I want my money, Brenda

Film keluarga dan kriminal adalah satu kombinasi tema yang langka untuk genrenya. End of the Road adalah film drama thriller arahan Millicent Shelton. Film rilisan Netflix ini dibintangi Queen Latifah, Ludacris, Beau Bridges, Mychala Lee, dan Shaun Dixon. Apakah ada sesuatu yang segar baik untuk genre maupun platformnya yang masih turun naik (kualitas film)?

Akibat tekanan ekonomi, Brenda (Latifah) terpaksa menjual rumah dan pindah ke rumah ibunya di Houston, Arizona. Hari pindahan pun tiba, bersama dua anaknya, Kelly dan Cam, serta sang paman, Reggie (Ludacris), mereka bermobil menuju Arizona. Pada saat menginap di motel, tanpa diduga mereka menjadi saksi pembunuhan satu kelompok kartel di kamar sebelah. Reggie yang mengambil tas berisi uang di sebelah tidak menyadari bahwa ia bakal melibatkan Brenda dan dua anaknya dalam bahaya besar.

Premis yang menarik, ternyata harus dibayar mahal dengan naskah yang konyol. Satu problem terbesar kisahnya tidak hanya masalah logika, namun adalah moral. Saya sungguh tak paham, pada satu adegan di awal, bagaimana mungkin sang paman memberikan rokok ganja pada keponakan perempuannya? Semuanya sudah salah dari sini. Sang ibu seolah menjadi satu-satunya orang yang bisa kita pegang untuk menjaga aspek moral cerita. Ternyata saya keliru. Kisahnya terlihat sekali serba dipaksakan untuk tiap masuk ke konflik berikutnya. Satu premis dibangun oleh premis yang salah. Sudah salah, tak amoral pula.

End of the Road adalah satu tontonan keluarga dengan kisah yang jauh dari nalar dan tak mendidik. Mengapa bisa naskah tak bermoral macam ini ditulis? Jika ini dimaksudkan untuk selipan komedi tetap saja tidak pantas. Sisi dramanya terlalu serius untuk ini. Premis yang memasukkan protagonis kulit hitam di wilayah orang kulit putih juga bukan menjadi sesuatu yang menarik, namun justru merendahkan kisahnya sendiri. Walau fakta, kelompok pro Trump lekat dengan hal anarkis dan rasis, tapi bukan lantas memaksa begini mengemas dalam cerita. Film ini tidak layak tonton untuk penonton dari kalangan manapun, khususnya keluarga. Sungguh teramat konyol. Untuk kesekian kalinya, Netflix kembali menikam dirinya sendiri.

Baca Juga  Love and Monsters

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
20 %
Artikel SebelumnyaMembaca Pengabdi Setan 2: Communion, KKN di Desa Penari, dan 5 Tahun Genre Horor Indonesia
Artikel BerikutnyaFestival Film Wartawan Indonesia Memulai Masa Penilaian untuk 123 Judul
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.