Generasi muda masa kini, pasti tak akan ada yang percaya, jika terdapat masa di mana kita harus membeli tiket bioskop di masing-masing loket studionya. Jika misalnya, terdapat 8 studio dalam satu bioskop, maka akan ada 8 box tiket. Kita pun harus mengantri di box tiket studio yang memutar filmnya. Bayangkan, jika satu film box-office hanya diputar oleh satu studio, antrian pun pasti membeludak hanya di satu box tiket saja, sementara lainnya kosong melompong. Ini dulu terjadi di Bioskop Empire 21 Jogja, semasa saya mulai kuliah tahun 1992.
Sejak momen tersebut hingga sekarang, nyaris tiap minggu, saya tidak pernah absen ke bioskop. Pengalaman menonton berpuluh-puluh tahun di bioskop menyisakan banyak cerita menarik. Di antaranya adalah sistem pembayaran tiket bioskop. Dulu, kita wajib menggunakan pembayaran tunai alias cash dan kini dapat menggunakan pembayaran digital (online) melalui aplikasi smartphone. Sebelum pembayaran digital seperti sekarang adalah proses yang amat panjang bagi para penikmat film bioskop lawas seperti saya.
Pembayaran cash dari nominal hanya beberapa ratus (perak) hingga ribu rupiah, pernah saya alami. Bioskop-bioskop semasa saya cilik, kebanyakan tidak memiliki banyak ruang bioskop seperti sekarang. Satu bangunan hanya berisi satu teater besar yang bisa memiliki daya tampung lebih dari 500 penonton. Loket tiket pun hanya satu. Bisa dibayangkan jika penonton membeludak, antriannya seperti apa. Belakangan, konsep cineplex muncul dengan satu bioskop memiliki jumlah studio yang bervariasi. Di Kota Jogja terdapat Empire 21 yang memiliki 8 studio, Regent 21 memiliki 4 studio, lalu Ratih 21 memiliki 2 studio. Ini tentu memberi kenyamanan lebih bagi penonton karena bisa memiliki alternatif tontonan film.
Di Jogja juga terdapat satu bioskop besar, Mataram Theater, dengan harga tiket yang dibanderol hanya 3000 ribu perak saja. Pasca-krisis moneter (1998), semua bioskop jaringan 21 tutup, bahkan bangunan bioskop Empire dan Regent terbakar. Praktis selama beberapa tahun, kota ini hanya memiliki satu bioskop saja, Mataram. Momennya adalah saat film Indonesia bangkit dari tidur panjangnya, melalui film Jelangkung (2001) dan Ada Apa dengan Cinta? (2002). Antrian hingga ratusan meter panjangnya saya alami sendiri kala itu hingga berjam-jam. Ratusan penonton berdesakan hebat, hingga kaca bangunan bioskop pecah. Jeritan dan teriakan penonton muncul dari sana-sini. Puluhan calo dadakan muncul menawarkan tiket. Suasana begitu chaos dan tidak menyenangkan bagi para pengunjung.
Situasi mengantri tiket semakin nyaman dengan diperkenalkannya sistem antrian digital di jaringan bioskop 21 yang muncul pada medio 2000-an. Satu loket tiket dapat mengakses semua studio dan penonton bebas memilih tontonan hanya dari satu loket saja. Setidaknya terdapat dua hingga empat loket tiket, tergantung dari berapa jumlah studio yang tersedia di sebuah bioskop. Kala itu, di Kota Jogja hanya terdapat dua bioskop, Studio 21 (sekarang Ambarrukmo XXI) dan Empire XXI (Bioskop Mataram akhirnya tutup). Sistem baru ini pun masih belum mampu mengatasi masalah jika film yang diputar adalah film-film boxoffice laris.
Saya mengalaminya sendiri selama beberapa tahun. Menjelang bioskop dibuka, penonton telah membeludak dan mengular di depan pintu masuk bioskop. Ketika pintu dibuka oleh petugas, bisa dibayangkan, puluhan penonton berlarian masuk dan berusaha mengantri sedekat mungkin dengan loket. Jujur, saya merindukan momen ini walau sama sekali tidak nyaman. Bisa mendapatkan tiket bangku ideal dengan cara “brutal” seperti ini terasa sepadan dengan perjuangannya. Hanya penikmat film lawas yang mampu merasakan momen ini.
Pada masa ini, antrian hingga ratusan meter, saya lihat sendiri sewaktu rilis beberapa film populer, macam 2012 (2010) hingga seri Harry Potter. Di bioskop Empire XXI, loket tiket yang tersedia lumayan banyak, setidaknya empat. Antrian ratusan meter mengular hingga halaman parkir bioskop, bahkan hingga mendekati jalan raya (Jalan Urip Sumoharjo). Penonton yang ingin menonton film lain pun terpaksa harus ikut mengantri panjang. Sementara di Studio 21, antrian kurang lebih sama hingga mencapai keluar area bioskop hingga toilet (di lantai 4) yang jaraknya hampir 100 meter. Penjualan tiket sebelum tayang (presale) yang bisa dibeli beberapa hari menjelang rilisnya, juga tidak banyak membantu. Tidak jarang, penonton yang ingin membeli tiket hanya disuguhi catatan kertas bertuliskan “tiket film A telah habis” yang ditempel di pintu bioskop.
Tidak hingga medio 2010-an, diperkenalkan pemesanan tiket online yang dapat dilakukan menggunakan komputer ataupun smartphone. Penonton kini bisa membeli tiket melalui aplikasi jaringan bioskop dan memilih langsung bangku yang dikehendaki. Satu orang hanya dibatasi untuk membeli empat tiket. Ini tentu memberi kenyamanan tersendiri bagi penikmat film bioskop reguler untuk memilih posisi bangku favoritnya. Pada awal-awal pun, pemesanan tiket online ini belum banyak diminati, selain penikmat film reguler. Antrian panjang sering kali masih tampak pada pemutaran film-film laris. Bisa jadi, mereka tipe penonton yang tidak memedulikan posisi bangku di dalam ruang bioskop.
Kini, antrian panjang jarang sekali terlihat di bioskop. Terlebih di masa pandemi COVID-19, banyak penonton lebih memilih memesan tiket online agar praktis dan tidak beresiko berdekatan dengan pengunjung lain. Penonton film pun kini lebih fleksibel dalam membeli tiket, di mana pun dan kapan pun dengan jadwal waktu tonton yang mereka inginkan. Bahkan kita bisa membelikan seseorang tiket yang berada jauh di wilayah kita atau di seberang pulau. Semuanya bisa dilakukan dengan mudah dan cepat menggunakan sentuhan ujung jari kita.
Semua jaringan bioskop kini nyaris semua memiliki pembayaran online dengan ragam fiturnya. Jaringan bioskop CGV misalnya, menawarkan bonus point dan kupon untuk menambah daya tarik. Bahkan aplikasinya juga menawarkan pembelian snack, makanan, dan minuman, sehingga tidak perlu repot-repot memesan dan membayarnya sewaktu menonton. Tidak jarang pula, aplikasi memberi kupon potongan harga tiket atau makanan, “buy one get one”, dan sebagainya. Pembayaran juga berkolaborasi dengan beberapa bank besar dan platform e-commerce, melalui transfer, credit card, hingga QRIS. Namun, cara pembayaran online juga masih harus tahan uji karena masalah pun masih muncul.
Aplikasi yang membutuhkan jaringan internet dan sistem yang rumit, masih tak lepas dari kesalahan teknis atau error. Suatu ketika, saya pernah memesan tiket dan terjadi error sehingga tiket yang telah dipesan secara online dibatalkan secara otomatis. Entah apa penyebabnya, tentu ini sangat merugikan konsumen, walaupun pihak bioskop bertanggung jawab mengganti tiketnya. Problem senada beberapa kali terjadi di aplikasi lain dan ini tentu sulit untuk diantisipasi. Penggunaan aplikasi juga memiliki konsekuensi penambahan biaya pemesanan (booking) yang besarnya lumayan. Misalnya saja, aplikasi MTIX milik jaringan XXI memiliki bea pemesanan sebesar Rp 4.000,-/tiket. Jika kita memesan sepuluh tiket, tentu besarnya sudah bisa untuk membeli satu buah tiket.
Pembayaran digital via aplikasi tentu memudahkan penonton untuk membeli tiket. Pembelian secara cash langsung di loket pun juga masih tersedia. Semua cara pembayaran memiliki resiko. Tergantung dari konsumen untuk memilih cara pembayaran yang nyaman bagi mereka. Satu hal yang diharapkan tentunya adalah sistem pembayaran yang mudah, cepat, aman, nyaman, serta murah. Antrian panjang dan berdesak-desakan seperti tiga dekade lalu, kini hanya tinggal kenangan. Semuanya hanya ada dalam memori penikmat film bioskop lawas seperti saya dan pecinta film lainnya. Semoga ini semua semakin mendukung industri film Indonesia yang kini tengah dalam masa emasnya.
Himawan Pratista
Penonton film bioskop sejak tahun 1990 hingga kini.





