Disarankan untuk menonton serinya terlebih dahulu.

3 Body Problem adalah seri produksi Netflix kreasi David Benioff, D. B. Weiss, dan Alexander Woo. Film ini merupakan adaptasi dari novel sci-fi populer, The Three-Body Problem tulisan Liu Cixin. Seri bertotal 8 episode ini berdurasi rata-rata 50 menit. Belum lama, kisah ini juga telah diadaptasi melalui seri produksi Tiongkok bertitel Three-Body (2023). Seri ini dibintangi beberapa nama baru dan populer, antara lain Jovan Adepo, John Bradley, Rosalind Chao, Liam Cunningham, Eiza González, Jess Hong, Marlo Kelly, Jack Sharp, Benedict Wong, hingga Jonathan Pryce. Melalui popularitas sumbernya, akankah seri ini membawa sesuatu yang baru bagi genrenya?

Institusi sains dan fisika dikejutkan oleh serangkaian kematian misterius terhadap para ilmuwan ternama di berbagai belahan dunia. Kisahnya berlatar pada satu kelompok ilmuwan di Oxford, Inggris, yang juga satu ilmuwan terkemukanya, Vera Ye, secara tragis mengakhiri hidupnya. Seorang agen penyelidik khusus, Clerence (Wong) ditugaskan menginvestigasi seri kematian misterius ini. Murid-murid dan rekan kerja Vera datang berkabung, yakni Jin (Hong), Auggie (González), Saul (Saul), Jack (Bradley), dan Will (Sharp) yang diterima sang ibu, Dr. Ye Wenjie (Chao).

Berawal dari ini, beberapa dari mereka mengalami serangkaian kejadian aneh. Auggie mengalami fenomena unik yang melihat bayangan hitungan angka mundur di benak pikirannya, dan seseorang misterius memberinya peringatan untuk menghentikan penelitiannya. Sementara Dr. Ye memberikan Jing sebuah helm permainan yang membawanya ke sebuah permainan berteknologi tinggi yang belum mampu dijangkau manusia. Semua anomali ini rupanya diakibatkan oleh ras alien berjarak jutaan tahun cahaya yang di masa silam telah mencoba berkomunikasi dengan Dr. Ye Wenjie.

Rasanya sulit untuk meringkas seluruh plot serinya hanya dengan dua alinea pendek. 3 Body Problem dengan bergantian plot antara masa lalu – masa kini (beberapa episode awal), bukanlah kisah yang mudah dipahami. Terlebih dengan latar sains dan istilah-istilah ilmiah yang selalu berseliweran dalam dialognya. Namun ringkasnya, plotnya bicara soal invasi alien. Jika dalam Independence Day, mereka langsung datang ke bumi dan melakukan konfrontasi langsung dengan umat manusia, namun dalam 3 Body Problem, mereka masih ratusan tahun lagi sampai ke bumi. Lantas apa yang mereka lakukan menanti selama itu? San-Ti (istilah untuk ras alien-nya) melakukan teror psikologis terhadap umat manusia dan berusaha menghimpun sekutu dengan membentuk semacam kelompok pengikut (cult) yang jumlahnya pun tak sedikit.

Untuk mudahnya, plot utama serinya, saya bagi menjadi dua segmen besar, yakni momen sebelum dan setelah San-Ti muncul secara publik. Momen sebelum adalah penggalan paling menarik dalam serinya karena sisi misteri hingga rasa penasaran selalu terusik. Segala pertanyaan muncul, siapa, apa, bagaimana, dan mengapa ini semua bisa terjadi? Beberapa hal mengusik ini, sebut saja angka hitungan mundur di pikiran Auggie, langit yang berkedip, hingga gim (entah berapa dimensi) yang dimainkan Jin dan Jack. Episode demi episode berjalan dan jawaban mulai sedikit demi sedikit terkuak, namun tentu pertanyaan baru kembali muncul. Beberapa di antaranya pun memicu sisi kejanggalan. Entah sudah berapa lama San-Ti dan Evans (ketua cult) berkomunikasi, namun tidak hingga sekarang, mereka baru menyadari jika umat manusia punya kapabilitas untuk berbohong? Ini sedikit menggelikan. Jika San-Ti sudah memprediksi ini pun, mengapa pula mereka susah-susah membangun pengikut atau membiarkan para ilmuwan bermain dalam gim mereka? Jika saya San-Ti, penghuni bumi bakal saya diamkan saja, toh mereka juga tak mampu berbuat apa pun, kecuali ada argumen lain yang belum dijelaskan di seri ini.

Baca Juga  I Am Groot

Sementara “momen setelah”, kontras dengan segmen sebelumnya. Setelah San-Ti “go-public” umat manusia bumi menjadi prepare untuk mengantisipasi kedatangan mereka 400 tahun lagi. Ya, ini memang masih sangat lama, namun beberapa manusia bumi berupaya keras, setidaknya mengetahui bagaimana pikiran mereka bekerja. Kita tidak tahu, apakah tujuan mereka ke sini beritikad baik atau buruk? Hanya pesan kalimat, “kalian hanyalah serangga” membuat semua orang panik dan menafsirkan ini kelak sebagai invasi besar-besaran. Satu upaya besar dan mahal dilakukan umat manusia, dan ini gagal, lantas apalagi? Ending-nya tidak memberi jawaban memuaskan, selain hanya menutup “babak pertama” dari satu kisah besar yang sekadar memaparkan eksposisi (bagian pengantar) saja.

3 Body Problem adalah seri sci-fi dengan premis menarik melalui kombinasi ilmu sains dengan segala kerumitannya serta sisi misteri yang menggelitik, namun belum memiliki motif dan arah cerita yang jelas. Di luar, para pemain utamanya yang bermain apik dengan dialog-dialog yang inteleknya, saya penasaran mencoba mencari tahu “pesan terselubung” yang ada dalam kisahnya. Film ini memang memantik eksplorasi subteksnya dengan segala absurditasnya. Ini bukan hal yang mudah ditemukan akibat saling tumpang tindih antara subplot satu dengan lainnya. Jika dilihat dari adegan opening-nya, apakah ini menjadi kritik bagi ideologi sosialisme di Tiongkok yang mengekang kebebasan berpikir? Segmen ini memang hanya secuil dan tidak mewakili keseluruhan plotnya. Apakah seri ini bicara soal lingkungan dan umat manusia yang tak lagi bisa diharapkan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri? Atau bagaimana potensi pikiran manusia yang akan selalu memiliki solusi jika dalam tekanan? Titel serinya yang juga teori fisika rumit, bisa jadi memberi satu pentunjuk besar. Atau semata ini hanyalah pikiran manusia yang terjebak dalam alam kerumitan pikirnya sendiri? Entahlah. Ini semua pernah muncul dalam film-film sci-fi lainnya. Menonton seri ini seperti hanya sia-sia dan membuang waktu, menanti jawaban pada seri kedua yang entah datangnya kapan. Semoga tak selama San-Ti.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
65 %
Artikel SebelumnyaSineas Merdeka: Bersinergi dalam Film dengan Merdeka di Malang
Artikel BerikutnyaBadarawuhi di Desa Penari
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.