Rilisnya Cinta dalam Ikhlas hari Rabu kemarin mungkin cukup membuktikan bahwa sinema romansa religi masih relevan di Indonesia. Apalagi, seperti tren film romansa belakangan, film ini jugalah adaptasi dari novel romansa religi karya Abay Adhitya. Film ini disutradarai dengan rapi dan manis oleh Fajar Bustomi yang juga menyutradarai Aku Jati, Aku Asperger yang rilis akhir Oktober lalu. Diperankan oleh Abun Sungkar dan Adhisty Zara, film ini sungguh tepat membidik target penontonnya.
Seorang pemuda yang baru bertubi-tubi kehilangan ayah dan kakaknya, Athar, bertemu dengan cinta pertamanya, Ara, di upacara masuk SMA. Tiga detik pandangan pertama itu menjadi awal perjalanannya menjadi seorang lelaki yang pantas untuk menjadi jodoh Ara, dan hijrahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Bukan hanya mendalami islam, ia juga belajar keras untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, mengejar mimpi dan ikhtiar dalam pekerjaannya. Namun sepertinya, ada saja cobaan yang menerpa cintanya. Perpisahan demi perpisahan, keduanya diuji dalam keimanan dan ketulusan. Apa mereka bisa ikhlas melepaskan cinta yang tidak ‘ditakdirkan’?
Kali ini sepertinya Bustomi mengambil keputusan estetik yang lebih subtle dibandingkan dengan Mariposa (2020) dan Aku Jati, Aku Asperger (2024). Dibandingkan dengan betapa mencoloknya kode warna yang digunakan para tokoh utama di Aku Jati, Aku Asperger, Cinta dalam Ikhlas mengambil warna-warna lembut dan menyejukkan. Mariposa juga mengambil estetik pastel, namun Cinta dalam Ikhlas terasa lebih halus lagi, mungkin karena fashion di film ini adalah fashion hijab yang saat ini dipenuhi dengan warna natural dan ringan di mata.
Keputusan estetik ini sangat cocok diterapkan untuk film-film romansa dengan alur simpel dan straightforward seperti Cinta dalam Ikhlas. Rasanya pengemasan fashion dan warna di film ini direalisasikan dengan lebih baik daripada film romansa religi yang rilis minggu kemarin, Pantaskah Aku Berhijab. Benar memang, bahwa fashion di dua film ini hanyalah setting semata. Bedanya, di Pantaskah Aku Berhijab, konflik di dalamnya akan lebih bermakna apabila fashion hijab itu sendiri dieksplor dengan lebih mendalam. Terutama karena tokoh utama di film itu memiliki bakat dan passion dalam fashion.
Sementara di film ini, fashion memang jelas hanya sebagai alat untuk memperindah estetik dan latar belakang religi cerita ini, dengan penanganan yang luar biasa manis dan memanjakan mata. Kembali lagi memuji Bustomi, terlihat bahwa pengalamannya dalam mengemas warna latar, color grading dan fashion di filmnya telah membantu kesan immersive di dunia film ini.
Bukan hanya di warna dan fashion-nya, serta setting keseluruhan filmnya, dialog dan penulisan karakter di film ini digambarkan secara apa adanya. Karakter didalamnya digambarkan dengan lurus, sederhana, namun tidak superfisial, dengan ketulusan dan kemurnian khas cerita religi. Sepertinya memang Bustomi ahli dalam membangun sebuah dunia dari suatu sudut pandang khusus yang menarik, namun sederhana. Contohnya, di Aku Jati, Aku Asperger, estetik dan cerita digambarkan secara khusus dari sudut pandang Jati yang memiliki Sindrom Asperger, polos dan penuh warna. Sementara di film ini, cerita digambarkan secara khusus dari sudut pandang religi yang begitu romantis dan memuaskan.
Akting dari para pemerannya sangat seimbang dan saling mendukung satu sama lain. Akting para pemeran pembantu pun juga sangat natural dan halus, terutama akting ibu Athar. Mungkin karena karakter-karakter di film yang pada dasarnya memiliki sifat yang murni dan tulus berkat genre religinya, tidak dibutuhkan kemampuan akting yang terlalu tinggi. Tapi, memerankan karakter-karakter yang tulus ini juga adalah suatu tantangan tersendiri bagi para aktor untuk membuat karakter mereka cukup memorable bagi penonton. Dan mereka sukses melakukannya.
Dari segi cerita, ini adalah cerita yang cukup klise dan relatable bagi anak muda muslim. Konflik di cerita ini cukup tertebak, namun berkat pengemasannya yang rapi, film ini memiliki kekuatannya sendiri untuk bersaing dengan film bergenre romansa yang lain. Jika dibandingkan dengan Pantaskah Aku Berhijab yang terkesan low-effort, dengan penyutradaraan mirip sinema elektronik, jelas bahwa Cinta dalam Ikhlas menawarkan pengalaman penonton yang lebih baik. Adegan-adegannya tidak diulur-ulur dan cukup efektif, dan meski alurnya lambat, penonton tidak terasa bosan.
Segi drama di film inilah kekuatan utama yang mencegah rasa bosan penonton. Halus, namun memikat. Dengan plot twist yang ditangani dengan masterful, seketika membuat penonton merasa puas mengikutinya. Hal inilah yang membedakan cerita drama romansa religi untuk layar kaca dan layar lebar. Terutama dari penyutradaraannya yang tidak membuang durasi untuk hal-hal yang tidak penting, berfokus pada tokoh utama dan tokoh pendukung yang penting.
Menonton film ini di bioskop adalah salah satu pengalaman menyenangkan pula. Itu semua berkat target penonton dengan genre yang sangat pas, cerita sederhana yang dikemas dengan rapi dan cantik, serta dunia di dalam cerita itu yang secara khusus direalisasikan oleh sutradaranya. Namun, seperti Aku Jati, Aku Asperger, sepertinya film ini juga masih terkesan bermain aman, yang membuat filmnya tidak se-memorable film-film dengan premis yang lebih unik. Bukan berarti itu adalah hal buruk, karena memang menonton film ini jelas cukup menghibur hati dan terasa ringan. Cinta dalam Ikhlas bisa disebut sebagai romansa religi fairytale, begitu polos, murni dan ideal.