captain america brave new world

Menjelang penghujung fase kelima, MCU (Marvel Cinematic Universe) merilis Captain America: Brave New World sebagai film pembuka di tahun ini. Film ke-35 dari MCU ini digarap Julius Onah dengan dibintangi Anthonie Mackie sebagai Captain America yang kita kenal sebelumnya sebagai sosok Falcon. Bermain pula dalam film ini, antara lain Harrison Ford, Danny Ramirez, Shira Haas, Carl Lumbly, Xosha Roquemore, Jóhannes Haukur Jóhannesson, Giancarlo Esposito, dan Tim Blake Nelson. Bisakah kini sosok Sam Wilson alias Captain America lepas dari film-film sebelumnya yang bergantung dari sosok-sosok super di sekelilingnya?

Sosok Jenderal Thaddeus Ross (Ford, sebelumnya diperankan oleh William Hurt (alm.)) kini menjadi Presiden terpilih AS dan mengangkat Sam Wilson menjadi asisten khususnya. Dalam sebuah acara besar yang melibatkan para pimpinan dunia, insiden kecil terjadi yang nyaris menewaskan presiden. Rekan lama Sam, Isaiah Bradley (Lumbly) yang ikut dalam acara tersebut dituduh menjadi dalang pembunuhan. Menentang perintah sang bos, Sam bersama rekan barunya, Joaquin Torres alias Falcon mencoba mencari dalang pelakunya yang justru membawa mereka ke situasi pelik yang bisa memicu konflik internasional.

Seperti film-film MCU sebelumnya, Captain America versi baru ini juga memiliki kerumitan plotnya akibat relasi dengan kisah film sebelumnya. Film ini memiliki hubungan cerita dengan seri Falcon and the Winter Soldier, The Incredible Hulk, Eternals, Captain America: Winter Soldier, Captain America: Civil War, Black Widow, hingga Black Panther. Bisa jadi penonton yang belum menonton film-film dan seri tersebut akan kehilangan konteks cerita atau minimal kehilangan informasi cerita yang melatar belakangi sebuah peristiwa, tokoh, atau hanya sekadar properti sederhana. MCU pada level kisahnya sekarang memang bukan lagi untuk penonton awan, namun memang murni fans fanatiknya.

Plotnya sendiri banyak mengingatkan pada Captain America: Winter Soldier yang memiliki intensitas tinggi dan nuansa politik kental, dan sosok Sam pun dikenalkan melalui film ini. Brave New World dengan segala aset cerita MCU sejauh ini membuatnya memiliki potensi thriller yang kuat dengan skala lebih luas dan tentu musuh yang lebih tangguh. Siapa mengira, kisah Eternals yang begitu absurd bisa dikaitkan dengan plot ini tanpa terlihat dipaksakan. Percaya atau tidak, plot Brave New World di luar dugaan terasa membumi sejak MCU berkutat dengan ranah multiverse yang begitu absurd. Sosok Sam yang kini telah jauh lebih bijak dengan segala peristiwa sebelumnya, juga mampu menyelesaikan masalah tanpa dibantu sosok super lainnya.

Baca Juga  Del Toro's Pinocchio

Lalu aksinya? Apalagi yang ditunggu selain pertarungan klimaks antara Captain America versus Red Hulk seperti tampak jelas dalam trailer dan poster filmnya. Bagi saya adalah bukan aksinya, namun adalah proses yang melatar belakanginya. Film ini adalah penghormatan besar sekaligus penebusan dosa bagi sosok Thaddeus Ross yang telah muncul sejak fase MCU pertama (The Incredible Hulk). Sang aktor kawakan, Harrison Ford walau hanya sebagai “aktor” pengganti, membuktikan mampu berperan apik dan membawa kedalaman bagi karakter ini yang sebelumnya tidak pernah kita lihat. Dengan segala dosa sosok Ross di masa lalu, fans MCU bisa jadi akan memahami karakter ini lebih baik. Kejutan kecil di penghujung, memperlihatkan sosok Ross bukanlah sosok jenderal dan presiden yang keras, namun sesungguhnya hanyalah seorang ayah yang merindukan putrinya.

Intens, nonstop, dan aksi yang menghibur, Captain America: Brave New World merupakan thriller politik kompleks yang bisa jadi bukan untuk semua fansnya. MCU kini terlihat lebih hati-hati dengan naskahnya sejak flop The Marvels. Dari beberapa pemberitaan terkini, penonton film, kini juga lebih sadar dengan kejadian global yang bisa berdampak pada kesuksesan filmnya. Mau tidak mau, sebagian penonton bisa menghakimi film tanpa harus menonton. Pro dan kontra adalah satu hal yang wajar. Bagi fans film sejati, tentunya kita bisa lebih bijak melihat situasi semacam ini. Apakah kisah dan pesan dalam kisah film ini mendukung satu kelompok/pihak tertentu atau memang menyuarakan kebenaran dan keadilan secara universal? Kalian bisa menjawabnya sendiri.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaI’m Still Here | REVIEW
Artikel BerikutnyaCleaner | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.