Avatar: The Last Airbender (2024–)
N/A|Action, Adventure, Comedy|22 Feb 2024
7.2Rating: 7.2 / 10 from 71,467 usersMetascore: N/A
A young boy known as the Avatar must master the four elemental powers to save the world, and fight against an enemy bent on stopping him.

Setelah Netflix belum lama sukses memproduksi seri live-action, One Piece, kini berlanjut Avatar: The Last Airbender (2005). Seri animasi populer yang bertotal 3 musim ini hanya diadaptasi musim pertamanya saja, Water. Seri ini bertotal 8 episode dengan durasi rata-rata 55 menit. Seri ini dikembangkan oleh Albert Kim dari sumber aslinya, dengan dukungan bintang-bintang remaja, seperti Gordon Cormier, Kiawentiio, Ian Ousley, Dallas Liu, serta Paul Sun-Hyung Lee, Ken Leung, dan Daniel Dae Kim. Akankah seri ini mendapat respon bagus seperti halnya One Piece?

Bagi penikmat seri animasinya, plotnya pasti sudah tak asing. Secara ringkas, plotnya mengikuti petualangan Aang (Cormier), Katara (Kiawentiio), dan Sokha (Liu) untuk membantu sang avatar mempelajari tiga elemen lainnya. Sang avatar, Aang, adalah satu-satunya bangsa udara yang tersisa dan masih seorang bocah berumur 12 tahun. Hanya sang avatar yang mampu menyeimbangkan dan membawa harmoni bagi seluruh alam. Sang avatar memiliki misi besar untuk menumpas Bangsa Api di bawah rezim otoriter, Raja Ozai (Kim), yang berkuasa sejak 100 tahun silam. Dalam petualangannya, Aang dan dua rekannya mengembara ke wilayah bangsa Tanah serta Air. Mereka dikuntit oleh kelompok Api pimpinan Pangeran Zuko (Liu), yang berambisi membawa sang avatar untuk dibawa ke ayahnya, Ozai.

Memang bukan hal mudah untuk me-remake animasi menjadi live-action. Seri animasi The Last Airbender adalah film fantasi dari negeri antah berantah dengan segala lokasinya yang eksotis dan unik. Film remake-nya pun pernah diproduksi yang digarap sineas bertalenta tinggi, M. Night Shyamalan, melalui titel yang sama pada tahun 2015, namun gagal total secara komersial dan kritik. Sejauh ini, film remake fantasi senada yang memukau adalah seri The Lord of the Rings, baik feature maupun serinya. Netflix sendiri telah memproduksi seri One Piece dan terbukti sukses dan dipuji banyak pengamat. Dengan rasa percaya diri tinggi, Netflix memproduksi The Last Airbender, dan hasilnya pun secara visual memang jauh dari kata buruk.

Baca Juga  The Platform

Satu hal, seri ini jelas lebih baik dari feature yang dibuat Shyamalan. Setting kota, istana, pedesaan, hingga interior kapal perang, yang menjadi tampilan dominan serinya, mampu disajikan dengan sangat baik. Efek visual (CGI) banyak mendukung, khususnya menampilkan kota Omashu yang menakjubkan dengan transportasi kereta tanahnya. Semua setnya tampak meyakinkan, tak ada yang cacat. Satu hal yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimana seri ini menyajikan ilmu beladiri masing-masing elemen, yakni udara, api, air, dan bumi (tanah). Hasilnya memang amat mengagumkan dan terlihat nyata dalam banyak adegan aksi laganya. Singkatnya, untuk tontonan bioskop pun sangat pantas.

Satu hal yang menjadi kelemahan besar adalah para kasting mudanya. Seringkali dalam banyak adegan mereka seperti terlihat menghafal skrip dengan ekspresi wajah yang memang jauh dari matang. Ini tentu amat menganggu. Penampilan para kasting mudanya banyak tertolong oleh para pemain seniornya yang bermain baik. Untuk urusan ini, memang jauh dari seri One Piece yang memang rata-rata pemainnya berusia matang. Secara umum, untuk level seri televisi macam ini, kelemahan ini bisa sedikit ditolerir, tertutup oleh pencapaian visualnya yang memukau.

Avatar: The Last Airbender terhitung loyal dengan sumbernya didukung set dan efek visual yang menawan, hanya saja, kelemahan terbesar adalah empat kasting mudanya. Saya pun sudah tak ingat betul, secara detil kisah seri animasinya, namun terasa ada beberapa kelokan cerita yang diubah dan melompat, dan ini pun bisa dipahami. Seri ini memang kental nuansa timur dengan filosofi dan kebijakannya. Konsep avatar memang bukan hal mudah untuk dikisahkan, namun seri ini mampu memaparkannya dengan kisah yang sederhana. Walau bukan seri fantasi yang istimewa, namun untuk fans animasinya, seperti saya, seri ini cukup menghibur dengan pesona visualnya.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaThe Holdovers
Artikel BerikutnyaNǎi Nai & Wài Pó
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.