017)

Pengabdi Setan 2: Communion (2022)

Perempuan Tanah Jahanam (2019)

Pocong The Origin (2019)

Reuni Z (2018)

Satria Dewa: Gatotkaca (2022)

Si Manis Jembatan Ancol (2019)

Silam (2018)

Sri Asih

Suzzanna: Bernapas dalam Kubur (2018)

Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1 (2016)

Artikel SebelumnyaMiracle in Cell No. 7
Artikel BerikutnyaEnd of the Road
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.