Profesi sebagai guru ngaji sangat mudah ditemukan di masyarakat Indonesia. Profesi yang tergolong mulia bagi umat muslim ini jarang sekali menjadi perhatian. Ketulusan guru ngaji membuat upahnya terkadang tidak sebanding dengan jerih payahnya dan di sinilah keikhlasan diuji. Film Guru Ngaji didedikasikan untuk seluruh guru ngaji yang ada di seluruh Indonesia. Tantangan demi memuliakan kitab suci digambarkan dalam film ini. Film yang diproduksi oleh Chanex Ridhall Picture dan disutradarai oleh Erwin Arnada ini menyajikan drama komedi, dengan para pemeran Donny Damara, Akinza Chevalier, Dewi Irawan, Ence Bagus, Andania Suri, Dodit Mulyanto, Verdi Solaiman, dan Tarzan.
Mukri adalah seorang guru ngaji yang cukup dikenal di desanya. Dengan kondisi ekonomi yang minim, ia harus menghidupi istri dan seorang anak. Selama menjadi guru ngaji ia hanya diberi upah sembako atau seikhlasnya. Ia juga sering dikejar oleh pakdhe-nya karena memiliki banyak hutang. Sebagai seorang kepala keluarga, ia tak tinggal diam dengan kondisi tersebut. Ia memiliki pekerjaan sampingan menjadi badut di sebuah pasar malam. Pekerjaan inilah yang membuat hidupnya penuh dilema.
Film ini sebenarnya memiliki pondasi cerita yang menarik namun disajikan biasa saja untuk ukuran bioskop. Bagaimana sang guru ngaji ditekan oleh kondisi ekonomi serta sosial orang-orang di sekitarnya. Pada pembuka film digambarkan kehidupan Mukri yang sangat kontras sebagai seorang badut sekaligus menjadi guru ngaji. Di sini, anehnya penggambaran Mukri sebagai guru ngaji (yang notabene menjadi judul film) tidak digambarkan banyak. Hanya tampak seorang murid saja yang ia datangi untuk diajari mengaji dan selanjutnya hanya melalui dialog saja, menonjolkan Mukri seorang guru ngaji. Cerita lalu berlanjut ke keseharian sang anak di sekolah, istrinya yang ingin memiliki baju baru, kisah cinta Parmin, Yanto, Rahma, serta sosok Koh Alung yang toleran. Walau tak semata fokus ke Mukri, namun hal ini membuat film ini begitu kaya akan plot cerita.
Film ini juga menyinggung toleransi beragama di dalam kisahnya, namun banyaknya plot justru membuat film ini tidak fokus. Dalam sebuah adegan, empat orang menggotong kubah masjid yang tampak sekali ini merupakan simbolik, namun tidak mengena. Sementara adegan-adegan lainnya cenderung to the point sehingga terasa tak konsisten. Akting pemain pun terasa biasa saja. Tidak ada yang istimewa sekalipun beberapa pemeran utama dalam film ini sudah banyak makan asam garam di dunia film. Film yang ber–setting di Jawa ini dan menggunakan bahasa Jawa terasa tak utuh dalam menonjolkan kehidupan masyarakat Jawa. Dialog-dialognya pun terasa kaku dan tidak alami.
Di luar banyak kelemahannya, Guru Ngaji sarat dengan pesan moral. Belajar untuk ikhlas atas segala cobaan hidup, bersabar, setia kawan, serta toleransi antar umat beragama. Namun, secara kemasan tak ubahnya film drama layar kaca, alurnya mudah ditebak dengan ending yang sama dan sering kita lihat di televisi.
WATCH TRAILER