Penikmat seri anime One Piece bisa jadi telah menanti versi live action-nya yang trailer-nya sudah dirilis sejak beberapa bulan lalu. Seri yang bertotal 8 episode ini dirilis oleh Netflix yang berkolaborasi dengan Kaji Productions, Tomorrow Studios, dan Shueisha yang memproduksi manganya. Beberapa aktor dan aktris muda yang namanya masih asing bermain di dalamnya, antara lain Iñaki Godoy, Emily Rudd, Mackenyu, Jacob Romero Gibson, and Taz Skylar. Akankah serinya ini bakal memenuhi ekspektasi dari para fans anime ataupun manga-nya?

One Piece kini telah memiliki lebih dari seribu episode sejak rilis pertama seri anime-nya tahun 1999, lebih dari dua dekade lalu. Bahkan versi panjang (feature) anime-nya telah diproduksi 15 film, dan terakhir One Piece: Red yang rilis persis setahun lalu. Layaknya seri anime legendaris Dragon Ball (DB) yang tak ada habisnya, rasanya seri ini bakal sama. Versi live action DB tidak bernasib baik, dan memang bukan hal mudah untuk memproduksi film bernuansa sci-fi fantasi macam ini. Namun One Piece harus diakui pencapaiannya lebih baik. Fans awal seri ini tentunya kini sudah berumur, seperti halnya DB yang lebih dulu populer, dan bisa jadi, mereka sudah tidak banyak peduli dengan versi terbaru ini yang tentunya lebih ditujukan untuk penonton masa kini.

Seri live-action ini mengambil kisah dari 45 episode awal seri anime-nya, yang berakhir pada segmen cerita Arlong Park. Walau tentu saja tak sedetil kisah anime-nya, namun garis besar plotnya terhitung loyal dengan sumbernya. Sepanjang serinya, plotnya seringkali disisipi kilas-balik yang merupakan eksposisi dari tokoh-tokoh utamanya, Luffy, Nami, Zoro, Usopp, dan Sanji. Problem adaptasi, tentunya tampak dari sisi cerita dan dialog-dialognya yang “absurd” yang seringkali terlihat canggung dan kaku (versi anime lebih natural). Beberapa segmen dialog seringkali juga terlalu panjang dan membosankan. Entahlah, mungkin akan berbeda jika diadaptasi menggunakan bahasa Jepang?

Baca Juga  The Occupant

Kita tahu persis betapa sulitnya mengadaptasi seri anime populer ke live-action dan One Piece kini terhitung berhasil melalui kekayaan setting dan tokohnya. Untuk visualisasi kelima tokoh utamanya terhitung lumayan walau tak perfect, namun adalah sosok-sosok antagonis dan pendukungnya yang lebih mencuri perhatian, sebut saja si badut Buggy, Mihawk, Arlong, hingga sosok Koby yang amat mirip versi anime-nya. Sementara visualisasi setting adalah satu hal yang paling memukau dalam mendukung bangunan atmosfir kisahnya. Dari setting kapal, hingga bangunan benteng, Baratie, hingga Arlong Park baik interior dan eksterior disajikan begitu mapan. Pencapaian efek visualnya juga terhitung baik, khususnya aksi dan gaya tarung Luffy (melar) dan Buggy yang sulit divisualisasikan. Hanya saja untuk adegan pertempuran antar kapal masih terlihat cacat artifisial di sana-sini.

Seri One Piece versi live action memikat dari sisi visual, walau tak banyak hal ditawarkan dari kisahnya. Sejauh ini tercatat One Piece adalah adaptasi live-action seri fantasi terbaik yang pernah diproduksi. Para fans beratnya tentu bakal memiliki opini masing-masing. Seperti halnya seri Dragon Ball, seri anime-nya masih yang terbaik dari versi live-action maupun panjangnya. Kedalaman imaginasi dan sisi abstrak yang mampu diusung medium animasi memang sulit untuk dicapai secara nyata. Namun jika ditonton banyak orang, tentu seri ini akan berlanjut, bisa jadi tidak hanya ini. One Piece adalah sebuah perjalanan teramat panjang yang bakal semakin menantang (secara visual) jika seri ini kelak berlanjut.

1
2
PENILAIAN KAMI
overall
65 %
Artikel SebelumnyaKetika Berhenti di Sini: Citra Benang Merah Eksistensi Mental Illness dan Kecerdasan Buatan (AI)
Artikel BerikutnyaLioness
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses