The Platform (2019)
94 min|Horror, Sci-Fi, Thriller|20 Mar 2020
7.0Rating: 7.0 / 10 from 283,876 usersMetascore: 73
In a prison where inmates are fed on a descending platform, those on the upper levels take more than their fair share while those below are left to starve on scraps, and one man decides to change the system.

The Platform (El Hoyo) adalah film horor fiksi ilmiah produksi Spanyol arahan Galder Gaztelu-Urrutia. Film yang didistribusikan oleh Netflix ini, diputar pertama kali dalam ajang Toronto International Film Festival tahun lalu dan baru dirilis via streaming tahun ini. Film berdurasi 94 menit ini dibintangi oleh para pemain lokal, yakni Iván Massagué, Antonia San Juan, Zorion Egileor, serta Emilio Buale Coka. Sebagai peringatan, film ini bukan untuk tontonan semua orang karena berisi adegan sadis dan brutal, dengan konsep yang absurd pula. Anehnya, karena alasan tertentu, nama-nama karakter dalam filmnya juga menggunakan kata dan nama dalam Bahasa Indonesia. Penasarankan?

Alkisah Goreng (Massagué) terbangun dalam sebuah ruang penjara yang aneh. Dinding beton bertuliskan angka 48 yang menandakan lantai 48. Tak ada pintu dan jendela, hanya sebuah lubang berbentuk persegi di tengah ruangan. Dari lubang tersebut, Goreng bisa melihat lantai-lantai di bawah dan di atasnya. Entah sampai berapa lantai di bawah berujung. Lubang persegi tersebut ternyata merupakan keluar masuknya sebuah meja beton (platform) yang mengantarkan makanan sehari-harinya. Goreng ditemani rekan satu selnya, Trimagasi yang menjelaskan bagaimana sistem di penjara tersebut bekerja. Apakah Goreng bisa bertahan di sana?

Edan! Memang sulit menjelaskan alur plotnya secara rinci (tanpa spoiler) tanpa menontonnya sendiri. Jika pernah menonton The Cube, film ini sedikit mirip konsep visualnya, namun tetap berbeda dalam banyak hal, khususnya motif dan pesan cerita. The Platform berbicara dalam tingkat yang jauh berbeda dan lebih dalam. Alur kisahnya dibuka sederhana dengan sosok Goreng yang sama tidak tahunya dengan penonton. Trimagasi menjadi penyambung informasi berharga bagi penonton dalam tiap momennya. Oh my, saya pikir, saya mengerti setelah kisah berjalan beberapa adegan. Ternyata saya salah besar.

Baca Juga  Good Mother (Festival Sinema Prancis)

Film ini mau bicara apa? Kapitalisme? Sosialisme? Ketidakadilan? Ketamakan dan kerakusan? Solidaritas dan kemanusiaan? Meja makan yang penuh dengan beragam minuman dan makanan bergerak dari ruang nomor satu hingga ke bawah dan seterusnya. Pada lantai yang teratas, seseorang bisa memakan semua yang ia mau, demikian seterusnya hingga otomatis lantai terbawah yang tidak menyisakan satu makanan pun. Coba, bisa kamu lihat ide dan gagasannya? Ternyata semakin lama kisahnya berjalan, film ini tidak sesederhana yang kita pikir. Film ini berbicara sesuatu yang lebih dalam lagi bahkan hingga konsep Ilahi. Nomer lantai paling bawah menjelaskan semuanya. Coba saja googling angka tersebut dan maknanya. Bisa jadi pula nama-nama karakternya bisa menjelaskan sesuatu yang berbeda. Bicara soal ini semua, bisa berupa tulisan berbeda yang berlembar-lembar panjangnya. Film ini jelas menarik menjadi bahan diskusi.

Sadis, brutal, menjijikkan, absurd, apapun itu, The Platform adalah sebuah ide dan konsep brilian dengan multilevel subteks, serta pula adalah salah satu film terbaik yang pernah diproduksi di era modern. Entah, pembuat film bisa mendapat ide segila ini dari mana sumbernya. Film bisu produksi Jerman, Metropolis (1927) dan film Korea Selatan, Snowpiercer juga sedikit menyinggung konsep ini, namun tanpa banyak multitafsir. The Platform adalah sebuah karya masterpiece yang rasanya bakal menjadi bahan perbincangan kalangan akademisi maupun penggila film ke depannya. Aneh rasanya, melihat film yang bernada “social distancing” macam ini dirilis pada momen ini, mungkin hanya kebetulan, mungkin juga tidak. The Platform memberi pelajaran berharga. Manusia memang bebal dan tidak mau di atur. Kita memang terlalu rakus dan tamak. Sekarang, virus yang kasatmata mengatur hidup kita. Kita sekarang hidup seperti dalam The Platform. Semoga kita bisa belajar dari ini semua. Selamat menonton!

Stay Healthy and safe!

PENILAIAN KAMI
Overall
100 %
Artikel SebelumnyaThe Way Back
Artikel BerikutnyaVivarium- English
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

3 TANGGAPAN

  1. Baca tulisan ini bukannya dapet pecerahan malah saya jadi bingung. Bukannya menjawab pertanyaan malah bertanya balik..

    • Terima kasih atas responnya. Petunjuk sudah diberikan di ulasannya, jika dibahas rinci tentu adalah spoiler dan itu yang tidak dikehendaki penulis karena akan mengurangi kenikmatan menonton. Kelak penulis bisa saja membahas lebih rinci dalam artikel lepas, seperti yang dilakukan sudah-sudah.

  2. Film yang memberikan nuansa baru, dengan segala konsep yang berani tampil berbeda. Selalu ada kejutan di setiap plot.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.