eyes of wakanda

Eyes of Wakanda adalah seri animasi kreasi Todd Harris yang merupakan seri ke-15 dari Marvel Cinematic Universe (MCU) sejak WandaVision. Seri ini bertotal 4 episode yang berdurasi rata-rata 30 menit dan dirilis oleh Disney + pada 1 Agustus baru lalu. Seri ini juga tercatat sebagai seri pertama dalam fase 6 MCU. Akankah Eyes of Wakanda mampu berkontribusi banyak bagi alur kisah semesta sinematiknya atau kali ini sekadar hanya selingan?

Eyes of Wakanda mengetengahkan empat episode dengan empat kisah berbeda di latar waktu cerita yang berbeda pula, yakni 1200, 1260, 1400, serta 1896. Semua kisahnya menyajikan usaha agen-agen Wakanda di dunia luar untuk bisa mengambil kembali artifak Vibranium yang menjadi milik Wakanda. Empat kisah tersebut memiliki benang merah pada episode 4 yang rupanya berhubungan dengan nasib Wakanda ratusan tahun di masa depan. Ringkas kisahnya, Black Panther dari masa datang harus mengembalikan keempat artifak tersebut ke tempatnya semula. Pada episode terakhir adalah usaha akhir, di mana ia kini harus menggantungkan nasib Wakanda pada dua leluhurnya, Tafari dan Kuda yang berlatar tahun 1896.

Tiga episode awal merupakan kisah “eksposisi” yang memperlihatkan aksi seru dan jerih payah tiga agen Wakanda dalam mengambil tiap artifak. Walau plotnya senada, namun set waktu kisah dan lokasi yang berbeda mampu memberikan sentuhan segar dalam tiap serinya. Bahkan satu kisahnya, melekat pada perang ikonik, Trojan War yang melibatkan sosok heroik, Achilles. Tentu saja, kisahnya merupakan realitas alternatif yang dipertegas dengan kehadiran sosok The Watcher di episode 4. Barulah pada episode penutup semuanya menjadi gamblang, mengapa sosok dalam seri What If…? tersebut muncul.

Jika kalian ingat segmen penutup dalam Avenger’s Endgame, Steve Rodgers harus mengembalikan enam Infinity Stone pada tempatnya semula. Ini adalah misi yang sama dilakukan oleh Blank Panther di masa depan, hanya saja, perspektif penonton tidak pada sosok ini melainkan para agen Wakanda. Secara keseluruhan, inti kisahnya menarik dan segar, serta dengan brilian mampu menyelipkan subplot “perjalanan waktu” untuk merangkum semua episodenya. Hanya saja, seri ini tentu tidak lepas dari beberapa film besarnya, sebut saja dua film Black Panther dan seri What If…?. Bagi yang belum menonton, rasanya bakal kesulitan untuk memahami seri ini.

Baca Juga  Stillwater

Seri Eyes of Wakanda mengambil perspektif segar dari negeri Wakanda dengan sentuhan animasi unik, sekalipun problema utamanya adalah (masih) kompleksitas semesta sinematiknya. Sangat menyenangkan melihat eksplorasi cerita yang diusung para pembuat film MCU pasca Endgame. Sebagian berhasil secara komersial dan sebagian lagi tidak, tercatat film feature MCU yang rilis tahun ini, bisa jadi termasuk Fantastic Four, terhitung gagal. Di antara seri MCU, Loki dan What If…? tercatat adalah yang paling mengejutkan dan keduanya bermain dalam ranah multiverse. Walau Eyes of Wakanda tidak selevel dengan dua seri di atas, tetapi masih terhitung sebuah eksplorasi yang menggairahkan bagi saya sebagai fans MCU. Entah bagi yang bukan fans MCU.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaTakopi’s Original Sin
Artikel BerikutnyaThe Four Seasons
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). A lifelong cinephile, he developed a profound passion for film from an early age. After completing his studies in architecture, he embarked on an independent journey exploring film theory and history. His enthusiasm for cinema took tangible form in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience eventually led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched students’ understanding through courses such as Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended well beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, Understanding Film, an in-depth examination of the essential elements of cinema, both narrative and visual. The book’s enduring significance is reflected in its second edition, released in 2018, which has since become a cornerstone reference for film and communication scholars across Indonesia. His contributions to the field also encompass collaborative and editorial efforts. He participated in the compilation of Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1–3 and 30 Best-Selling Indonesian Films 2012–2018. Further establishing his authority, he authored Horror Film Book: From Caligari to Hereditary (2023) and Indonesian Horror Film: Rising from the Grave (2023). His passion for cinema remains as vibrant as ever. He continues to offer insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com while actively engaging in film production with the Montase Film Community. His short films have received critical acclaim at numerous festivals, both nationally and internationally. In recognition of his outstanding contribution to film criticism, his writing was shortlisted for years in a row for Best Film Criticism at the 2021-2024 Indonesian Film Festival. His dedication to the discipline endures, as he currently serves as a practitioner-lecturer in Film Criticism and Film Theory at the Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, under the Independent Practitioner Program from 2022-2024.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses