Land of Bad adalah film aksi thriller arahan William Eubank. Film ini dibintangi Liam Hemsworth, Russell Crowe, Luke Hemsworth, Ricky Whittle, dan Milo Ventimiglia. Setelah sang kakak, Chris Hemsworth bermain impresif dalam Extraction, kini Liam bermain dalam film yang nyaris mirip kisahnya. Apakah Land of Bad bakal menjadi sambil lalu begitu saja, seperti titelnya?

Sersan Angkatan Udara, Kinney (Hemsworth) mendapat misi dadakan untuk mendampingi tim Delta Force di pulau terpencil di Filipina untuk menjemput seorang agen CIA yang disekap kawanan teroris internasional. Kinney bertugas untuk memberi dukungan drone yang dikontrol oleh Kapten Eddie “Reaper” Grim (Crowe) dari markas mereka di Las Vegas. Sesuatu di luar rencana terjadi, tim Delta Force berhasil dilumpuhkan oleh kelompok  teroris, hanya menyisakan Kinney. Kinney, dibantu Reaper berusaha mencapai lokasi evakuasi sementara dibelakangnya puluhan teroris terus memburunya.

Plotnya banyak mengingatkan The Rock garapan Michael Bay serta Behind Enemy Lines. Sejak, titik balik pertama, intensitas ketegangan berjalan non-stop mengikuti sosok sang protagonis. Secara mengejutkan, kisahnya kembali berubah arah. Harus diakui, Ini cukup mengejutkan, hanya saja, tidak cukup kuat untuk mengimbangi sisi ketegangan yang telah dibangun sejak awal. Satu hal yang mencuri perhatian justru bukan sisi aksi dan ledakan-ledakan hebatnya, namun chemistry antara Kinney dan Reaper yang mampu menghangatkan plotnya. Khususnya Crowe yang bermain mengesankan sebagai pilot drone senior yang berdedikasi. Keduanya terpisah ribuan mil jauhnya, namun chemistry-nya mampu mendekatkan mereka secara psikologis.

Tidak seperti titelnya, Land of Bad sedikit di atas ekspektasi melalui intensitas ketegangannya dan chemistry dua tokoh utamanya. Untuk aksi-thriller tipikalnya, Land of Bad memang terasa tanggung dari sisi aksinya. The Rock memang telah mematok standar yang demikian tinggi untuk aksi sekelasnya. Namun, bagi Liam Hemsworth bisa jadi ini adalah satu batu loncatan besar sebagai bintang laga mengikuti sang kakak. Walau belum memiliki karisma kakaknya, namun dengan tandem yang pas, seperti dalam film ini, penampilannya bisa terdongkrak. Rasanya tinggal menanti waktu sebelum bintang muda ini naik kelas sebagai bintang laga top.

Baca Juga  Maestro

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaIndonesia dari Timur
Artikel BerikutnyaTira
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.