Mental illness dan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) secara kasat mata semacam dua topik tanpa benang merah spesifik. Keduanya muncul, tumbuh, bergerak, dan eksis dari dua disiplin keilmuan yang berbeda. Psikologis, kesehatan, atau kedokteran, dan sains atau teknologi. Kendati pada praktiknya sehari-hari bukan tidak mungkin bagi keduanya untuk saling silang bersinggungan, tergantung kebutuhan dalam lingkungan sosial masyarakat. Apakah kecerdasan buatan lantas berkemungkinan untuk menjadi salah satu medium dalam merespons gangguan mental atau penyakit kejiwaan seseorang, bahkan membantunya berdamai dengan itu? Selintas tanya yang bergumul dalam Ketika Berhenti di Sini (2023) di bawah naungan produksi Sinemaku Pictures.

Ketika Berhenti di Sini pun menunjukkan klaim-klaim atas perhatian lebih mendalam terhadap kelainan mental, kesehatan mental, penyakit kejiwaan, atau kesehatan psikis, di samping memasukkan pula unsur-unsur fiksi ilmiah berupa kecerdasan buatan dalam sebuah kacamata berteknologi canggih. Ada upaya terang-terangan dari sineas untuk mencitrakan benang merah yang ideal antara gangguan mental dan kecerdasan buatan dalam benaknya ke sebuah layar lebar. Sekaligus mengeksplorasi pula ragam gangguan mental selain bipolar yang telah diolahnya lebih dulu melalui Kukira Kau Rumah (2021).

Citra Eksistensi

Mental Illness

Wacana mengenai mental illness di Indonesia sebetulnya sudah mulai berhembus sejak lama. Perbincangannya kemudian menyeruak saat memasuki pertengahan hingga menuju akhir dekade kedua pada tahun 2000-an ini melalui film-film seputar kesehatan mental, seperti My Idiot Brother (2014), Posesif (2017), 27 Steps of May (2018), dan Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2019). Diskusi dan diskursusnya pun kian meramaikan topik-topik terkait persoalan kejiwaan, psikis, dan psikologis ini pada transisi dari akhir dekade kedua hingga memasuki dekade ketiga. Berbarengan melalui kemunculan wabah pandemi Covid-19, di mana kewarasan jiwa turut menentukan kesahatan fisik seseorang dan kekuatan sistem imun untuk menangkal virus waktu itu. Sementara itu, kajian-kajian seputar mental illness memperoleh momentum pula lewat Kukira Kau Rumah –yang sukses pasar—dan berlanjut dengan Ketika Berhenti di Sini.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mendefinisikan mental illness atau mental disorders pada 8 Juni 2022, sebagai kelainan mental yang ditandai dengan gangguan signifikan secara klinis pada kognisi, regulasi emosi, atau perilaku seseorang. Ketidaknormalan (menurut medis) yang diamini pula dalam sebuah situs web klinis bernama Mayo Clinic, bahwa penyakit mental atau gangguan kesehatan mental, mengacu pada berbagai gangguan terhadap kondisi kesehatan mental yang memengaruhi suasana hati, pemikiran, dan perilaku. Contoh-contoh dari klinik ini senada pula dengan kondisi Dita, tokoh utama dalam Ketika Berhenti di Sini, yaitu depresi, gangguan kecemasan, gangguan makan, dan perilaku adiktif. Ketika Berhenti di Sini pun menambahkan insecure serta trauma kehilangan atas meninggalnya orang tersayang.

Secara ringkas, pada dasarnya isu kesehatan mental atau mental illness mencakup berbagai kondisi yang memengaruhi perubahan suasana hati, cara berpikir, dan pola perilaku. Definisinya menjadi sangat luas, karena setiap manusia pasti mengalami gangguan terhadap kesehatan mentalnya. Hanya saja yang membedakan adalah persentase atau besaran dari masalah tersebut. Apakah sudah mencapai level mayor ataukah masih sekadar minor hingga tidak disadari oleh diri sendiri. Bahkan kendati telah sampai ke tingkatan mayor pun ada kemungkinan ketidaksadaran akan keberadaan gangguan tersebut. Sebagaimana didukung oleh penjelasan dari situs web Pelayanan Kesehatan (Yankes) dari Kementerian kesehatan (Kemkes), bahwa gangguan tersebut terbagi menjadi ringan hingga parah dan bisa berdampak terhadap kemampuan seseorang saat menjalani kehidupannya sehari-hari.

Film-film Indonesia sebelum Kukira Kau Rumah sebagai karya perdana dari Sinemaku Pictures, kerap kali menempatkan mental illness dalam ruang-ruang dikotomis antara normal dan tidak normal. Padahal terminologi normal saja pada praktiknya dalam lingkungan sosial bergantung dari perspektif yang digunakan. Apakah norma masyarakat, standar kesehatan mental menurut disiplin ilmu psikologi, parameter dengan pengukuran matematis dalam otak manusia, ataukah berdasarkan keilmuan komunikasi.

Bicara ihwal Kukira Kau Rumah dan Ketika Berhenti di Sini dengan satu napas perhatian terhadap problematika dalam kepemilikan mental illness, jelas sekali keduanya berupaya sebisa mungkin untuk mengejawantahkan mental illness menurut pertimbangan, pengalaman, dan hasil pembelajaran para pembuat masing-masing dalam sebuah jalinan penceritaan lewat sosok sang tokoh utama, Niskala dan Dita. Apakah berhasil atau tidak, akan tersaji dengan lebih komprehensif dalam bab lain.

Sementara itu, eksistensi mental illness dalam sajian film global telah sejak lama dilakukan lebih dulu oleh negara-negara barat. Meski perhatian mereka terkadang sesekali masih menempatkan orang dengan gangguan jiwa berujung menjadi sosok kriminal atau berakhir masuk rumah sakit jiwa. Namun, ada beberapa contoh yang menunjukkan kelebihan di atas anggapan kurang terhadap orang-orang dengan mental illness. Satu contoh efektifnya yang bahkan didasarkan pada sosok asli di dunia nyata ialah Temple Grandin (2010) dari Mick Jackson. Grandin memperlihatkan efektivitas pembelajaran visual untuk seorang dengan autisme. Ada pula A Beautiful Mind (2001) arahan Ron Howard, dengan skizofrenia paranoid yang dialami seorang jenius berdasarkan kisah nyata John Forbes Nash. Lebih lawas lagi, ada Good Will Hunting (1997) dari Gus Van Sant tentang psikologi klinis dengan cerita seputar seorang janitor atau petugas kebersihan di MIT yang ternyata jenius dalam bidang matematika, tetapi perlu bantuan psikolog untuk menemukan arah hidupnya.

Kecerdasan Buatan

Kecerdasan Buatan

Salah satu yang terpikirkan dari menonton Ketika Berhenti di Sini dengan sajian kecerdasan buatannya ialah Her (2013). Kecanggihan AI dengan kemampuan untuk terus belajar dan berkembang hingga seolah mampu menjadi partner hidup di dunia nyata. Meski dominasi fiksi ilmiah dalam Her lebih powerful dan menyatu dalam roh cerita ketimbang Ketika Berhenti di Sini yang sekadar tempelan.

Baca Juga  Ketika Berhenti di Sini

Kecerdasan buatan juga soal potensi perluasan pengembangan teknologi berdasarkan daya inovasi dan kekuatan imajinasi manusia dalam mengeksplorasi segala kemungkinan. Misalnya, belasan hingga ratusan tahun silam segala capaian teknologi terkini hanyalah mimpi dan angan-angan belaka. Orang-orang sekadar membayangkan dapat terbang di langit untuk menyeberangi benua. Namun, bayangan tersebut kemudian menyata. Ada citra atau gambaran yang lebih konkret dari waktu ke waktu mengenai keinginan manusia untuk kian menyingkap keterbatasan.

Kehadiran fiksi ilmiah dalam sebuah film drama percintaan di Indonesia juga bukan kali pertama dilakukan melalui Ketika Berhenti di Sini. Empat tahun lalu sudah ada Eggnoid (2019) arahan Naya Anindita yang membawakan spirit tersebut di bawah bendera Visinema Pictures. Seorang humanoid (campuran manusia dan robot) yang datang dari masa depan.

Mental Illness

Ketika Berhenti di Sini

Sejak Kukira Kau Rumah, duet Umay Shahab dan Prilly Latuconsina dengan kesamaan usia muda mereka bereksplorasi pada tema-tema yang masih asing bagi penikmat tontonan layar di Indonesia. Jarang pula diminati hingga memunculkan beragam pengembangan variatif dari para sineas lain, tetapi tetap berpegang teguh pada pengerjaan berdasarkan aspek-aspek filmis yang baik. Memang ada sineas lain yang juga gemar bereksperimen dalam film-filmnya. Namun, acap tidak dikerjakan dengan hati-hati menggunakan aspek-aspek filmis yang baik. Sebut saja Till Death Do Us Part, trilogi I, Will, dan Survive, serta Balada Sepasang Kekasih Gila arahan Anggy Umbara yang kesemuanya rilis pada satu tahun yang sama, yakni sepanjang 2021. Kecenderungannya sekadar ingin bereksperimen, bukan bercerita secara filmis. Bagaimanapun, ide yang menarik tanpa pengerjaan yang baik pada akhirnya akan kehilangan daya tawarnya. Walau sebetulnya ada satu contoh film arahannya yang terbilang cukup berhasil sebelum semua judul tersebut, yakni Sabar Ini Ujian (2020) dengan time loop (putaran waktu)-nya.

Kiwari, muncul nama-nama seperti Umay, Prilly, bahkan Bene Dion –dari perusahaan produksi lain—yang perlahan memosisikan diri di industri perfilman tanah air dengan cara mereka sendiri dalam bereksplorasi. Sebut saja –selain Kukira Kau Rumah dan Ketika Berhenti di Sini—ada series Cinta Dua Masa (2023), Ghost Writer (2019), Ngeri-Ngeri Sedap (2022), dan Ganjil Genap (2023). Meski masing-masingnya mengandung kekurangan pula. Termasuk Ketika Berhenti di Sini.

Supaya dapat menilai secara objektif kekurangan Ketika Berhenti di Sini, maka wajib kiranya untuk mencermati pula Kukira Kau Rumah. Masalah dalam film kedua arahan Umay tersebut spesifik ialah pada formula penceritaan secara garis besar keseluruhannya. Dalam Kukira Kau Rumah, Niskala –dengan kondisi mentalnya—tanpa sengaja bertemu Pram. Pertemuan yang lantas mendekatkan mereka hingga terjalin hubungan pacaran. Interaksi dalam status tersebut kemudian meningkatkan intensitas kegiatan, gerak badan, dan emosi keduanya. Mula-mula terkesan serba membahagiakan, walau sebetulnya menyimpan potensi bahaya karena romantisme mereka berlangsung secara meledak-ledak penuh semangat dan energi. Terutama Niskala dengan bipolarnya. Hubungan Kala dan Pram lalu merenggang lewat eskalasi konflik yang secara berbarengan langsung memengaruhi bipolar Niskala pula.

Formula ini pun digunakan kembali dalam Ketika Berhenti di Sini. Anindita Semesta secara “kebetulan” bertemu Ed. Keduanya lantas dekat, dan berpacaran dalam interaksi yang menimbulkan emosi bahagia hingga meledak-ledak, kemudian satu per satu konflik mulai bermunculan. Bedanya, kematian dalam Ketika Berhenti di Sini terjadi lebih cepat daripada Kukira Kau Rumah, dan masih ada kelanjutan cerita setelahnya melalui penggunaan kecerdasan buatan dalam keseharian Dita.

Benang Merah

Benang Merah

Menciptakan simpul antara mental illness dan kecerdasan buatan adalah pilihan Sinemaku Pictures dengan dua pentolan paling dominannya, yaitu Umay dan Prilly. Supaya dua topik yang jarang tersentuh dalam perfilman dalam negeri tersebut dapat berjalan beriringan dan menimbulkan riak di tengah kolam mati. Benang merah antara mental illness dan AI dalam Ketika Berhenti di Sini juga ihwal respons imajinatif sineas, terhadap sulitnya merelakan dan berdamai atau ikhlas pada kehilangan dan kematian. Bila seorang yang depresi atas kematian orang tersayangnya sukar beranjak dari satu titik ke level berikutnya, akankah AI merupakan jalan keluar karena mampu “menghadirkan kembali” sosok yang telah berada di lain dimensi? Ataukah pada akhirnya sebatas pelarian sementara dari kenyataan dunia?

Berdasarkan setiap rincian tawaran, daya pikat, kekuatan, dan sisi menariknya, Ketika Berhenti di Sini pada akhirnya masih mengekor kesuksesan Kukira Kau Rumah. Karena itulah terdapat kesamaan formula, baik dalam plot-plot awal, penokohan, maupun pemeran untuk tokoh utamanya. Kendati bila dibedah dengan variabel lain atau dari perspektif berbeda, Ketika Berhenti di Sini drama percintaan anak muda dengan unsur-unsur pendukung bangunan keseluruhan cerita yang tidak biasa, mental illness atau gangguan mental dan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Ketika Berhenti di Sini melalui tukar pikiran dan pendapat antara Umay, Alim Sudio, Monty Tiwa, dan Prilly mencitrakan sebuah pertalian benang merah yang menunjukkan eksistensi beberapa ragam penyakit kejiwaan dan kemajuan teknologi berupa kecerdasan buatan.

 

Pustaka situs web:

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-disorders

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/mental-illness/symptoms-causes/syc-20374968#:~:text=Overview,eating%20disorders%20and%20addictive%20behaviors.

https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1314/definisi-mental-illnessgangguan-mental

https://montasefilm.com/ketika-berhenti-di-sini/

 

Pustaka film:

Good Will Hunting (1997)

A Beautiful Mind (2001)

Temple Grandin (2010)

Her (2013)

My Idiot Brother (2014)

Posesif (2017)

27 Steps of May (2018)

Eggnoid (2019)

Ghost Writer (2019)

Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini (2019)

Sabar Ini Ujian (2020)

Kukira Kau Rumah (2021)

Balada Sepasang Kekasih Gila (2021)

I (2021)

Will (2021)

Survive (2021)

Till Death Do Us Part (2021)

Ngeri-Ngeri Sedap (2022)

Ketika Berhenti di Sini (2023)

Ganjil Genap (2023)

 

Pustaka series:

Cinta Dua Masa (2023)

 

Sumber gambar:

https://www.imdb.com/title/tt24546804/

Artikel SebelumnyaThe Equalizer 3
Artikel BerikutnyaOne Piece
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.