indonesia dari timur

Memang sudah sedari memproduseri Denias, Senandung di Atas Awan (2006), Ari Sihasale memiliki perhatian besar untuk membawa daerah-daerah di wilayah timur Indonesia ke layar lebar. Senada Jeremias Nyangoen yang menulis dan mengarahkan Women from Rote Island (2023). Setelah lama tak muncul usai menggarap Rumah Merah Putih (2019), Sihasale kembali sebagai sutradara sekaligus produser lagi melalui Indonesia dari Timur. Bersama Dirmawan Hatta yang menjadi penulisnya. Masih diproduksi Alenia Pictures dan kali ini berkolaborasi dengan Bhinneka Multi Media. Selain Ibnu Jamil, Ari Sihasale, dan Dinda Ghania, para pemain lainnya ialah anak-anak muda yang berperan sebagai para pesepak bola dari tanah Papua. Mengingat telah lebih dulu ada film-film seputar sepak bola sejak lebih dari satu dekade lalu, lantas apa tawaran Indonesia dari Timur?

Sebuah tim sepak bola dari tanah Papua telah mencapai level nasional di bawah asuhan pelatih John (Sihasale). Namun, badai datang seusai kejuaraan dilangsungkan karena uang hadiah ternyata tak kunjung cair. Seluruh sorot mata dan rasa kecewa lantas tertuju kepada sang pelatih. Ia dituduh menggelapkan dana hadiah. Tim pun bubar dan tak keruan lagi keberadaan para anggotanya. Sampai muncul seorang berpengaruh, Edu (Ibnu Jamil), yang berhasrat mengembalikan tim sepak bola tersebut agar utuh dan mengharumkan nama Papua lagi. Sayangnya, upaya Edu jelas tak segampang itu.

Ada banyak contoh film Indonesia yang bisa disebutkan terkait tema-tema sepak bola. Salah satunya pun datang dari Indonesia timur –spesifik Maluku—dan paling populer di antara lainnya, ialah Cahaya dari Timur (Beta Maluku) (2014) garapan Angga Sasongko. Sisanya kerap kali berkutat di Jakarta atau merespons satu musim kompetisi tingkat internasional, dari Gara-Gara Bola (2008) hingga Tabula Rasa (2014). Problematika yang mewarnai kadang berbeda, walau garis besar plot dan alurnya memiliki kemiripan satu sama lain. Persoalan rumah makan, konflik suku, ditunggangi kepentingan politik kapitalis perusahaan besar, kerusuhan oleh suporter, atau masalah keluarga. Meski Tabula Rasa sendiri rupanya menjadi kasus khusus, karena pada akhirnya lebih diingat sebagai film tentang kuliner, alih-alih terdapat elemen sepak bola di dalamnya. Justru sepak bola hanya selipan di antara persoalan seputar rumah makan dengan masakan Padang.

Baca Juga  Till Death Do Us Part

Menariknya, Ibnu Jamil hampir selalu muncul sebagai salah satu pemeran dengan porsi vital, mayoritas pelatih. Pun demikian Ari Sihasale yang pernah memainkan peran sebagai pelatih dalam Garuda di Dadaku (2009). Irisan-irisan yang kemudian mempertemukan keduanya dalam Indonesia dari Timur sebagai partner –antara tokoh sponsor dan pelatih—yang sama-sama satu visi demi sepak bola Papua. Tak ayal bila sepanjang film berjalan, mereka tampak telah punya pemahaman sendiri terkait persepakbolaan. Di samping keluwesan mereka dalam berolah peran. Malahan, Ghania sebagai putri semata wayang Edu, Anya, tak terlalu punya peran signifikan dan cenderung bergerak dengan kehidupannya sendiri.

Bicara soal eksekusi sepak bola itu sendiri dalam Indonesia dari Timur, lebih kurang memiliki banyak kemiripan dengan mayoritas film sejenis. Plotnya hampir selalu seputar permainan tim selama di lapangan, masa-masa latihan, upaya pencarian sang pelatih akan bakat-bakat sepak bola, dan kadang muncul pula masalah dengan keluarga. Kecuali ada tawaran yang betul-betul spesifik untuk membedakan satu sama lain. Semacam Indonesia dari Timur, cakupan tawarannya berupa lanskap, persoalan suku, pihak-pihak tertentu menunggangi dengan kepentingan untuk berbisnis di tanah Papua, dan perkara ekonomi. Lanskap, kesukuan, dan ekonomi bahkan sering menjadi daya tawar yang diajukan oleh sineas dan penulis dari film-film tentang Indonesia timur. Terutama Papua.

Spirit Indonesia dari Timur semata untuk mengangkat lagi gairah perhatian akan wilayah timur Indonesia, khususnya dalam bidang sepak bola dari tanah Papua. Film ini memang sempat tayang nasional. Namun, sayangnya hanya beberapa hari pun dengan tak banyak layar menayangkannya. Sebelum kemudian lenyap digeser film-film Indonesia lain. Sejenak saja kesempatan para anak muda Papua menampilkan olah peran sekaligus permainan sepak bola mereka. Memang hasilnya rerata saja, tetapi tetap patut diapresiasi baik bila dilihat dari segi moralitas, nilai pesan, serta jarangnya tema serupa datang dari wilayah timur Indonesia. Maluku sudah, 10 tahun lalu melalui Cahaya dari Timur. Lalu kini Papua juga sudah menunjukkan eksistensinya lewat Indonesia dari Timur. Kapan daerah-daerah dari Indonesia timur lainnya?

PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaMadame Web
Artikel BerikutnyaLand of Bad
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.