Stillwater adalah film drama kriminal arahan sineas kawakan Tom McCharty. McCarthy pernah mengarahkan film terbaik peraih Piala Oscar, Spotlight (2015). Kisah filmnya konon diinsiprasi dari kejadian nyata yang menimpa warga AS, Amanda Knox, yang dipenjara karena dituduh membunuh seseorang di Italia. Film ini dibintangi oleh aktor kawakan Matt Damon, Abigail Breslin, Camille Cottin, serta Lilou Siouvaud. Lantas, bagaimana sentuhan emas sang sineas dalam mengemas cerita menarik ini?

Bill (Damon) adalah seorang pekerja tambang minyak yang putrinya, Allison (Breslin), di penjara di Merseille, Perancis, karena dituduh membunuh rekan kampusnya. Secara berkala, Bill menjenguk putrinya yang sudah lima tahun berada di rumah prodeo. Melalui surat tertutup, sang putri meminta hakim untuk membuka kasusnya karena ia menemukan petunjuk dari dosennya yang mengetahui seseorang yang mengaku telah membunuh rekan Allison. Sang hakim menolak karena minimnya bukti. Demi membebaskan putrinya, Bill pun akhirnya melakukan penyelidikan sendiri dengan mengikuti petunjuk kecil ini. Dalam perkembangan, Bill pun dekat dengan seorang ibu dan putrinya, Virginie dan Maya, yang awalnya hanya membantu Bill sebagai penerjemah.

Dengan sentuhan yang membumi, kisah film ini berjalan dari waktu ke waktu mengikuti sosok Bill. Keistimewaan kisahnya, justru bukan pada sisi investigasi, namun adalah kedekatan Bill dengan Virginie dan Maya. Tone dan gaya film ini memberi kesan layaknya film dokumenter ketimbang fiksi. Semua karakternya pun berakting natural tanpa ada sesuatu yang dilebih-lebihkan. Sosok Bill yang AS “banget”, religius, sok pahlawan, dan “pro Trump”, kontras dengan Virginie yang Perancis “banget”, seorang biseksual, anti kekerasan dan rasis, dengan filosofi kebebasan mutlak. Sisi investigasi sebenarnya hanyalah plot sampingan untuk menyajikan sebuah drama yang teramat humanis dan menyentuh.

Baca Juga  Crimson Peaks

Damon, kali ini berakting, sebagai seorang AS tulen dengan aksen selatan kental yang tentu tak biasa kita lihat dalam film-filmnya. Sementara rekan kastingnya, Cottin dan khususnya si cilik, Lilou, tampil luar biasa dengan chemistry yang terjalin kuat dengan sosok Bill. Ketiganya bermain begitu lepas sehingga penonton benar-benar melihat potret keseharian “keluarga” ketimbang sebuah cerita film. Chemistry dan kisahnya didukung pula melalui sentuhan estetik sineas, handheld camera, follow shot plus tone warna yang natural.

Dengan penampilan natural para kastingnya dan sentuhan unik sang sineas, Stillwater menampilkan kisah drama kriminal dengan naskah yang membumi. Kombinasi antara tone “fiksi (rekaan)” dan “realita” begitu terasa dalam kisahnya, sesuatu yang jarang kita rasakan ketika menonton. Kita yang terbius dengan keseharian “keluarga” kecil ini seolah terbangun ketika Bill melakukan “aksi Jason Bourne” di stadion sepakbola. Hidup akan menamparmu lebih keras jika kamu melakukan kesalahan berulang. Apa yang Bill impikan, sejatinya sudah ada di hadapannya. “Life is Brutal” ucap Bill pada penutup shot. Bukan realita kehidupan yang salah, namun adalah bagaimana perspektif dan sikap kita memandang kehidupan adalah yang menjadi pembeda. So much for American Dreams.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaReminiscence
Artikel BerikutnyaPersepsi
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.