Tira

Hampir tepat setahun berselang setelah pahlawan super ketiga dari Bumilangit Cinematic Universe (BCU) rilis dengan Virgo and the Sparklings, kini giliran sang “pendekar naga”, Tira. Tira merupakan series pertama dari jagat pahlawan super Bumilangit di bawah naungan kolaborasi antara Bumilangit Studios, Screenplay Bumilangit, dan Screenplay Films. Penayangan episode terakhirnya melalui platform streaming Disney+ telah selesai pada awal Februari ini, dengan total delapan episode yang rerata berdurasi 45 menit. Diperankan utamanya oleh Chelsea Islan sebagai yang nantinya berurusan dengan para naga, bersama Bhisma Mulia, Karina Suwandhi, Agnes Naomi, Jeremie Juanito, Egy Fedly, Sari Koeswoyo, serta Mathias Muchus.

Jagat Bumilangit belum sekalipun memuaskan gairah akan tayangan pahlawan super dari Indonesia dalam tiga filmnya. Lantas, bagaimana dengan series-nya ini?

Suci (Chelsea) mulanya hanyalah gadis biasa dengan mimpi bisa menjadi seorang stunt woman, berkiblat pada sang ayah (Muchus) yang amat dikaguminya. Ia juga mengidolakan salah seorang aktris laga papan atas bernama Widya (Karina). Namun, sebuah insiden menyebabkan ayahnya tak mampu lagi melanjutkan profesinya sebagai stunt man. Suci bahkan mengalami trauma pula sejak insiden tersebut. Tahun ke tahun berlalu, tetapi mimpinya belum juga tergapai di perantauan. Kebohongan demi kebohongan tercipta, hingga ia terlibat dengan sebuah ritual berbahaya. Walhasil, masalahnya bertumpuk kian banyak seiring waktu dengan susah payah ia selesaikan bersama sahabatnya, Maudy (Naomi) dan partner in crime sekaligus asisten dosen yang mengawasinya, Ben (Bhisma).

Sejak awal, penceritaan Tira telah sangat menyebalkan mulai dari episode pertama. Kausalitas cerita dalam Tira dijalin dengan agak bermasalah. Ditambah kurang teliti untuk menjaga detail-detailnya agar tidak hilang dari tempatnya. Alasan-alasan dari suatu situasi atau musabab yang mendasari tindakan-tindakan seseorang. Misalnya, sampai akhir tidak ada informasi perihal alasan Haikal (Juanito) getol sekali bahkan amat berambisi terhadap roh naga incarannya. Seorang stunt man senior langsung bisa patah tulang karena jatuh dari ketinggian yang tidak seberapa, hanya demi menjadi alasan trauma anaknya. Juga kebetulan-kebetulan lain yang masih terasa kasar untuk terjadi, sehingga terkesan dipaksakan.

Kisah dalam series Tira adalah cerita tentang eksistensi sembilan naga pula. Bicara soal naga-naga dalam Tira, artinya bakal berkaitan erat dengan tuntutan terhadap efek visual serta bagaimana suara-suara mereka dibuat. Terkesan superior dan lebih megah dengan keberadaan para naga, dibanding tiga pahlawan super sebelumnya, yaitu Gundala, Sri Asih, dan Virgo. Namun, sayangnya efek visual dalam series Tira belum cukup masif memvisualkan setiap naga. Ketika seekor naga hampir mesti digambarkan dan dikorelasikan dengan kekuatan dahsyat, tanpa tanding, wujud intimidatif, atau kemunculan yang dapat secara langsung meruntuhkan nyali siapa pun. Tira justru masih terbilang minim dalam memaksimalkan eksistensi para naga tersebut berikut setiap kekuatan unik masing-masing.

Baca Juga  Stowaway

Nyatanya, setiap naga dalam Tira cenderung serupa monster biasa lewat bagaimana mereka bersuara atau menggeram. Satu-satunya yang membedakan di antara masing-masing dari mereka hanyalah perbedaan warna. Kemampuan spesifik setiap naga pun baru muncul hanya jika sang pemilik menggunakan kekuatan naga yang bersemayam dalam dirinya. Seakan naga-naga tersebut sekadar berperan sebagai pelayan dengan satu hak, yakni bisa memilih tuannya –dengan kondisi tertentu. Proses perpindahan seekor naga ke tuan yang baru juga tampak memosisikan sang naga kalah superior ketimbang para manusia yang saling berkonflik memperebutkan kepemilikan mereka.

Apakah mereka para naga? Bukan. Mereka hanya gulungan-gulungan asap yang kebetulan masing-masing punya warna berbeda satu sama lain. Sebatas itu pula lah efek visual Tira memanifestasikan kemunculan sosok para naga di sekitar pemilik-pemilik mereka. Naga mestinya bisa menjadi sosok powerful per individunya. Namun, series Tira memosisikan setiap naga sekadar alat remeh-temeh, budak, maupun pengisi kekosongan atau kekurangan dalam diri seseorang. Bahkan aksi-aksi yang dilakukan oleh setiap pemilik roh naga tak jauh berbeda daripada adegan laga manusia biasa dalam banyak film aksi. Sri Asih salah satunya. Sebagai contoh dari semesta yang sama.

Momen klimaks di episode terakhir pun dieksekusi dengan sangat konyol. Apa gunanya kekuatan dan superioritas para naga (yang ternyata tak tampak superior), bila klimaks ceritanya saja adalah perkelahian adu mulut belaka. Apakah dimaksudkan dramatis dan emosional? Tidak. Justru menyia-nyiakan eksistensi kekuatan dari para naga itu sendiri. Saat melihat bagaimana episode ke-8 mengakhiri konfrontasi final kedua tokoh sentralnya juga, sangat benar bahkan bila disebut sebagai antiklimaks. Sayangnya, pencapaian efek visual Tira belum mampu mengejawantahkan potensi wujud para naga maupun keunikan spesifik kekuatan mereka masing-masing dengan lebih masif atau powerful.

Tira, untuk kesekian kalinya, kembali menyajikan pahlawan super ala BCU dengan mengecewakan dari beragam lini, meski sudah digembar-gemborkan sedemikian rupa. Naga-naga dalam Tira direduksi sangat banyak hingga kehilangan kesan powerful dan superioritas mereka. Bahkan sebelum melangkah ke pembahasan seputar kualitas efek visual atau level penggunaannya, naratif satu series ini dan tiga film sebelumnya selalu bermasalah. Kerap kali terseok-seok dan kebingungan sendiri dalam merangkai dunia cerita berikut pelbagai kausalitas dan beragam detail di dalamnya. Tak ada gairah menanti kemunculan pahlawan-pahlawan selanjutnya dari waktu ke waktu.

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaLand of Bad
Artikel BerikutnyaThe Holdovers
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.