Penonton film Indonesia kini dihebohkan dengan film roman fantasi berjudul Sore: Istri dari Masa Depan. Film ini diadaptasi dari webseries berjudul sama yang juga digarap dan ditulis naskahnya oleh Yandy Laurens. Hingga artikel ini ditulis, Sore telah meraih hampir 3 juta penonton sejak rilis tanggal 10 Juli 2025 (cinepoint.com).

Sang sineas selama ini kita kenal memproduksi film-film bertema roman dan keluarga, yakni Keluarga Cemara (2019), Jatuh Cinta Seperti di Film-Film (2024), serta 1 Kakak 7 Ponakan (2025). Keluarga Cemara dan Jatuh Cinta Seperti di Film-film (2024), masing-masing meraih Piala Citra untuk skenario adaptasi dan asli terbaik dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI). Tak heran, jika film barunya mendapat respon yang bagus dari penonton.

Sore: Istri dari Masa Depan dibintangi oleh Dion Wiyoko, Sheila Dara Aisha, Mathias Muchus, Maya Hasan, serta beberapa pemain asing, Goran Bogdan, Livio Badurina, serta Lara Nekic. Dion sendiri juga turut bermain dalam webseries-nya. Film berdurasi 119 menit ini diproduseri oleh Sheila Paramita melalui rumah produksi miliknya (bersama Yandy), Cerita Films.

Sejak Sore dirilis, film ini telah menjadi bahan perbincangan banyak kalangan, baik penonton hingga pengamat film karena eksplorasi kisahnya yang unik, bermain-main dengan dimensi waktu. Di luar kisah romannya yang mengharu biru, apa sesungguhnya keunikan Sore? Dalam artikel ini, penulis mencoba menganalisis elemen-elemen permainan waktu yang ditawarkan oleh naskahnya.

 SEGMENTASI PLOT “SORE”

Plot Sore dibagi menjadi tiga segmen besar yang menggunakan arah pandang masing-masing protagonisnya. Segmen pertama bertitel Jonathan yang kisahnya diambil dari perspektif Jonathan yang dituturkan secara linier. Segmen kedua bertitel Sore yang kisahnya diambil dari perspektif Sore yang terjebak dalam pusaran waktu (time loop) yang melelahkan. Segmen ketiga bertitel Waktu yang mengambil perspektif dari sudut pandang “Waktu” yang terus mengintimidasi Sore hingga ia hilang ditelan waktu.

Segmen Pertama: Jonathan

Diperlihatkan sosok Jonathan (Dion Wiyoko), seorang fotografer profesional yang tengah berpetualang untuk mengambil foto di wilayah Arktik. Ia tinggal di sebuah kota kecil di Kroasia. Suatu ketika di pagi hari, saat bangun tepat jam 8:25, ia dikejutkan oleh kehadiran seorang perempuan muda yang mengaku bernama Sore (Dara), istrinya dari masa depan. Tentu saja, Jonathan menganggap ini adalah lelucon konyol ulah sobatnya, Karlo (Bogdan). Namun, sosok perempuan misterius ini terus mengikutinya dan selalu bisa mengantisipasi segala sesuatu yang ia lakukan. Sore terus mengikuti ke mana Jonathan pergi. Ia bahkan berani menyela ketika Jonathan bersama pacarnya, Elsa (Nekic) yang menyebabkan hubungan mereka putus. Ia juga memberi tips hasil jepretan Jonathan yang mencuri perhatian seorang kurator fotografi di kotanya. Foto-foto karyanya yang selain dirinya tidak ada seorang pun yang tahu.

Jonathan pun mulai memberikan perhatian serius pada sang gadis dan mulai percaya bahwa Sore benar-benar datang dari masa depan. Ia bertanya apa sesungguhnya kemauan Sore? Ia menjawab untuk membuatnya menjadi lebih baik serta harus mematuhi segala sesuatu yang ia perintahkan. Stop mengonsumsi alkohol dan rokok adalah salah satunya dengan alasan kelak Jonathan akan meninggal karena sakit jantung. Dalam satu momen kecil, Jonathan memutuskan untuk merokok. Sore yang memergokinya terlihat sangat emosi, hidungnya berdarah dan mendadak jatuh tak sadarkan diri.

Baca Juga  Tom Hiddleston, The Sexiest Man Alive

Segmen Kedua: Sore

Segmen kedua mengambil perspektif sosok Sore yang telah terjebak dalam pusaran waktu yang seolah tak berujung. Setelah segala usaha untuk membuat Jonathan lebih baik dirasa gagal, akhirnya Sore memilih untuk meninggalkan Jonathan dan bekerja di toko bridal milik Marko (Badurina) di Zagreb, berharap bisa melupakan sosok suaminya. Untuk sekian lama, Sore merasa nyaman di tempat barunya. Momen berubah ketika Jonathan dan Elsa, calon istrinya, datang ke toko untuk membuat pakaian pengantin. Elsa terlihat berselisih tentang keseriusan hubungan mereka dan meninggalkan Jonathan.

Sore yang mengetahui jika ternyata ayah Jonathan selama ini tinggal di Kroasia, akhirnya memilih “kembali” ke suaminya. Ia mengira bahwa “kutukan” yang ia alami bakal berakhir jika Jonathan bertemu ayahnya. Melalui usaha serta proses yang sangat panjang dan berulang-ulang, akhirnya Sore bisa membuat Jonathan ingin bertemu ayahnya. Akan tetapi, Sore merasakan waktu semakin memberinya tenggat yang terbatas ditandai dengan anomali alam kemunculan aurora di benua Eropa. Ia berpacu dengan waktu agar Jonathan segera bertemu dengan ayahnya dan semuanya berakhir. Namun, Sore akhirnya menyadari bahwa “Waktu” telah marah padanya.

Segmen Ketiga: Waktu

Waktu semakin menghimpit dan malam pun datang kian cepat. Waktu berlalu demikian bergegas, Sore makin frustasi dan akhirnya pasrah bahwa ia tak mungkin bisa membawa Jonathan bertemu ayahnya. Dalam satu momen pengulangan terakhir, malam begitu saja hadir sesaat setelah mereka terbangun jam 8:25. Sore pun sirna ditelan waktu.

Jonathan terbangun di kapal yang membawanya ke Arktik (awal segmen pertama). Jonathan merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya dan tidak terjelaskan. Ia mulai meninggalkan rokok dan alkohol, yang membuat sobatnya terheran-heran. Jonathan juga berusaha untuk bertemu ayahnya dan meninggalkan foto masa cilik ketika bersama sang ayah. Merasa tak ada lagi motivasi berada di Kroasia, ia pun kembali ke Jakarta. Ia memulai aktivitas fotografinya dan di sela-sela waktunya ia mulai berolah raga.

Jonathan pun membuat pameran foto yang memamerkan karya-karya perjalanannya ke Arktik. Satu foto bernilainya adalah momennya bersama “Sore” yang ia ambil di satu pantai di Kroasia, walau tentu sang gadis tidak eksis. Seorang gadis pun mengunjungi pamerannya yang kita tahu adalah Sore. Ketika Jonathan menghampiri, ia sempat mengkritik foto sunset yang berbeda dengan gambar-gambar lainnya yang “dingin”.

Mereka pun berkenalan dan berjabat tangan. Ketika kedua tangan mereka bersentuhan, sebuah hal magis pun terjadi. Kesadaran mereka terbuka dan semua peristiwa yang kelak (Sore) atau telah terjadi (Jonathan), berulang kembali dalam satu kilasan momen. Semua menjadi jelas bagi penonton, bagaimana Sore bisa “pergi” ke masa lalu dan terjebak dalam pusaran waktu. Kedua sejoli itu berpelukan. Belahan jiwa yang telah sekian lama tak bertemu. Kerinduan yang telah lama mereka rasakan akhirnya terbayar sudah.

NEXT: EKSPLORASI PERMAINAN WAKTU “SORE”

1
2
3
4
5
Artikel SebelumnyaWeapons | REVIEW
Artikel BerikutnyaNobody 2 | REVIEW
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses